Kriminalisasi Gondrong, Titah Mamak dan Rakyat LaratFilsafat

Diyus

“BESOK…dgr kta ma2k pngks rmbut mu”

Demikianlah… pesan itu masuk ke HP-ku, kukutip secara letterlijk dengan gaya penulisan yang sungguh menodai kaedah Ejaan yang Disempurnakan milik Bahasa Indonesia. Pesan dari nomor HP Bapakku yang mengatasnamakan Mamakku. Kusebut demikian karena bisa saja Bapak yang mencatut nama Mamak untuk memberi perintah tersebut. Atau, Mamaklah yang sesungguhnya telah memberi perintah dan Bapak yang mengetik pesan tersebut. Kutilik dari gaya bahasa dan pengetikan, aku berprasangka Bapaklah yang mengetiknya. Entah dengan mencatut nama Mamak atau menyampaikan amanah dari perempuan perkasa yang menjadi sekutunya 38 tahun belakangan, hingga melahirkan aku dan 5 orang anak lainnya.

Aku tercenung. Termenung. Merenung. Bermenung. Bingung. Sudah 3 tahun ini rambut kujauhkan dari godaan tukang pangkas yang mencari nafkah. Mengapa sebegitu khusus pesan tersebut menyebutkan nama Mamak? Ada apa di balik perintah ini? Seolah menebang rambut telah menjadi semacam perintah suci.

Pesan Suci dari Mamakku mengesankan gondrong sebagai nahi munkar, sementara membabat sekoloni rimba di atas kepalaku adalah amar ma’ruf. Aku curiga, telah terjadi persekongkolan kosmis di suatu tempat dengan para sekutu yang tak kutahu pasti siapa saja. Sekelompok orang tengah memainkan sebuah skenario untuk bersatu menyerangku. Sebentuk prasangka tentang keterancaman kedaulatan diri sekonyong lahir. Semesta tengah bersekongkol untuk menumbangkan miliaran helai hitam di atas kepalaku. Padahal, awak ini apalah…

Atau… jangan-jangan ini bisa-bisanya Bapak aja mencatut nama Mamak. Sebab, lelaki yang sukses menurunkan gen keraskepala padaku itu paham betul, cuma perintah Mamak yang tak pernah kubantah. Sementara, hubunganku dengan Bapak, selain sebagai pelengkap 23 kromosom secara biologis, ia pernah menjadi kawan, guru dan seteru; berlatar persoalan prinsipil dan ideologis. Bapak paham betul, di hadapan Mamak, aku persis Naga Bonar yang selalu patuh pada sang Emak, meski telah menjadi jendral. Bedanya, aku bukan jendral, bau kopral sajapun tak kupunya.

Tidakkah mereka memahami, gondrong itu perjuangan?! Perjuangan berat dan berdarah. Berat saat (secara internal) aku harus menahan triliunan gatal yang singgah ke kepala saat ketombe mulai menyerbu dengan eskalasi dan interval serangan yang TMS (tersusun, masif dan sistematis) di tiap pori kulit kepala yang terlindung rimbunan rambut. Berdarah, saat sekoloni kutu menancapkan cengkraman imperialisme beberapa milimeter dari otakku. Lantas aku memilih bertahan atas segenap serangan ketombe yang bersekongkol dengan para kutu menjadi epifit dan parasit di kulit kepala. Butuh komitmen untuk menjadi gondrong. Perlu tekad bulat seorang laki untuk menghasilkan kegondrongan yang nyata!

Bukan perkara main-main, Raisa!

Bukan perkara gampang mempertahankan sikap, status dan kondisi gondrong, Hayati…

Jika ada yang mengatakan lelaki gondrong mirip perempuan, ini sudah langsung bertentangan dengan kaedah bahasa. Tak ada perempuan berambut gondrong. Sebutan gondrong cuma compatible untuk para laki berambut panjang. Selama bisa menggunakan panca indra dan kesadaran, aku belum pernah mendengar ada yang mengatakan, “Seorang perempuan berambut gondrong”. Itu logika yang sungguh celaka, meski tak cukup berani kusebut terkutuk!

