Taufik Al Mubarak

Irwandi Yusuf, Pria Berkacamata Itu…

Suatu hari di tahun 2001, yang tak aku ingat persis hari apa dan tanggal berapa, seorang pria dengan tinggi badan pas-pasan dan berkaca-mata, memarkir vespa berwarna perak di halaman sebuah rumah yang berada di sisi kanan kantor Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA). Sepeda motor ‘legendaris’ itu diparkir tepat di bawah pohon kelapa setinggi lima meter, dan secara tidak langsung melindungi sepeda motor itu dari cahaya matahari langsung. Hari itu, cuaca di Banda Aceh, memang sedang terik betul.

Dengan langkah gontai, pria itu masuk ke dalam kantor di bilangan Teuku Panglima Polem Nomor 62 yang saat itu belum terpasang jendela. Di dalam kantor, dia bersalaman dengan beberapa aktivis di kantor itu, dan berbicara dengan mereka untuk beberapa menit. Dia duduk di ruang tengah kantor di mana sebuah meja seukuran dua kali tiga meter berada. Para aktivis kerap berdiskusi di ruangan ini, kadang untuk rebahan, atau menonton layar televisi. Aku tidak ingat, apakah dia sempat menghabiskan rokok 234 yang disulutnya sesaat setelah berada di dalam kantor. Soalnya, dia tampak seperti terburu-buru.

Saat pria berkaca mata itu keluar dari kantor, seorang aktivis di kantor itu menyusulnya. Pria yang juga seorang dosen membuka bagasi sepeda motornya, dan mengambil sesuatu di dalamnya. Rupanya hanya satu bundel kertas hasil fotocopy. Berkas itu segera berpindah tangan. Setelah itu, dia menghidupkan vespa bututnya, dan segera menghilang dari sana. Suara dari mesin sepeda motor itu baru menghilang setelah tiba di simpang masuk jalan T Panglima Polem.

Sepulang pria berkacamata itu, kami sempat membaca isi dari kertas yang tadi diantar tersebut. Aku sendiri hanya membaca sekilas tulisan berukuran besar di atasnya: AMARAN. Tulisan ini berada di bawah sebuah lambang buraq-singa dan tulisan Acheh Sumatera National Liberation Front. Amaran itu ditulis dalam bentuk poin bernomor 1, 2, 3 dan seterusnya. Diketik dalam bahasa Aceh ejaan lama seperti yang biasa kita baca dalam tulisan-tulisan Wali Neugara Aceh Merdeka, Hasan di Tiro. Pada bagian paling bawah, terdapat nama dan tanda tangan dari orang yang mengeluarkan amaran. Tertulis, Juru Bicara Militer ASNLF, Teungku Sofjan Dawood.

Kertas yang berisi pesan ajakan mogok itu, oleh aktivis di kantor itu, sebagiannya disimpan di bawah kasur palembang yang sudah kusam. Sementara sebagian lagi dibagi ke berapa orang agar ditempel di tempat-tempat yang dipandang perlu. Seorang abang becak yang sudah menjadi bagian dari keluarga besar SIRA, mengambil sebagian besar kertas itu dan membawa bersamanya. Esoknya, beberapa orang mengaku melihat kertas tersebut ada di halte bus, di pintu pertokoan dan di tiang listrik. Kala itu, penyampaian pesan melalui selebaran sangat efektif.

Sejak bertemu pertama kali di kantor SIRA itu, aku tak pernah lagi melihat sang dosen berkacamata itu. Bahkan, ketika aku dan beberapa teman berkunjung ke Alue Dua, Nisam saat CoHA, juga tidak bertemu dengannya. Hanya beberapa kali aku mendengar kabar tentangnya, dan hal apa saja yang dilakukannya dalam membantu propaganda GAM. Ya, sang dosen alumni sebuah kampus di Amerika itu kerap menerjemahkan pesan-pesan propaganda GAM ke dalam bahasa Inggris dan disebarkan ke kalangan wartawan dalam dan luar negeri.

***
Awal tahun 2005, sekali lagi, aku berjumpa dengan pria berkaca-mata itu. Perjumpaan ini terjadi jauh dari Aceh, di kantor Aceh Support Group (ASG) di bilangan Manggarai, Jakarta Selatan. Waktu itu, aku dari lantai dua dan hendak membeli rokok. Pria itu sedang duduk menyandar di lantai dasar dan asik bermain dengan handphone-nya.

