Satu-satunya doa orang gila yang tidak boleh kita aminkan adalah doa mereka yang memohon agar Tuhan membelenggu orang-orang PLN selama Ramadan.
Selama bulan Ramadan, setan bin iblis dibelenggu oleh Tuhan agar tidak menggangu orang yang sedang berpuasa. Sebab, siapa pun yang berpotensi mengganggu orang berpuasa, mereka adalah iblis berwujud manusia, dan patut dibelenggu.
Salah satu gangguan yang paling dibenci oleh orang Aceh (juga orang Indonesia lainnya) selama berpuasa bukanlah para penjual dadakan yang memenuhi sepanjang ruas jalan, melainkan pemadaman listrik secara sengaja maupun tidak sengaja yang dilakukan oleh orang PLN. Gangguan itu lebih nyata senyata gangguan setan bin iblis.
Dan, agar terhindar dari gangguan ini (pemadamam listrik), Tuhan sepatutnya membelenggu orang-orang PLN agar mereka tak punya kesempatan mengganggu orang berpuasa. Karena dengan adanya belenggu tersebut pupuslah harapan mereka memencet tombol apapun yang membuat listrik padam seketika.
Cuma ada ironinya di sini. Jika mereka dibelenggu, musnahlah harapan kita menjadi hamba yang bersyukur. Kalian pasti bertanya-tanya apa hubungan antara belenggu untuk orang PLN dengan rasa syukur. Tapi bisa kukatakan begini, kalian tak perlu menjadi sufi untuk sekadar mampu mencari hubungan antara membelenggu orang PLN dengan bersyukur.
Di bulan ketika umat larut dalam ibadah, memang sangat penting menjauhkan mereka (orang-orang PLN) dari tombol apapun dan dari aksi iseng-iseng (memadamkan listrik) yang bisa membuat hilang pahala orang yang berpuasa. Seorang sufi seperti Hamzah dari Fansur sekali pun akan tersiksa ketika dipaksa berbuka, menunaikan salat atau menikmati sahur dalam suasana gelap. Sementara kita yang bukan sufi pastilah akan mengutuk tujuh turunan siapa pun yang membuat kita hidup laksana kembali ke zaman batu ketika listrik belum ditemukan.
Kita memang bisa menerima (walau terpaksa) seandainya listrik padam di luar bulan puasa. Namun, pemadaman listrik selama Ramadan itu sama sekali tak dapat kita terima. Orang gila sekali pun akan menjadi waras saat listrik padam, dan akan mengumpat semampu dan sebanyak kosakata umpatan yang masih mereka koleksi dalam memori waras mereka.
Namun, andai mereka (orang-orang gila) berdoa kepada Tuhan agar membelenggu orang-orang PLN sebagaimana Tuhan membelenggu iblis, maka kita tidak boleh mengamini doa mereka (doa orang gila). Sekali pun kita ingin mengaminkannya, sebaiknya kita urungkan saja. Aku memang tak mampu memberi alasan logis yang mencerahkan, tapi aku pikir penting mengingatkan soal beginian.
Kalian tahu, di negara kafir listrik padam adalah cela dan aib yang paling celaka. Hampir tak pernah kita mendengar listrik menjadi masalah besar di sana. Bahkan rakyat di negara kafir itu tak pernah memiliki pengalaman listrik padam. Aku pikir, listrik padam itu sebuah lelucon khas negeri kita yang sebenarnya belum patut menjadi negara benaran ketika rakyat begitu tergantung pada listrik.
Sekali waktu saat berkunjung ke Denmark dan beberapa negara Eropa lainnya, aku tidak pernah merasakan listrik padam di sana. “Lima puluh tahun belum tentu listrik pernah padam sekali,” begitu kesaksian mereka. Aku terkejut dan tidak percaya. Pun begitu, menurut mereka begitulah faktanya.
Mereka justru yang terkejut ketika aku bilang, “di negeri kami listrik sering padam, bahkan sehari bisa dua-tiga kali.” Mereka tak percaya. Di Denmark, kata mereka, andai listrik padam hingga berjam-jam seperti di tempat kita, pemerintah akan merasa malu dan penanggungjawab jawab bidang kelistrikan dengan sukarela meletakkan jabatan. “Dan mereka tak akan berani sekadar menampakkan wajah mereka di tempat pelacuran,” kata orang di luar sana. Sebab, pelacur sekali pun tak akan membiarkan tubuh mereka dinikmati, sekali pun dibayar mahal, oleh pelanggan yang diketahui tak becus mengurus listrik.
Pun begitu, ada satu hal yang membuatku lega. Gangguan berupa listrik padam selama Ramadan sebenarnya cukup efektif menguji kesabaran kita sebagai hamba. Kita memang jarang lolos dari gangguan setan (kecuali yang imannya tebal), tapi hendaknya kita mampu melewati ujian berupa listrik padam yang dilakukan oleh orang-orang PLN. Karena seperti pernah saya tulis beberapa tahun sebelumnya (saking lamannya aku sampai lupa), pemadaman listrik yang dilakukan oleh orang PLN itu sebuah aksi dan tindakan yang disengaja, dan dengan begitu mereka ingin mengajak kita merenungi perjuangan Nabi saat mendakwahkan ajaran Islam ketika jaringan listrik dan lampu pijar belum ditemukan. Sungguh betapa tulus dan luhur niat mereka.
Aku hampir tak pernah menemukan bentuk kesenangan seperti senangnya orang-orang di kala listrik mulai menyala. Memang, ketika listrik dipadamkan, mereka menyumpahi orang yang kerja di PLN itu hingga ke anak cucu, dan segala bentuk ujaran makian hadir seperti air bah tsunami. Namun, tahukah kalian bahwa mulut yang itu pula melafalkan tahmid saat listrik kembali menyala.
“Alhamdulillah, akhirnya listrik kembali menyala,” kata mereka. Aku tak pernah melihat orang yang begitu bersyukur seperti yang ditunjukkan oleh mereka yang menanti listrik menyala. Coba perhatikan, betapa orang PLN selalu mengingatkan kita untuk menjadi orang bersyukur. Mereka bahkan rela mendapat caci-maki demi mengingatkan kita untuk tak lupa mengucapkan kalimat tahmid. Seandainya listrik tidak pernah padam, aku tak bakal menemukan orang-orang yang begitu bersyukur. Dan, ketika listrik tidak pernah padam bisa jadi kita gagal menjadi pribadi yang bersyukur.
Karenanya, ketika ada orang gila berdoa kepada Tuhan agar membelenggu orang PLN selama Ramadan, sepatutnyalah kita menolak mengamini doa orang gila tersebut. Sebab, ketika orang PLN dibelenggu, hal itu akan menghalangi mereka untuk dekat dengan tombol atau upaya untuk memadamkan listrik. Dan saat listrik tidak padam, yakinlah kita akan kembali lupa untuk bersyukur.
Nah, saat kita mengaminkan doa orang gila yang meminta kepada Tuhan agar membelenggu orang PLN, berarti kita telat ikut menyamakan orang PLN sebangsa dengan iblis. Padahal, selama Ramadan hanya iblis saja yang dibelenggu, bukan?