KBBI online menjelaskan bahwa arti kata gondrong adalah “panjang karena lama tidak dipangkas (tentang rambut laki-laki)”. Jadi, mengidentikkan ukuran juntai rambut dengan jenis kelamin sudah jelas menunjukkan kedunguan. Sudah menjadi hukum alam adanya, rambut akan memanjang saat pemilik kepala memutuskan untuk tak memangkasnya dalam jangka waktu tertentu.

Entah kenapa pula, tatanan nilai yang berevolusi dalam peradaban manusia menjadikan gondrong sebagai bentuk pemberontakan (atau sekurangnya kedegilan) terhadap tatanan adat-istiadat, etika dan estetika. Sungguh aneh menyebutkan bahwa kegondrongan bertentangan dengan adat. Lelaki di jaman dahulu –saat nilai bernama adat lahir– kebanyakan gondrong! Itu fakta! Itu sejarah adanya! Sungguh ahistoris dan mengingkari fakta jika ada yang beranggapan kegondrongan adalah sikap yang bertentangan dengan adat istiadat.

Kupikir-pikir lagi… kuingat-ingat lagi… Eureka…! Belum ada koruptor Indonesia yang berambut gondrong! Atau, kalaupun ada karena lolos dari pengindraanku, jumlahnya tak relevan untuk menjadikannya sebagai patokan nilai yang mengkriminalisasinya. Maksudku, cepak, botak, gundul atau gondrongnya seseorang tak menjadikan dirinya seseorang yang bermoral atau pelaku kriminal. Kriminalitas seseorang tak dapat diukur dari panjang ataupun pendek rambutnya.

Namun, demikianlah… gondrong menjelma sebentuk kelacuran yang dibenci dalam pikiran kebanyakan orang; Kebanyakan orang yang tak banyak berpikir. Padahal ia cuma wujud nyata dari sebuah hukum alam: rambut akan memanjang jika tak dipotong. Semudah itu saja memahaminya. Entah oleh konspirasi para siapa, atau oleh sebentuk konstelasi macam apa, kegondrongan telah menempati titik hina dalam standar fashion Nusantara.

Proklamator sekelas Ir Sukarno-pun pernah kurang kerjaan karena lebay terhadap gaya rambut gondrong. Menurutnya lelaki berambut gondrong kebarat-baratan. Padahal kegondrongan bukanlah perkara nilai yang menaungi bangsa tertentu. Gondrong adalah kondisi yang bisa menghampiri fase hidup tiap laki, apapun suku-bangsanya. Kebencian pemerintah terhadap kaum gondrong memuncak pada tahun 1971. Bentuknya, larangan seniman berambut gondrong tampil di TVRI. Mau tahu siapa saja yang menjadi pesakitan larangan ini? Jawabannya akan kubocorkan setelah sepenyulutan kretek dan sepenyeruputan kopi lagi.

(Mengeluarkan rokok dari bungkusan, menyulutnya dengan sebuah sedotan, menyedot sekali lagi dan menyeruput kopi)

Baiklah… Telah sukses kretek kusulut… kopipun sudah tuntas kusruput, Kawan…

Widiarsi Agustina menuliskan dalam bukunya Massa Misterius Malari: Rusuh Politik Pertama dalam Sejarah Orde Baru (2014), Sophan Sophiaan (alm), Broery Marantika (alm), Trio Bimbo, WS Rendra, Umar Kayam dan Taufik Ismail tak luput dari getah yang berasal dari sebatang pohon otoriter bernama Orde Baru; mereka dilarang tampil di TVRI. Karena apa? Iyak… betul sekali, kamu yang sedang bekerut jidat, karena mereka berambut gondrong! Pintar.

