kuah beulangong

Taufik Al Mubarak

Menikmati Kuah Beulangong “Rasa Envato” di Lhoknga

Kuah Beulangong sudah lama menjadi primadona di Aceh. Selain kuah pliek u (kuah aneka sayuran berisi rempah-rempah), maka kuah beulangong juga mendapat kehormatan sebagai raja diraja kuliner legendaris di Aceh. Siapa pun yang pernah ke Aceh dan tidak sempat icip-icip kuah beulangong, dia sama saja sudah membuang waktu dengan datang ke Aceh.

Di Aceh, ketika disebut kuah beulangong, maka yang terbayang adalah sebuah berkah makan besar terhidang di depan mata. Tak ada kekuatan yang dapat menolaknya kecuali bagi orang yang menderita darah tinggi. Selebihnya, orang-orang akan bersikap pasrah di hadapan kuah beulangong. Sekali sudah diicip-icip, tak ada yang bakal bersegera mencuci tangan. Sudah seperti tradisi bahwa tiap ada pesta kuah beulangong, orang-orang tidak cukup hanya menikmati sepiring saja kuliner yang lezatnya masuk kategori jahannam itu.

Saking jahannamnya kelezatan kuliner ini, teman-temanku secara tanpa sadar menggagas sebuah perkumpulan, yang anggotanya adalah para penggila kuah beulangong. Mereka memberi nama jamaah ini menyerupai akronim sebuah partai politik di tanah air, PKB. Pemburu Kuah Beulangong! Tidak main-main, mereka juga bikin sebuah group di Facebook, tempat mereka saling berbagi informasi tentang jadwal dan acara pesta kuah beulangong. Tagline komunitas ini tidak muluk-muluk apalagi klise. Tidak, tagline mereka tampak begitu alamiah: “Kalau lupa diundang mencicipi kuah beulangong, maka jangan sampai lupa untuk datang!”

Sebagai anggota jamaah PKB, aku jarang sekali menolak ketika ada undangan menghadiri #saveitek atau #savekameng, nama lain dari acara pesta kuah beulangong. Kami di PKB menjunjung tinggi sebuah peutuah yang asal-usulnya masih dalam perdebatan. Peutuah itu menyebutkan, “tak ada doa tolak rezeki, yang ada hanya doa tolak bala!” Diundang untuk icip-icip kuah beulangong berarti dapat rezeki, dan merujuk pada peutuah tadi maka sama sekali tidak boleh ditolak.

Pada Kamis (19/7/2018), seorang teman yang baru saja mencairkan dollar hasil dari berjualan desain di marketplace di internet, mengajak kami (aku dan @siagamz) menikmati kuah beulangong di kawasan Lhoknga, Aceh Besar. “Kuah beulangongnya enak, beda dengan yang di Blackjack,” katanya. Meluncurlah kami bertiga ke warung bernama R.M Seuramoe Kuah Beulangong, lokasinya di pinggir jalan Banda Aceh-Meulaboh. Warung ini berada di sebelah kanan jika Anda datang dari arah Banda Aceh. Letaknya sekitar 100 meter di depan bengkolan yang menuju arah pantai Lampuuk.

Dari bentuknya, warung itu sama sekali bukan warung elit, bahkan terkesan pun tidak. Bangunanya semi permanen dan tidak ada dindingnya, atapnya dari seng. Sekilas lebih mirip warung kopi di kawasan kampung, tidak tampak terawat dan dibiarkan seadanya saja. “Jangan lihat bentuk warungnya, tidak meyakinkan,” kata @adekfotografia. “Tapi, kuah beulangongnya sangat terkenal. Telat sedikit sudah habis,” sambungnya.

Tak ingin tinggal kuahnya saja, maka kami berangkat sekitar setengah sebelas. Waktu tempuh dari kota ke sana kurang 20 menit. Ketika kami tiba, belum banyak pengunjung. Tapi, juru masak di warung itu tampak sibuk menuangkan kuah beulangong ke dalam kantong plastik yang ditaruh di dalam sebuah gayung seukuran satu liter. Aku melihat banyak bungkusan nasi dan kuah beulangong meja di samping rak. Menurut @adekfotografia, di warung itu memang lebih banyak orang memesan dalam jumlah besar, untuk keperluan kantor atau acara. Para pembelinya rata-rata datang dengan mengendarai mobil, agar lebih mudah menaruh nasi dan kuah beulangong.

Sesaat setelah kami mengambil tempat duduk di sisi kiri warung, satu-persatu para pembeli mulai berdatangan, dengan sepeda motor dan mobil. Ada yang makan langsung di tempat, tapi lebih banyak dari mereka membeli untuk dibawa pulang. Beberapa mobil L300 juga berhenti di depan warung itu, dan kemudian memesan beberapa bungkus nasi. “Mungkin itu pesanan para penumpang, mereka mau makan di puncak Geureutee,” kata @siagamz.

Menjelang pukul 12.00, orang yang singgah di warung itu semakin ramai saja dan tidak ada putus-putusnya. Berlalu satu mobil, sudah tiba mobil lain, dan begitu seterusnya. Lokasi parkir yang sempit membuat beberapa mobil harus parkir agak menjauh dari lokasi warung, dan ada pula yang parkir di seberang jalan. Pembeli dengan sepeda motor juga tidak putus-putusnya. “Benar juga seperti kata @adekfotografia,” gumamku dalam hati.

Awalnya kami memesan tiga porsi kuah beulangong. Rupanya itu tidak cukup. Lalu, kami memesan satu porsi lagi, kali ini yang mencicipi hanya aku dan @adekfotografia. Kawanku @siagamz mengaku sudah kenyang. Apalagi, sebelum berangkat ke warung itu, dia sudah lebih dulu makan pagi. “Aku lupa soal acara makan-makan ini,” dia memberi alasan.

Meski warung itu tampak sederhana, tapi citarasa kuah beulangongnya membuatku punya keinginan untuk kembali lagi ke sana. Tidak banyak warung makan di Banda Aceh yang mendapat kehormatan demikian.

Ketika pulang, terbersit dalam pikiran, rasa kuah beulangong yang kami makan itu ada aroma Envato-nya. Dan, teman kami @adekfotografia memang kreator desain (atau author istilah mereka) di situs Envato, marketplace untuk desainer kreatif terbesar di dunia. Mereka ini tak pernah terganggu dengan harga dollar yang terus melonjak (bahkan dalam hati mereka selalu berdoa agar harga dollar terus menguat), karena di situlah jumlah rupiah mereka bertambah!


Leave a Comment