Masih tentang janji. Masih tentang ngopi. Masih tentang temu. Masih tentang pikir.
Ringkasnya, masih tentang janji-temu dalam perjamuan kopi yang membahas pemikiran.
Bermula dari sebuah kekuatan panggilan dari lelaki yang semestinya lebih tepat dipanggil Ria, sebab nama aslinya Riazul Iqbal. Mungkin kesan feminin dalam panggilan Ria membuat ia bekerja keras meyakinkan dunia –yang entah bagaimana– telah berhasil dikelabuinya untuk menerima Rio yang lebih berkesan maskulin sebagai panggilannya.
Aku curiga, nama lengkapnya adalah Rio de Jack Siuroe Dipatok Ulo Ora Opo-Opo Ketiban Nongko Baru Keroso Ingkarso Mangun Tulodo Wijoyo Mangunkarso Hadiningrat Keceklik Nduwe Perkutut Ra Gelem Manggung. Coba renggut spasi dari nama itu dan sisipkan angka di antaranya, pasti jadi mirip password Steemit atau Bitcoin wallet, ‘kan…
Rio adalah lelaki yang hidup dengan penuh kesia-siaan. Bayangkan saja, di tengah kehidupan yang semestinya dinikmati dalam bingkai hedonisme, eksibisionisme dan mauenaksendirisme ia menghabiskan hasil kerjakerasnya dengan membeli buku. Dasar, manusia aneh!
Semestinya hasil kerjakeras dihabiskan untuk melakukan ‘kerjalemas’. Supaya tiap otot dan sendi lebih regang, santai dan lega. Untuk lelaki semuda itu, semestinya uang yang diperoleh dari gaji lebih baik digunakan untuk mabuk-mabukan dan main perempuan. Ini nggak. Malah bikin beli buku. Benda paling beracun di alam semesta. Dengan sebuah buku engkau sudah membiarkan orang yang tak kau kenal untuk masuk ke dalam kepalamu, mempengaruhi pikiranmu dan membuat engkau berubah. Berbeda dari lingkungan sekitar. Mencerabutmu dari kenyataan yang nyaman-santai-mapan menjadi gejolak. Jadi makhluk aneh, anti-mainstream dan –kemungkinan besar– menjadi alamat sasaran benci. Ngapain?!
Aduh Buyung… Onde Upik…
Sebuah pesannya masuk lagi. “Nggak usah mandi, nanti turun harga!” ujarnya membalas pesanku. Hahahahahaha… ia hendak memancing kemarahanku, menyamakanku dengan Kerbau. Hahahahahaha… dia nggak tau, kerbau itu makhluk keren dan diidolakan Bangsa Indonesia. Hahahahahaha… dia kira aku bakal marah. Hahahahahahaha… padahal aku bangga, jika ia menyamakan aku dengan kerbau, berarti aku sangat Indonesia. Lihatlah kehidupan Kerbau, begitu santai, makan, memamahbiak, berkubang. Tali yang mengekangnya tak pernah dianggap ada. Yang penting makan, memamahbiak, berkembangbiak dan berkubang. Indonesia sekali, ‘kan…
Hahahahahaha…
Aku makin kehilangan motivasi saat ia menjelaskan sedang bersama siapa ia di sana. Ichsan Maulana. Huh… anakmuda yang suka menulis. Sungguh makhluk aneh. Sayang sekali ia cuma membuang waktu hidupnya untuk memikirkan orang lain. Meski aku yakin ia sudah tuntas dengan urusan hidupnya, ngapain sih mesti memikirkan orang lain. Bukankah masih banyak hal lebih menyenangkan yang bisa dilakukan. Apa enaknya hidup begitu. Apa ia tak sadar, ini Indonesia! Prilakunya itu sungguh buang-buang diri saja adanya. Percuam
Sayang sekali… masih muda sudah terpengaruh pergaulan yang tidak baik. Ikut seminar, muktamar, diskusi, bedah-buku; dan yang paling berbahaya adalah menulis. Aku kerap khawatir dengan orang-orang macam mereka berdua. Tapi mau macam mana lagi, ya ‘kan… kawan awak itu, satunya lagi, kawannya kawan awak yang mungkin segera menjadi kawan awak juga. Anak-Anak Muda yang gagal mencapai maqam hedon, adalah produk gagal rencana pembangunan nasional. Bibit pemberontak yang terlalu banyak berpikir. Berpikir saja sudah berbahaya, apalagi kalau banyak?!
Di perjalanan, aku sempat mencari-duga apa yang akan kami bicarakan. Aku cukup enggan membahas hal-hal serius di saat seperti ini. Kepinginnya cengengesan saja. Apalagi kalau ada yang menawari selinting ganja, tuak dan gitar. Lebih enak meratapkan Cinta (dengan C kapital) ketimbang membicarakan masalah sosial, masalah media apalagi masalah sosial media. Benakku berkecamuk. Bagaimana menghadapi 2 insan tersebut di meja kopi. Kalau di ring tinju gampang urusannya. Kalau bukan aku yang KO, mungkin mereka berdua. Itu saja.
Saat hendak parkir di komplek pertokoan, aku sempat bingung. Ketika akan memasuki pelataran parkir sebuah portal telah menghambatku. Sebab enggan mengamati lebih teliti, juga enggan bertanya, kulewati warung kopi tempat kami janji bertemu. Kucoba menuju ujung satunya lagi. Namun, sama. Ada sebuah portal menghadang. Akhirnya, kuparkir kendaraanku di tepi jalan, di pintu keluar sebuah doorsmeer. 2 portal lahan parkir yang cukup menggambarkan dekadensi sebuah pameo, “Peumulia jamee adat geutanyoe!”