Awal masa kekuasaan Orde Baru juga dimulai dengan menunjukkan sikap otoriter, terutama terhadap kaum lelaki gondrong. Sepertinya cuma pada sikap terhadap kaum gondrong saja Sukarno dan Soeharto bisa seiya-sekata.

Kamis, 3 Desember 1966, tentara menggelar razia kendaraan dan razia warga untuk memotong-paksa lelaki berambut gondrong. Eskalasi ketidakadilan terhadap kaum gondrong meningkat, Jendral Soemitro –Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) –, menerapkan larangan gondrong secara tertulis pada tanggal 15 Januari 1972, tepat 2 tahun sebelum Peristiwa Malari meletus.

“Anak muda berambut gondrong cenderung bersikap onverschillig (acuh-tak acuh, cuek)”, ujar Soemitro dalam sebuah Acara di TVRI tahun 1973.

Jenazah Rene Louis Coenraad

Mungkin Rene Louise Conraad adalah manusia, lelaki dan mahasiswa paling apes akibat aturan yang paling konyol yang pernah diterapkan di Negara Persatuan Republik Indonesia. Ia tewas akibat dihajar oleh rombongan Taruna Akabri Kepolisian Angkatan 1970. Rene dan Ganti Brahmana melintas di sekitar Asrama Gedung F yang terletak sekitar lokasi pertandingan sepakbola bertajuk persahabatan antara Taruna Akpol dengan Mahasiswa ITB. Pertandingan ini bertajuk persahabatan bukan tanpa sebab. Taruna Akpol Angkatan 1970 kerap terlibat dalam aksi pemberantasan gondrong di Bandung. Peran yang membuat hubungan mahasiswa di Bandung membenci mereka.

Di sisi lain, Dewan Mahasiswa ITB menyikapi sikap anti gondrong pemerintah dengan “Gerakan Anti Orang Gendut”, untuk menyindir aparat penyelenggara negara yang kebanyakan bertubuh tambun bin buntal. Sikap frontal inilah yang memicu bentrokan kecil antara Mahasiswa ITB dengan Taruna Akpol Angkatan 1970, angkatan yang kemudian melahirkan pejabat tinggi Kepolisian Republik Indonesia seperti Nugroho Djajusman, Surojo Bimantoro, Rusdihardjo, Bibit Samad Rianto Hamami Nata dan Bahar Muluk. Nama terakhir dikeluarkan dari kepolisian karena menewaskan seorang tahanan bernama Martawibawa saat interogasi.

Nah… gesekan antara mahasiswa di Bandung, khususnya Mahasiswa ITB dengan Taruna Akpol Angkatan 1970 akibat Gerakan Anti Gondrong vs Gerakan Anti Gendut adalah berpotensi meledak. Beberapa insiden perseteruan kerap muncuk ke permukaan. Itu sebab, Jenderal Hoegeng Imam Santoso (Kapolri), Irjen Awaludin Djamin (Gubernur Akpol), Kombes Tjutju Sumirat (Kepala Kepolisian Kota Bandung), Profesor Doddy Tisnaamidjaja (Rektor ITB) dan Dewan Mahasiswa ITB yang dipimpin oleh Syarif Tando bermaksud mendinginkan situasi dengan menggelar pertandingan sepakbola persahabatan untuk mendinginkan suasana.

Saat pertandingan berlangsung, mahasiswa meneriakkan yel-yel yang memprovokasi para Taruna Akpol. Tawuran terjadi usai pertandingan yang berakhir dengan skor 2-0, Mahasiswa ITB-lah pemilik kemenangan tersebut. Setelah aparat kepolisian menertibkan bentrok, para taruna kembali ke asalnya dengan mengendarai truk.

