Internet akan membawa demokrasi ke China.
Kalimat itu aku baca dari buku Masa Depan Kebebasan: Penyimpangan Demokrasi Amerika dan Negara Lain (2004) karya penulis dan kolumnis Amerika kelahiran India, Fareed Zakaria. Namun, hingga kini, Cina masih mengontrol penggunaan internet secara ketat dan beberapa situs dan media sosial masih diblokir rezim komunis itu.
Tahun 2015 silam, negara kita melalui Kominfo melakukan sebuah blunder yang sangat fatal: menutup 22 situs yang dianggap menyebarkan paham radikalisme di Indonesia. Kehadiran internet, tak pelak telah membawa radikalisme melintasi batas-batas negara, tak terkecuali Indonesia!
Pasca penutupan situs-situs ‘radikal’ tersebut, di media sosial seperti Twitter dan Facebook, para netizen, terutama dari kalangan Islam mempertanyakan alasan di balik penutupan situs islam tersebut. Bahkan, hashtag #KembalikanMediaIslam sempat menjadi topik populer atau trending topic dunia di twitter.
Kebijakan itu tentu saja ditanggapi dengan opini beragam. Ada yang setuju dan tak sedikit yang menolak. Pihak yang menolak menganggap kebijakan itu sebagai bagian dari sydrome islamophobia.
Dewan Pers sebagai lembaga yang mengurusi kebebasan pers menganggap penutupan tersebut sebagai langkah terburu-buru. Kala itu, Stanley Adi Prasetyo dalam sebuah diskusi dengan anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengemukakan bahwa situs yang ditutup tersebut bukan produk jurnalistik. Pun begitu, anggota dewan pers ini menyarankan agar penanganan situs tersebut perlu kehati-hatian. Dewan pers, katanya, tak berwenang memediasi terkait situs-situs tersebut.
Terakhir, beberapa situs yang diblokir itu kembali dapat diakses setelah sebelumnya selalu muncul “internet positif” tiap kali pengunjung mengaksesnya. Kini kebijakan ‘internet positif’ masih sering kita jumpai saat mengakses situs yang menyediakan layanan download film gratis atau situs berbau pornografi.
Blog radikal
Tak pelak, penutupan situs tersebut membuka lagi debat soal masa depan kebebasan pers di internet. Kemudahan layanan internet, membuka peluang untuk semua orang membeli domain dan hosting dengan mudah dan murah. Masing-masing orang bisa memiliki media sendiri tanpa perlu mengeluarkan banyak uang dan aturan pengurusan yang berbelit-belit. Inilah era di mana kehadiran situs berita dan blog tumbuh seperti jamur di musim hujan.
Fenomena ini dapat dimaklumi. Di era konfergensi media, semua orang dapat bertindak sebagai publisher, membangun media online dan blog secara leluasa. Penyebaran informasi tak lagi menjadi monopoli media dan para wartawan. Pembaca tak lagi hanya sebagai penikmati berita, melainkan juga dapat bertindak sebagai penyampai berita.
Makin hari, semakin banyak saja media online yang lahir. Dari yang memiliki kantor, personil lengkap, punya alamat yang jelas hingga media siluman yang tak pernah kita tahu siapa pemilik dan di mana alamatnya. Tak semua media/blog ini diniatkan sebagai sumber informasi, karena ada juga yang menjadikannya sebagai ‘media jihad’ melawan kezaliman negara.
Menguatnya paham radikalisme di Indonesia salah satunya dipandang karena keberadaan situs-situs yang menyebarkan paham radikal tersebut. Lalu, apakah cara melawan penyebaran informasi ini cukup hanya dengan pemblokiran? Ini pertanyaan sederhana yang perlu dijawab secara tuntas. Sebab, tanpa penanganan lebih lanjut, pemblokiran hanya berhenti pada berhentinya sebuah situs saja, tetapi di lain waktu, situs-situs lain yang sejenis akan terus bermunculan.
Cukup beralasan jika ada yang memberi saran bahwa masalah ini perlu dipecahkan secara serius dan hati-hati. Salah satunya dengan memberi penyadaran kepada publik agar tidak mudah termakan hasutan dan percaya dengan media penyebar hoax. Aturan hukum memang diperlukan tetap jangan sampai justru menjadi pengekang kebebasan. Kita tak ingin pengalaman Rusia dalam menangani blog dan blogger diadopsi oleh negara kita.
Seperti kita tahu, setelah konflik di Ukraina meletus, Pemerintah Rusia memperlakukan aturan yang sangat ketat terhadap media online dan blog. Secara khusus pemerintah membangun suatu infrastruktur internet yang ditujukan untuk menutup akses ke website dan blog yang dianggap mengganggu. Media online dan blog yang memiliki pengunjung yang signifikan perharinya harus melaporkan ke badan khusus yang memantau lalulintas internet.