Beberapa puluh meter kulewati untuk masuk ke deret pertokoan yang ada di kawasan lampineung itu. Kupindai penghuni warung kopi yang saat itu baru terisi sekitar 5 meja. Mereka ada disana. Bertiga. Saat kutepuh bahunya, ia menoleh. “Eh… Bang… mana rambut? Tanyanya kepo. Ini orang macam tak ada hal yang lebih penting untuk ditanyakan saja. Kenapa ia begitu peduli dengan rambutku yang tak seberapa mana itu?! Aku selalu menangkap peluang asmara saat perempuan menyanyakan penampilanku, tapi ini lelaki, sesama Cap Lonceng, Wak! Berarti dia tak singgah ke postinganku yang khusus menghikayatkan rambut gondrong.
Kawan macam apa itu. Semestinya kalau jumpa kawan itu yang pertama ditanyakan adalah nomor rekening. Itu baru kawan. Ini masa tanya rambut. Kurang kerjaan betul manusia yang satu ini. Padahal, sudah hampir 3000 tahun kami berkawan. Itu bukan waktu yang sedikit. Perkawanan yang bermula saat kami mengikuti orientasi pendidikan di zaman Firaun. Kala itu, Dajjal masih remaja dan sedang lasak-lasaknya.
Kujawab pertanyaannya dengan sebuah cengiran yang kupinjam dari seekor kuda di Tanoh Gayo. Kuganjili menyalami mereka bertiga. Setelah itu kami mulai ngobrol sanasini tentang segala kerak-taik-minyak kehidupan. Persis seperti batuknya seorang perokok, teperkirakan, tapi tak dapat kuelak; isi obrolan berkisar soal buku, berita, kondisi politik, sepakbola dan tentu saja dunia klenik bernama Steemit. Seorang di antara mereka lantas undur diri. Entah siapa namanya, aku sudah lupa.
Semakin aku mendengarnya berbicara sambil mengingat tulisannya yang kerap kubaca di Serambi Indonesia, Rakyat Aceh dan media online lain, semakin aku yakin, Ichsan Maulana itu sungguh sosok yang mesti kukasihani. Bayangkan, dengan usia semuda itu, ia yang semestinya sedang asyik bermain futsal, berkencan di kamar kos dengan anak gadis dari kabupaten lain atau provinsi tetangga, atau sedang mengepulkan asap ganja atau uap sabu, justru malah memilih untuk membuang waktu menulis tentang hal-hal yang semestinya dipikirkan oleh Kepala BAPPENAS. Sungguh aku yakin, posturnya yang ringkih itu bukan akibat begadang atau kurang gizi, melainkan hasil ketimpangan antara asupan nutrisi dengan sedotan pembakaran energi akibat aktivitas otak yang masif.
Di kemudaan itu ia sudah terlalu tua dengan memikirkan hal-hal serius yang semestinya bikin pusing anggota parlemen. Ekspresi yang terpampang di wajahnya seolah ia menanggung beban masalah yang ada di Bumi. Dunia memang sedang terbalik, anggota parlemen yang semestinya pusing memikirkan dan merumuskan regulasi yang melancarkan pembangunan malah tak mau ambil pusing. Jangankan pusing karena memikirkan tugas, berpikirpun mereka tidak. Dan… keterbalikan itu lengkap sudah dengan ulah sewenang-wenang seorang anakmuda bertalenta pecinta negara bernama Ichsan Maulana.
Wajahnya skeptis dan ilmiah. Bahkan gesturnya juga. Gerak tangannya saat menarikan kata sungguh padan dengan Indra J Piliang berkombinasi dengan sedikit kegemulaian Moammar Emka. Buku yang telah dilahapnya pasti sudah setara dengan isi perpustakaan kecamatan. Tiap buku itu punya kendali mutu-gizi-otak sekelas Wied Harry Apriadji. Bernas!
Itu sebab saat memilih diksi, bolamatanya memutar ke belakang hingga menenggelamkan hitamnya pupil. Cuma putihnya sclera yang tersisa. Jemari tangannya punya pola yang menurutku unik. Mirip cara orang Jerman mengilustrasikan angka 3. Kelingking merapat dengan jarimanis; menyisakan ruang di antara jaritengah dengan jarimanis berbentuk ‘V’; telunjuk merapat dengan jaritengah dan jempol yang melenting ke depan atau ke belakang bergantian. Tangan kanan dan kiri juga berganti posisi, membentuk gerak memutar. Artistik. Ucapan dan gerak tangan itulah koreografi yang kutonton sepanjang ia menjabar pikiran. Mengingatkanku pada opera China atau gaya orang Italia; bangsa yang berbicara menggunakan mulut dan tangan.
Lancang sekali ia mengambil tugas para pengelola negara, memikirkannnya, membaca tentangnya dan menuliskannya. Tololnya lagi, ia mengambil tugas mereka, tetapi tak bersedia mengambil gaji mereka. ‘Kan rugi aja. Sudah letih pikiran, letih perasaan, ‘makan hati’, kecewa ditinggal pacar karena ia lebih peduli nusa-bangsa ketimbang isi BH dan celana Sang Dara, tak digaji pula. Apa dia lupa, sebagian dari asmara adalah soal hasrat purba dalam celana. Jangankan menyabung hasrat, saat terakhir bertukar saliva-pun mungkin ia sudah lupa.
Sungguh ia manusia yang merugi. Pada bagian tertentu, ia adalah sosok yang mengingatkanku pada seseorang yang paling kukenal sekaligus paling asing, aku!
Sumber Foto:
- Facebook Ichsan
- Steemit Rio
- Ilustrasi angka 3 khas Jerman