Rene yang tengah menunggangi Harley Davidson berboncengan dengan Ganti Brahmana bersisian dengan truk yang ditumpangi Taruna Akpol yang baru mereguk kekalahan. Tiba-Tiba seorang taruna meludahinya dari atas truk. Ia lantas meneriaki penumpang truk, “Siapa yang meludahi aku? Kalau berani turun!” tantangnya. Seluruh taruna yang tengah pahit-hati itu turun dan mengeroyok Rene. Ganti Brahmana kabur, para Taruna Akpol tak mengejarnya. Mereka lebih memilih menghajar Rene. Dalam persidangan, Ganti menggambarkan tubuh Rene ditendang seperti bola, dilempar kesana-kemari oleh para taruna.

Sebuah tembakan revolver melengkapi penderitaannya. Tubuhnya yang babak-belur dilemparkan ke dalam truk. Keberadaan jenazahnya tak jelas, sampai Kombes Tjutju Sumirat dan Profesor Doddy Tisnaamidjaja turun-tangan. Mereka  menemukan jasad Rene yang sudah tak bersama nyawa di sebuah ruang terbengkalai dalam Kantor Poltabes Bandung.

Pawai Suci Mahasiswa Bandung mengiringi jasad Rene

Hari itu, 6 Oktober 1970, tepat sehari setelah Presiden Soeharto berpidato di perayaan Hari ABRI (5 Oktober) yang menekankan agar ABRI tidak melukai hati Rakyat. Mahasiswa dan Pelajar Bandung menggelar aksi akbar, mengecam pembunuhan Rene. Aksi yang melibatkan 50.000 massa! Kelusaan harinya, 9 Oktober 1970, Dewan Mahasiswa ITB menggelar apel suci untuk mengantarkan jenazah Rene kepada keluarganya di Jakarta. Sebagai penghormatan, Dewan Mahasiswa ITB menamai gerbang depan kampus mereka dengan Gerbang Rene Conrad. Tak cuma itu, ITB memperingati 6 Oktober sebagai hari Rene Conrad.

Lantas, apa hasil mejahijau kasus pembunuhan Rene? Sersan Mayor Djani Maman Surjaman divonis bersalah dengan hukuman kurungan 1 tahun 6 bulan. Padahal, Sersan Djani tak ada di lokasi saat penganiayaan berlangsung.

***

Munsyi-Arkhais Indonesia bernama Jubal (Yubal) Anak Perang Iman Panda Abdiel Tambajong (Tambayong) pernah menjadi korban langsung. Selembar fotonya dalam sebuah perhelatan di kampus digunakan pemerintah untuk mengkampanyekan kebijakan anti gondrong. Poster iklan layanan masyarakat bertulis, “Tidak Melayani Rambut Gondrong!” menyebar di gedung pemerintah, sekolah, kampus, gedung bioskop, pasar dan jalan-jalan. Remy Silado menjadi ‘model gratisan’ poster tersebut.

Menurutnya, tentara dan polisi dikerahkan untuk merazia lelaki berambut gondrong dan mencukurnya langsung di tempat mereka tertangkap hingga plontos.

Marah Halim Harahap, Gubernur Sumatera 1967-1978 yang saat itu bertindak paling ekstrem. Ia membentuk Badan Pemberantasan Rambut Gondrong dengan abreviasi Bakorperagon.

“Nguwerrriii kaaali ah, Pak Cek…”

Menurut Remy, belakangan razia tak sekedar panjangnya rambut, tapi merembet pada soal ketat-longgarnya celana jeans anak muda. Cara mengukur keketatan jeans seseorang sederhana sekali. Para perazia (tentara atau polisi) memasukkan sebuah botok ke pipa celana jeans. Jika botol tersebut lolos berarti loloslah pemakainya dari razia, jika kebalikannya, celana akan digunting sesuka hati oleh para perazia.

Para Mahasiswa menolak keras aksi tersebut dengan aksi balasan, berupa razia orang gendut. Menurut Hariman Siregar, razia tersebut dilakukan untuk menyindir Jendral Soemitro yang bertubuh tambun.

