Oleh Mariska Lubis
Seringkali apa yang dianggap benar adalah apa yang dipercaya oleh banyak orang walaupun belum tentu demikian. Ada berbagai cara yang bisa dilakukan untuk bisa membuat banyak orang menjadi percaya lewat pembenaran-pembenaran logis yang bisa diterima oleh semua. Ditambah lagi dengan media dan berbagai “pembentukan” pola pikir lainnya yang mempermudah hal ini bisa terjadi. Apalagi bila kemampuan masyarakat untuk menjadi objektif telah “dimatikan” dengan sengaja dan “uang” telah mengalahkan hati nurani.
Sebuah contoh yang menarik untuk disimak dan diperhatikan serta dipelajari oleh semua adalah soal Jaminan Kesehatan Aceh alias JKA. Benarkah JKA ini merupakan sebuah program yang dibuat dan diterapkan hanya oleh seorang Irwandi Yusuf?! Benarkah program ini tidak bisa berjalan tanpa “pengawalan” dari beliau?! Bagaimana dengan berbagai kemungkinan lain yang bisa saja terjadi dengan memanfaatkan program ini untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu?! Apa yang akan terjadi bila kebenaran itu terkuak?!
JKA adalah sebuah program yang sudah jelas sekali alamatnya, baik alamat untuk berobat maupun alamat politiknya. Penegasan yang dilakukan berkali-kali oleh Irwandi Yusuf baik melalui media, baliho, dan kartu JKA jelas menunjukkan bahwa program JKA ini adalah hasil dari buah politik beliau selaku Pemimpin Daerah Aceh. Meskipun sekarang ini ada orang dan pihak lain yang mencoba untuk membantahnya, tetapi semua itu dianggap tidak penting dan bahkan langsung divonis merupakan sebuah taktik politik untuk menjatuhkan.
Hal ini tentunya sangatlah memprihatinkan mengingat program JKA ini memang benar memberikan banyak sekali manfaat bagi masyarakat Aceh, namun hendaknya juga tidak dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu saja. Siapapun pencetus ide program ini seharusnya diapresiasi dan dihargai oleh semua. Masyarakat Aceh seharusnya berterima kasih dan hormat serta menghargainya walaupun tidak boleh juga dengan cara yang berlebihan.
Kebenaran sejarah tidaklah boleh diabaikan begitu saja, karena sejarah sangatlah penting bagi masa depan. Sejarah bukanlah sekedar masa lalu tetapi merupakan pijakan untuk melangkah ke depan. Sehingga bila kemudian sejarah yang berupa fakta dan kenyataan yang sebenarnya, tidaklah patut untuk dikaburkan, dihilangkan, atau diputarbalikkan begitu saja. Bila sampai terjadi, bagaimana dengan masa depan?!
Adalah sebuah tindakan yang berlebihan dan menurut saya pribadi cenderung bersifat pengalihan dan penggiringan pola pikir dan kepercayaan masyarakat, bila program JKA ini diakui adalah dibuat oleh seorang Irwandi Yusuf. Menjadi “mercu suar” yang memberikan persepsi bahwa seolah beliau adalah satu-satunya orang Aceh yang peduli dan sayang pada masyarakat Aceh. Padahal, tugas utama seorang Pemimpin atau Kepala Daerah adalah mensejahterakan rakyatnya, sehingga itu semua memang sudah merupakan KEWAJIBAN yang tidak selayaknya dimanfaatkan.
Di sisi lain, kita juga harus bisa melihat bahwa keberhasilan sebuah program tidaklah mungkin bisa terjadi hanya karena kerja satu orang saja. Diperlukan sebuah tim yang saling mendukung dan membantu agar program ini bisa terlaksana dengan baik. Bila memang hanya Irwandi Yusuf saja yang melakukannya, tanpa dukungan Wakil Gubernur dan pihak-pihak terkait lainnya, mungkinkah bisa berjalan dengan baik?! Bayangkan bila sejak semula beliaulah yang mengerjakannya sendirian dan tidak mendapatkan dukungan, apa yang akan terjadi?!