“Oh, Teungku, pajan troh?” aku mengulurkan tangan menyalaminya.
“Ban, mantong,” jawabnya. Tatapannya masih tajam seperti pertama kali aku melihatnya di Aceh.

“Neu-ek u ateuh. Awak nyoe di ateuh mandum,” kataku. Dia segera mengambil tas dan bergegas naik ke lantai dua.

Aku tidak tahu apa yang dibicarakannya di atas, tapi dia memang ada janji bertemu dengan Faisal Ridha. Namun, ketika aku kembali ke kantor hampir setengah jam kemudian, sang pria berkaca-mata itu sudah tidak ada lagi. Aku hanya tahu dia membutuhkan laptop saat itu. Boleh jadi banyak hal yang ingin ditulis dan dikirimkannya kepada pimpinan GAM di luar negeri.

Hanya saja, dia menolak ketika ditawarkan laptop second. Dia mau laptop yang masih baru dan memiliki fitur canggih. Soalnya, meski berprofesi sebagai dosen di Aceh, dia cukup melek teknologi. “Kujok laptop bekas pakek, han geutueng,” kata Faisal Ridha, kala itu.

Setelah itu, aku mendengar kabar, dia sudah berada di Malaysia. Dan tidak lama kemudian ke Eropa, menemui petinggi GAM di sana. Dan, ketika proses pembicaraan damai antara GAM dan RI berlangsung, sang pria itu mulai dilibatkan. Kehadiran juru propaganda GAM ini dipandang penting karena dianggap lebih mengetahui kondisi terakhir di lapangan seusai tsunami. Belakangan, pihak Pemerintah RI menolak jika pihak GAM melibatkan dosen dari kampus di Darussalam itu. Soalnya, yang bersangkutan masih berstatus sebagai tahanan politik.

Namun, dalam banyak kesempatan, sosok yang memiliki banyak nama samaran itu, seperti Tgk Agam, Isnandar Al Pasee atau Jean Micheal Hara (J.M Hara) ini mengaku tidak lari dari penjara, melainkan penjara yang lari darinya. Pria berkacamata itu, Irwandi Yusuf.

***
Setelah MoU Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005, pria yang pernah menolak laptop second itu menjadi sosok penting di Aceh. Alumnus S2 pada Universitas Negeri Oregon, Amerika Serikat ini menjadi Representatif GAM untuk Aceh Monitoring Mission (AMM) yang diketuai oleh Pieter Feith. Nama dan wajahnya semakin sering masuk halaman depan koran lokal, nasional dan juga media luar negeri.

Lalu, Aceh menyambut pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2006. Dalam Duek Pakat Bansa Aceh Ban Sigom Donja di Gedung Dayan Dawood, pada 20-21 Mei 2006, nama pria berkacamata itu sama sekali tidak masuk dalam bursa. Kala itu, mayoritas peserta rapat memilih Nashiruddin bin Ahmed-Muhammad Nazar sebagai calon gubernur dan wakil gubernur dari GAM. Namun, hasil rapat itu belakangan justru memercik api perpecahan di kalangan orang GAM, khususnya antara kelompok muda dan tua. Pasangan yang terpilih tersebut kemudian bubar di tengah jalan. Kalian baca saja laporan Kembalinya Propagandis GAM ke Singgasana.

Singkatnya, kelompok muda GAM sibuk ke sana ke mari mencari pengganti Teungku Nashiruddin bin Ahmed, seorang juru runding GAM yang ditangkap menjelang bubarnya CoHA. Saat itu, ada dua nama yang gencar disebut-sebut yaitu Irwandi Yusuf dan Nur Djuli. Nama yang terakhir memudar dengan sendirinya setelah ditolak oleh pasukan GAM di lapangan.

Nama Irwandi Yusuf kian menguat sebagai calon gubernur Aceh, meski yang bersangkutan sempat beberapa kali menolak ikut Pilkada. Aku ingat sebuah pertemuan kecil di sebuah kamar di Sultan Hotel, Peunayong. Di dalam kamar yang aku lupa nomor berapa, sudah ada Nurdin Abdurrahman, Irwandi Yusuf, Sofjan Dawood dan beberapa orang yang mengaku dari Aceh Wall Trade Center (AWTC), kelompok pengusaha Aceh yang pulang dari Malaysia. Soal calon gubernur sempat disinggung dalam obrolan ringan dan santai itu.