Pembelaan muncul dalam sebuah lagu berjudul Rambut Gondrong karya Titiek Puspa. Ia mengajak pendengar dan pemirsanya untuk meninjau lebih teliti stigma kriminal yang dilekatkan kepada para penggondrong. Klik link ini untuk mendengar lagunya, liriknya ada di bawah:

Ini c’rita zaman dulu, zaman Mojopahit

semua kaum lelaki berambut panjang

Raja dan kstarianya malah dikonde

kalau kawan tidak percaya, tanyakan Pak Guru

Semua aman tidak dilarang

tiada polisi main cegatan

Sekarang zaman modern terulang kembali,

eh sinyo yang muda berambut gondrong

Tetapi entah kenapa kini dilarang

Lalulintas menjadi macet karna cegatan

Tuh Bung Polisi dan Pak Tentara

buka barbir gratis di tengah jalan

(Hayo… gimana dong?!)

***

Mau pakai standar nilai apa lagi?! Agama? Baiklah. Agama juga tak melarang lelaki berambut gondrong, bahkan riwayat yang menggambarkan Rasulullah berambut gondrong lebih dari cukup untuk lebih menganjurkan kegondrongan ketimbang mengkriminalisasi para penggondrong.

Di luar agama Islam, Jesus Kristus selalu digambarkan sebagai lelaki berambut gondrong hingga di seputaran Sumatera Utara dan sekitarnya dikenal istilah gonjes, abreviasi dari Gondrong Jesus. Konfusius yang bijak bestari itu juga gondrong.

Siddharta Gautama pun berilustrasi lelaki berambut gondrong dan bersanggul di puncak kepala, meski sebagian umat Buddha memiliki pemimpin agama berkepala plontos. Para Pendeta Hindu, para Yogi dan penganut Sikh juga menganggap suci kegondrongan. Di Nusantara, sosok Gajah Mada (atau Gaj Ahmada… :P) yang sering dibanggakan sebagai pemersatu Nusantara dengan Sumpah Palapanya jug selalu digambarkan berambut gondrong, bahkan menjadi simbol militer, tangan kuasa yang aktif merazia penggondrong.

Lantas bagaimana kalau ada orang gondrong yang secara reaksioner berkata, “Mengkriminalisasi orang gondrong dan kegondrongan sama dengan mengkriminalisasi orang suci!”?

Sudah semestinya peradaban kita lebih mengkhawatirkan lelaki yang melicinkan ketiaknya dari bulu. Itu tindakan yang sungguh bikin cemas kaum lelaki dan kelelakian!

Ilustrasi Gajah Mada dan/atau Gaj Ahmada

Jika kita bisa menerima kepahlawanan Gajah Mada (atau Gaj Ahmada… :P), mengapa kita tak boleh menyerap kegondrongannya? Mengapa harus menerima Gajah Mada (atau Gaj Ahmada… :P) secara parsial? Tidakkah semestinya kita menerima Gajah Mada (atau Gaj Ahmada… :P) secara kaffah agar semuanya terasa ka pah? Jika lelaki berambut panjang dianggap identik dengan perempuan, lantas apa pandangan tatanan nilai semacam ini terhadap perempuan berambut pendek atau botak? Ayolah… jika tak mampu adil sejak dalam pikiran, marilah adil sejak bersikap pada tiap gaya rambut. Tanpa perlakuan adil terhadap style rambut apapun yang menjadi pilihan tiap insan, kecil kemungkinan kita akan mampu membangun keadilan yang universal dan manusiawi.

Bukannya hendak melegitimasi kegondronganku. Gondrong itu legitimate secara alamiah, buat apa lagi legitimasi. Nama-Nama manusia hebat di atas cukup menjadi bukti bagiku bahwa kegondrongan tidaklah melambangkan moralitas. Kaum gondrong tak mewakili moralitas apapun, sebab kejahatan atas kemanusiaan lebih banyak dilakukan oleh lelaki yang tampil rapi-jali-harum-mewangi nan rajin mandi dan gosok gigi 2 kali sehari. Gondrong itu pilihan. Lebih fundamental lagi, gondrong itu hukum alam semata. Sebab, kalau dibilang soal gaya, aku bukan orang yang suka bergaya. Meski tak kupungkiri ketika aku memilih gondrong sebagai gaya untuk tampil; demi diriku sendiri, bukan orang lain.

