Diyus

Paradoks Batu

Sepertinya kita tak sepenuhnya meninggalkan kepurbaan zaman batu, bahkan saat logam ditemukan menjadi penanda zaman baru. Masih kita berpijak di lantai dari bebatuan yang digerus hingga mendebu, lantas membatu kembali oleh takaran air dan pasir. Dinding juga demikian, dari paduan tanah yang dilunakkan, dibakar hingga membatu. Juga pelengkap keindahan halaman oleh tebar kerikil sebagai landasan pijak tiap langkah pergi atau ke pintu terarah.

Batu berperan nyaris di setiap lingkup hidup manusia. Ia adalah udara bagi arsitektur. Ketika kita membutuhkan pejal untuk melandasi pijak. Saat diri menginginkan kokoh untuk mendinding hunian dari hempas badai. Bahkan mengatapi naungan dari serbu hujan yang menghunjam ketika menurunkan diri ke bumi. Dimensi landas, dimensi atap dan dimensi sisi mengguna batu sebagai materi.

Lantas, kelas dalam hidup manusia juga terbangun di atas landas amsal perbatuan. Seorang rasul akan dipadankan dengan berlian, sebagai kemuncak tahta perbatuan. Berbanding kerikil untuk melukis peran para jelata yang tak seberapa mana. Sebab, engkau tentu tahu saat batu berada dalam kasta berlian, ia akan bertempat dalam sebuah kotak yang tersimpan di laci bagian dari sebuah almari dalam sebuah kamar paling terlindung di sebuah rumah yang terpacak kokoh sebagai penaung.

Bandingkan saja dengan pasir, kerikil dan batu-bata. Kasta batu yang menjadi umpan peluru cuaca, hempas membadai sang bayu juga hunjam tajam sang hujan. Begitulah kenyataan para batu jelata di jagad peradaban.

Beberapa batu dari kasta terendah cukup beruntung menjadi perlambang sembahan. Oleh sebab pejalnya yang berada di titik antara ia terpilih. Lebih mudah beralih bentuk oleh sentuhan pengukir, lebih tahan terhadap hunjam cuaca hingga melintas zaman, juga kelebihan ukuran yang cukup mampu mengisi ruang pandang sepasang netra.

Jemari, leher, pergelangan kaki, pergelangan tangan, telinga, hidung dan mata tak luput dari tahta batu. Tentu saja batu dari kasta tertinggi. Sebagai penghias, batu berkasta mulia mengisi ruang di tubuh manusia. Bahkan pusar dan labia mayora tak luput dari jangkaunya. Memberi tanda betapa setiap pengguna sudah mencapai jenjang hidup di atas anak tangga pijakan orang lain.

Aliran sungai dan lereng tempatnya berasal telah lama menjadi sasaran penggalian untuk memenuhi hasrat dan guna perbatuan. Seperti bahan-baku lain, ia membutuhkan rencana, daya dan kerja agar mampu hadir di ruang ingin setiap orang, sesuai kasta dan peran yang diperuntukkan.

Hingga ketika keisengan orang-orang Jepang menyalurkan hasrat membawa alam ke dalam rumah yang melahirkan suiseki, lahirlah kasta baru perbatuan. Hasrat yang tetap berlandas kecanduan insan atas segala yang bersemat kata indah, semua yang mengandung indah dan semua yang padan dengan makna indah.

Beberapa kali dalam rentang hidup, aku menyaksikan bebatu penghias tubuh sontak menjadi trend yang menggemparkan. Gegar suasana oleh geliat harga yang sungguh menggila. Pukau warna dan pola menjadi magnet yang menyedot mata pemirsa. Beriring hasrat yang menggila untuk menyematkannya di tubuh dengan tebusan sejumlah harga dari dompet berisi keringat.

Ibrahim mencatatkan nama di lintas sejarah atas sikapnya terhadap batu yang dijadikan simbol sembahan. Ketika keyakinan berlandas langit menetak beku keyakinan berlandas bumi. Sekejap peristiwa yang membuat ia membantah sang ayah sebagai perwakilan nilai-nilai tua perbatuan. Namun, ia tak bisa mengelak ketika sebuah perintah dari langit menyuruhnya menempatkan batu lain di sebuah bangunan yang menjadi arah sujud dan sembah.

Image Source:

  1. Image1
  2. Image2
  3. Image3
  4. Image4

Leave a Comment