Oleh karena itulah, menjadi sebuah penyesatan bila program ini kemudian dianggap bahwa tidak akan bisa berjalan lagi bila tidak mendapatkan “pengawalan” dari seorang Irwandi Yusuf. Apakah masyarakat Aceh sedemikian bodohnya sehingga tidak bisa membedakan mana program yang baik dan mana yang tidak?! Mana program yang patut didukung dan mana yang tidak?! Siapapun yang menjadi Pimpinan atau Kepala Daerah Aceh memiliki kewajiban untuk meneruskan dan mendukung program yang memang memberikan manfaat bagi rakyat.
Bila pun kemudian program JKA ini ingin dipatenkan oleh Irwandi Yusuf karena merasa “memilikinya”, maka sudah menjadi kewajiban bagi beliau untuk menunjukkan bukti yang kuat bahwa memang benar beliaulah yang memiliki ide awal, penyusun program, dan sekaligus pelaksananya. Bukan sebagai seorang Pimpinan atau Kepala Daerah tetapi secara pribadi dan sesuai dengan ketentuan serta peraturan hukum serta perundangan yang berlaku. Bila memang terbukti hukum dan sah, memang program JKA ini adalah milik beliau, maka sudah sewajarnya bila siapapun yang menggunakan program ini untuk “meminta izin” penggunaan dan mendapatkan “pengawalan” dari beliau. Jika tidak?!
Sekarang ini, Aceh sedang menghadapi banyak persoalan rumit di dalam Pemilihan Kepala Daerah-nya. Bukanlah hal yang mustahil dilakukan oleh kalangan politik yang kotor untuk melakukan apapun demi meraup keuntungan dan meraih simpati serta dukungan sebesar-besarnya. Berbagai cara pengalihan, pemutarbalikkan fakta, serta penyesatan pola pikir, persepsi, dan kepercayaan, sudah biasa dilakukan.
Bukan cerita baru ataupun aneh yang perlu ditutupi bila media sekarang ini pun bisa “dibayar” oleh pribadi dan kelompok untuk mau melakukan semua ini. Bersekongkol melakukan pembodohan terhadap masyarakatnya demi kepentingan pribadi dan juga media, yang ujung-ujungnya uang juga. Apa yang tidak bisa dibayar sekarang ini?! Apalagi jika ketakutan karena dominasi kekuasaan serta ancaman itu terus saja menghantui, mungkinkah ada yang berani untuk melakukan perlawanan?! Terlalu besar resikonya bukan?!
Dibutuhkan kecerdasan masyarakatnya sendiri untuk bisa menjadi objektif di dalam menilai agar tidak mudah digiring. Bukankah kita semua sudah merasakan tidak enaknya “tertipu” oleh bualan dan janji?! Bukankah kita juga sudah sering “tertipu” oleh pengalihan dan “penutupan” kebenaran?! Haruskah subjektifitas itu terus mendominasi?! Kapan Aceh bisa menjadi sehat, aman, makmur, damai, dan bahagia?! Apakah hanya dalam mimpi di siang bolong saja?!
JIka pun masyarakatnya sendiri tidak mau mengambil resiko untuk memprioritaskan kebenaran demi semua, demi masa depan dan kehidupan yang lebih baik, maka bersiaplah juga untuk terus terjerumus dan tenggelam. Tidak ada perjuangan yang mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa. Lebih mudah untuk mengikuti arus karena diperlukan usaha dan kerja keras serta komitmen untuk bisa melawan arus dan tetap menjadi diri sendiri. Bagaimana pun juga, hati nurani tidak bisa dipungkiri meski dilawan sedemikian kuatnya oleh pemikiran yang logis sekalipun. Bahagia dan damai itu ada bila sudah tidak ada dusta.
Semua ini adalah pilihan. Saya pun menuliskan ini semua karena saya memilih untuk mengikuti hati nurani dengan segala resikonya. Apa, sih, untungnya buat saya?! Saya bukan orang Aceh dan tidak bermukim di Aceh, kok! Siapalah saya?! Saya hanya ingin semua untuk bisa berpikir dan tidak lagi menjadi “permainan”. Di dalam demokrasi, rakyat bukanlah pion yang terus dipermainkan, tetapi pemain yang berkuasa atas permainan itu sendiri. Silahkan memilih, jangan pernah lupakan hati dan nurani.[]
Mariska Lubis adalah pengamat sosial dan politik, berdomisili di Bandung, Jawa Barat
0 thoughts on “Penyesatan Pola Pikir Program JKA”