Saat namanya disebut sebagai calon gubernur menggantikan Nashiruddin bin Ahmed, Irwandi yang sedang tidur tengkurap di atas kasur seketika bergerak, terduduk. “Bek kei, syi mita laen dile,” katanya, menolak. Orang-orang yang duduk di lantai kemudian menimpali bahwa saat itu hanya dirinya yang lebih dikenal di Aceh dan paling refresentatif menjadi calon dari GAM.

Dalam Rakor SIRA di Wisma Cendana pada 20-21 Agustus 2006, para aktivis referendum secara bulat menduetkan Irwandi Yusuf dengan Nazar sebagai calon gubernur dan wakil gubernur dalam Pilkada 2006. Sejak itu, keduanya disosialisasikan dengan gencar ke lapangan. Mereka maju melalui jalur perseorangan. Wadah segera dibentuk. Seuramoe Irwandi Nazar (SINAR).

“Ngon modal ie babah puteh dan sembahyang, geutanyoe mampu ta peusapat 3 persen KTP dukungan dari seluruh Aceh,” kata Irwandi dalam sebuah rapat koordinasi SINAR sehari seusai pencoblosan.

Irwandi Yusuf dan Nazar maju dari jalur independen berdasarkan hasil quick-count meraup 38,20 persen. “Atas kerja keras tim, usaha yang sungguh-sungguh dan komitmen pada perjuangan, terlihat bahwa kita keluar sebagai pemenang. Secara resmi diumumkan oleh KIP pada 2 Januari 2006,” tambah Irwandi.

Aku mencatat banyak hal yang disampaikan oleh Irwandi dalam rapat koordinasi itu. Di antaranya, dia tak mau dilantik di Jakarta serta tak mau dilantik oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Memang, Irwandi tidak dilantik di Jakarta melainkan dalam rapat paripurna DPRA, dan dilantik oleh Mendagri Muhammad Nuh (kini almarhum). Padahal, Irwandi ingin sekali dilantik di Masjid Raya Baiturrahman. “Agar lebih merakyat,” katanya.

Meski terpilih sebagai Gubernur Aceh, Irwandi ingin membatasi hubungan dengan Jakarta. Memang, selama dipimpin Irwandi, hubungan Aceh dengan Jakarta sedikit naik-turun. Hal itu sangat wajar, karena Aceh baru saja terbebas dari konflik berkepanjangan. Ada saja kerikil-kerikil kecil yang mengganggu hubungan kedua pihak yang lebih 30 tahun berseteru.

Ada lagi janji Irwandi kala itu, yaitu tidak mau tinggal di pendopo. Ia akan mengusahakan agar Pendopo menjadi kediaman Wali Neugara, Hasan Tiro, sekira pulang ke Aceh. Benar, sebagai gubernur, Irwandi memang tidak tinggal di Pendopo, dia lebih memilih tinggal di sebuah rumah di Jalan Salam, Lampriet.

Aku memang tidak dekat dengan Irwandi Yusuf, tapi pernah beberapa kali bercengkrama dan bercanda dengannya, dan itu terjadi selama masa kampanye Pilkada 2006. Pernah juga beberapa kali satu mobil dengannya ketika turun ke lapangan. Selama aku mengenalnya, dia kerap bicara ceplas-ceplos dan apa adanya. Dia kadang bicara kasar kepada temannya, tapi belakangan aku tahu, begitulah dia kerap bersikap dengan sahabatnya.

“Munyoe geu tenak teuh, nyan berarti gobnyan toe ngon tanyoe,” kata beberapa teman dekatnya.

Ada satu kejadian yang hingga kini masih aku ingat baik-baik, yang menunjukkan kalau dia seorang pribadi yang jujur. Saat masa kampanye, pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar sama sekali tidak diperhitungkan sebagai kandidat pemenang Pilkada. Karenanya, tak banyak orang kaya yang mendukung pasangan ini. Pengusaha lebih yakin pada pasangan Humam Hamid-Hasbi Abdullah yang didukung para petinggi GAM.