Melalui regulasi tersebut seluruh blogger di Rusia diwajibkan mendaftarkan dirinya ke database pemerintah. Mulai dari nama depan, nama keluarga atau nama belakang, inisial nama dan email yang sudah terverifikasi. Kebijakan akan memudahkan pemerintah untuk mengontrol aktivitas para blogger dan menjatuhkan sanksinya. Bahkan, mereka juga membuat klasifikasi khusus: media umum dan blog. Keduanya dimasukkan dalam database yang berbeda agar mudah dikontrol.
Sementara di beberapa negara lain, layanan seperti Twitter, Facebook atau Youtube diblokir. Alasannya, selain untuk meminimalisir kritik dan perlawanan terhadap pemerintah juga untuk mengantisipasi pengaruh buruk dari media online tersebut. Turki, belakangan juga menutup layanan Twitter dan Facebook. Demikian juga dengan Singapura, Malaysia dan beberapa negara Timur Tengah.
Internet bebas
Sejak sebulan lalu, tiap kali membuat dashboard blog, aku selalu disuguhkan informasi begini: European Union laws require you to give European Union visitors information about cookies used and data collected on your blog. In many cases, these laws also require you to obtain consent. Google termasuk sangat konsen dalam menjaga data dan informasi pengguna. Sejak kasus pembocoran jutaan data pengguna Facebook oleh Columbia Analytic, semua pihak mulai berhati-hati dengan data para penggunanya.
Apa yang ingin kusampaikan adalah keliru sebenarnya jika menganggap bahwa di internet itu serba bebas dan tak terbatas. Google, sebagai situs pencarian terbesar di dunia, pernah mewacanakan untuk menutup blog-blog yang berisi pornografi. Tetapi, sebelum rencana itu terlaksana, banyak pengguna internet melayangkan surat ke google bahwa upaya tersebut melanggar hak berekpresi dan kebebasan pengguna. Google pun memperlakukan aturan ‘cukup umur’ untuk mengakses layanan tersebut.
Google yang dipandang sebagai situs yang sangat bebas, mendapatkan gugatan hukum di Eropa oleh Mario Costeja, seorang warga Spanyol. Ceritanya, dililit kasus keuangan membuat rumahnya harus dilelang, lalu beritanya dimuat oleh media di Spanyol, dan terindex oleh Google. Belasan tahun kemudian, ketika masalahnya selesai dan hutang pajaknya terlunasi, Mario ingin melupakan masalah yang menimpanya. Sialnya, setiap kali dia mengetik namanya di mesin pencari Google, berita tentang rumahnya yang dilelang itu selalu muncul.
Dia pun menggugat Google dan meminta agar tautan berita tentang dirinya dihapus oleh mesin pencari itu. Setelah Mahkamah Eropa turun tangan, kasus ini pun mendapat titik terang. Dalam kasus Mario vs Google, mahkamah memutuskan Google melanggar hak privasi orang lain, dan memerintahkan situs yang dibangun Sergey Brin itu untuk menghapuskan beberapa konten. Keputusan ini kemudian dikenal oleh netizen sebagai ‘right to forget’ atau hak untuk dilupakan.
Dari informasi yang aku baca, konsep ‘hak untuk dilupakan’ ini terinspirasi dari proteksi hukum Perancis dan Jerman pada abad ke-19. Dalam konsep ini, kedua negara mengizinkan duel untuk mempertahankan kehormatan seseorang. Coba, betapa menggelikan, bukan?
Di atas segalanya, penyadaran kembali umat Islam akan bahaya radikalisme dan gangguan atas keutuhan bangsa jauh lebih membantu, daripada pemblokiran yang sama sekali tak efektif untuk jangka panjang. Pemblokiran sifatnya hanya sementara, dan situs-situs sejenis akan kembali meramaikan dunia media, bahkan dalam jumlah yang tidak bisa kita perkirakan. []
Note: tulisan masa depan kebebasan internet ini ditulis tahun 2015, dan saya temukan lagi ketika membuka arsip lama.
Image source: [1](http://4.bp.blogspot.com/-fFL8_0UQBfE/VLYDC02d4qI/AAAAAAAAA_Q/bWKcO9HoWzs/s1600/privasi%2Binternet.jpg), [2](https://kabarkota.com/wp-content/uploads/2015/12/4ilustrasiblog.postofficeshop.jpg), [3](https://cdn.freshome.com/wp-content/uploads/2015/02/design-modern-working-Google-budapest.jpg)