Serumit itu ternyata perkara sebuah hukum alam nan sederhana bernama gondrong. Ya. Kekuasaan despotik telah menjadikan gondrong perkara yang begitu rumit. Bahkan Aria Wiratma Yudhistira sampai repot-repot menulis buku berjurul Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an (2010). Menariknya, Aria menyoroti upaya rejim Orde Baru mengkriminalisasi kaum gondrong; sejatinya digunakan untuk melindungi anak-anak mereka sendiri dari pengaruh gaya hidup hippies yang tengah tumbuh, berbunga dan berbuah di Eropa dan Amerika. Kasus kenakalan remaja pada saat itu didominasi oleh anak-anak muda dari keluarga dan berkuasa; ya itu tadi, rejim Orde… ah… sudahlah…

Pelarangan berambut gondrong menempuh 2 strategi. Pertama, melalui kuasa wacana, media massa Sodara-Sodari! Aria menyoroti judul pemberitaan yang mendiskreditkan rambut gondrong. Judul berita media saat itu sangat kentara membangun kesan negatif –bahkan kriminal– terhadap para penggondrong. “7 Pemuda Gondrong Merampok Bis Kota”, “6 Pemuda Gondrong Perkosa 2 Wanita”, “Disambar Si Gondrong” menjadi berita pola judul berita yang biasa pada saat itu. Belum lagi lakab rambut gondrong berembel kata-kata seperti “merampok”, “merampas”, “memperkosa” dan semacamnya.

Kedua, tindakan fisik. Pemerintah menerbitkan rangkaian peraturan yang diikuti oleh institusi pemerintahan di tingkat daerah. September 1973, Menhankam/Pangab menyebarkan radiogram kepada seluruh jajarannya. Ultimatum beridentitas No. SHK/1046/IX/73 yang memerintahkan seluruh jajaran ABRI, karyawan sipil yang bekerja di lingkungan militer beserta keluarganya tak boleh berambut gondrong. Razia dan pelarangan rambut gondrong dilakukan di jalan-jalan.

***

Mungkin Mamak-Bapak, saudara-saudari kandung dan sepupuku juga berada di sisi korban pengetahuan yang sesat-sungguh soal kegondrongan. Sesat pikir dan sesat tafsir mengenai kegondrongan. Sehingga aku merasa terkucil dari opini keluargaku soal yang satu ini. Namun, terlepas dari itu semua, ketika perintah itu datang dengan nama Mamakku atau mungkin cuma mengatasnamakan Mamakku, aku tak kuasa. Apalah arti diri ini di hadapan perempuan yang bagiku adalah perwujudan Wahyu Ilahi.

Mak… perintah telah kulaksanakan.

Maka… Jam 9 malam di hari ke-188 tahun ini, bertepatan dengan Hari Sabtu, Tanggal 7 Juli, Tahun 2018, berakhirlah status kegondronganku. Berhias pengikat Ungu, terkaparlah tanpa gelepar setampuk rambutku di meja penjagal rambut. Terkulai ia kuyu sebab telah berpisah dengan batang dan akarnya.

Mak… inilah paras Sulungmu sejak kemarin.

Salam hormat untuk setiap laki yang masih konsisten mempertahankan gondrong di kulit kepalanya.

Jangan lupa bernapas!

 

Sumber foto:

  1. Jenazah Rene
  2. Pawai Suci
  3. Marah Halim Harahap
  4. Gajah Mada
  5. Buku Dilarang Gondrong!

1 thought on “Kriminalisasi Gondrong, Titah Mamak dan Rakyat LaratFilsafat”

Leave a Comment