Malam Pertama

Edi Miswar Mustafa

Nurul masuk kamar sebentar. Ah, tersenyum malu-malu dia. Lantas buru-buru keluar lagi. Semenit sebelumnya ia sempat masuk kamar juga dan menyodorkanku selembar sarung motif kotak-kotak cap Gajah Duduk. “Bentar, ke belakang dulu. Abang udah ke belakang?” tanyanya.

Di daerah kami ‘ke belakang’ berarti ke kamar kecil. Geli juga membayangkannya harus ke kamar kecil dulu sebelum kami tidur seranjang malam ini. Malam pertama, kata teman-teman, momen terindah dalam hidup seorang laki-laki. Hm… ‘membuka hidang’ di malam pertama. Hm… kiranya tak perlu kujelaskan makna ‘membuka hidang’ itu.

Hatiku berdebar-debar sejak sore tadi tentu. Mataku sesekali jelalatan ke payudaranya. Lalu sejenak menurun ke pinggul yang berisi he he. Memang sih Nurul tak dapat disebut bahenol. Aku pun tidak suka wanita yang bertubuh montok, punyai buah dada besar, ataupun tinggi langsing. Wanita idamanku itulah seperti Nurul. Kecil, putih, cerdas, hemat senyum, dan berjilbab lebar. Bila ia diumpamakan sebagai air, maka Nurul seperti air putih. Sumber kehidupan manusia di muka bumi. Ataupun, jika ia diibaratkan sebagai lukisan, maka ia hanyalah garis-garis horizontal, vertikal, dan garis lengkung di kertas putih polos. Gegaris dasar yang bisa diwujudkan ke pelbagai bentuk yang ada di alam ini, maupun di pikiran si pelukis.

Teringat lagi olehku siang tadi pada Pak Mukhlas, Pak Wilsan, Pak Tuanku, Pak Lazuardi, Pak Bud, Pak Ihsan, Pak Beni, Pak Hernan, Bu Tini, dan Bu Salbiah. Pak Mukhlas malah berseloroh, “Selamat, Nak. Akhirnya mimpimu terkabul juga ha ha…” Beliau juga berkata kepada Nurul, “Kok dia…?” seraya mengunjukkan dagu, “kabar yang Papi dengerdenger, Nurul enggak mau atuh sama dia… ha ha…” cerocos beliau seraya tergelak.

Sulit kumengerti memang jalan hidupku. Sebenarnya kami seprogram studi di FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia. Semester pertama kami sudah saling kenal. Tapi kemudian tak pernah lagi saling sapa semenjak aku menulis satu cerpen tentangnya di salah satu koran lokal. Tentu saja maksudku baik; lewat cerpen itu aku ingin ia tahu bahwa aku sayang padanya. Dan, nyatanya, malah sebaliknya. Dia merasa terhina. Aku dilaporkan Irwan, laki-laki yang dekat dengannya saat itu, kepada ketua program studi. Beberapa hari selanjutnya aku dipanggil dan dosen-dosenku mempertanyakan apa yang telah kulakukan.

Tiga tahun lebih kami tak pernah saling bicara. Hingga aku diwisuda. Beberapa bulan kemudian ia pun mendapatkan gelar sarjana. Iseng-iseng aku main ke rumahnya bersama teman-teman sekampus dulu: Desa Paloh Teungöh, Jln. Tangse Km II, Kecamatan Keumala, Pidie. Berikutnya aku datang sendiri. Beberapa kali kedatanganku berikutnya langsung kuutarakan kehendak hati memperistrikannya.

Cuma satu hal yang ia tak mau dariku: bertanya mengenai hubungannya dengan Irwan yang tak ketahuan rimbanya menjelang yudisium karena berselingkuh dengan salah satu istri dosen kami. Aku setuju. Aku juga tak mau ia bertanya-tanya mengenai Deca Rahayu. Padahal aku dan Deca tak pernah punya hubungan apa-apa. Pernah kutembak memang, tapi Deca menolak. Tapi kalau Nurul dan Irwan, kami semua tahu bahwa mereka pacaran. Mungkin karena mereka sama-sama aktif di lembaga dakwah kampus. Itulah olok-olok yang selalu dialamatkan pada keduanya. Sebab organisasinya mengharamkan anggota-anggotanya memiliki hubungan sebagai kekasih.

Nurul masuk kamar dengan hanya berbalutkan sarung. Tanpa melihatku yang sudah berbaring di kiri ranjang ia pun membaringkan tubuhnya di sisi yang lain. Lama kami terdiam. Suara jangkrik di luar terdengar lebih ribut dari biasanya. Ia teramat harum. Aku tahu parfum yang digunakannya; Caron’s Poivre.

Dari jemari lalu ke lengan lalu ke leher lalu ke pangkal dada dan mataku singgah kembali di dua tonjolan dadanya. Dan, kembali lagi ke bibirnya yang baru terolesi lipstik merah jambu. Ia tampak amat risih. Mata itu buku yang mudah terbaca.

Deg… sungguh bukan kebahagiaan yang kutemukan di sana. Yang kutemukan malah rasa perih. Rasa perih yang tak tertahankan yang kemudian berubah menjadi isak tertahan. Sialan, aku tahu ia masih mencintai Irwan brengsek itu!

Darussalam, 13 Februari 2011

Edi Miswar Mustafa: orang ini jamaah Komunitas Kanöt Bu, Lamteumen- Banda Aceh.