Sekali waktu, ada seorang pengusaha Aceh di Medan (?) memberikan selembar cek untuk biaya operasional. Nilainya ketika itu termasuk besar untuk kandidat yang bekerja dengan ie babah puteh, Rp150 juta. Irwandi tidak mencairkan cek itu untuk dirinya, melainkan dia serahkan kepada bendahara SINAR. Padahal tidak ada seorang pun yang tahu hal ihwal cek tersebut, dan dia bisa saja mengambil untuk dirinya sendiri. Apa yang dilakukan itu, bagiku, sebuah sikap yang patut dipuji. Saat itu, aku tahu, dia seorang yang jujur!

***
Aku memang tidak menjadi pendukungnya (dalam pengertian menjadi tim sukses) dalam Pilkada 2017 lalu, dan bukan pula tim sukses kandidat lain. Aku hanya disebut-sebut sebagai pendukung Apa Karya, karena memang aku beberapa kali menulis sosok yang membuat Pilkada 2017 itu berlangsung semarak dan kocak. Namun, penangkapan Irwandi pada 3 Juli 2018 lalu oleh KPK, sempat membuat aku kaget dan heran. Aku percaya KPK tidak sembarangan menangkap orang tanpa bukti kuat, tapi aku juga percaya bahwa Irwandi tidak melakukan seperti dituduhkan itu. Pasti ada yang salah atau ada pihak yang sengaja menjebaknya.

Namun, seperti pepatah latin, temporal muntatur etnos muntatur ilis, waktu itu berubah dan kita ikut berubah di dalamnya. Sudah lama aku tidak lagi dekat dengan Irwandi atau mengetahui sepak-terjangnya, dan terakhir aku bertemu dengannya seusai konferensi pers di kantor Demokrat Aceh atau dua hari setelah Pilkada, saat itu aku sedang mempersiapkan laporan Kembalinya Propagandis GAM ke Singgasana yang diminta oleh Tirto.ID.

Aku seperti masyarakat kebanyakan lainnya sedang menanti program Aceh Hebat yang akan membuat Aceh benar-benar hebat. Aku percaya, Aceh Hebat itu hanya mampu diwujudkan oleh orang hebat, dan sosok hebat itu Irwandi Yusuf. Sebelum program Aceh Hebat ini benar-benar hebat, Irwandi harus menghadapi dakwaan KPK. Kita semua menghormati proses hukum yang sedang dilakukan oleh KPK, tapi aku berharap bahwa Irwandi terbebas dari semua dakwaan itu. Aceh masih membutuhkan Irwandi Yusuf, hanya itu yang aku tahu. Kalian boleh menyebutku lebay untuk hal ini.

Aku tidak tahu bagaimana mengakhiri tulisan ini, tapi aku sempat membaca sebuah status di Facebook Faisal Ridha. Aku setuju dengan Faisal Ridha, dan berharap The Captain itu segera dibebaskan jika tidak terbukti bersalah. Program Aceh Hebat tentu saja butuh seorang hebat untuk melakukannya. Dan, secara tanpa sadar aku tiba-tiba mengaminkan status facebook Faisal Ridha!


10 thoughts on “Irwandi Yusuf, Pria Berkacamata Itu…”

  1. Lon setuju ngon dron bang,
    Sampoe oh uronyo lon matong yakin pria yang berkacamata yang pakek vespa nyan hana bersalah.. Pasti na pihak yang neuk jebak gobnyan..atau mungkin nyo mengarah keu arah politik atau awak pusat yang yoe jih menyo program aceh hebat berjalan..
    Semoga Allah beu gelindong pemimpin tanyo dari musibah nyo..

  2. Roe ie mata bak ta baca ?
    semoga yg gelap akan menjadi terang. Tidak ada yg tidak mungkin bagi Allah, mari sama2 kita berdoa utk pak Gub ?

  3. MaasyaAllah, Tabarakallah, sep mangat tabaca tulesan droeneuh bg, terasa sang2 lon na lam setiap peristiwa yg na inan.

    Ta meudoa yg terbaik keu PakGub.

  4. Loen tuan setuju cit…loen pih merasa gob nyan get akai…mudah2an ALLAH SWT sabe geu bi kemudahan dlm berurusan…amin…

  5. Semoga yang terbaik dicurahkan Allah untuk Aceh… Apapun keputusannya Allah lebih tau apa yang kita butuhkan

Comments are closed.