Cerpen: Mahdi Idris
Setelah kami berpisah sekian lama, akhirnya waktu jualah yang mempertemukan kami di sebuah kota. Entah dia sengaja menemuiku di sini atau tidak menduga sama sekali bahwa aku telah berada di kota ini. Kukira, pertemuan ini samar-samar. Aku menatapnya bagai sebuah bayangan yang tiba-tiba muncul di hadapanku, saat kenangan pada laki-laki itu mulai terjangkit dari ingatanku.
Anehnya siang itu, aku duduk termenung di depan jendela. Tidak sedang berusaha memikirkan sesuatu, juga tak ada kerisauan yang membuatku harus berlagak seorang pemikir atau peneliti yang sedang menelaah kembali hasil penelitiannya. Semuanya berlalu dengan datar. Tanpa sedikit pun beban bagiku. Sungguh, bayanganku saat itu hanya melesat kepada seseorang yang juga di perantauan, di kota lain tempat tinggalku.
Dia seorang teman yang dulu rekanan kerja di sebuah perusahaan kota tempat tinggalku. Sebelum kami berpisah tiga tahun lalu, ia pernah mengatakan, “Kita tak boleh berteman dekat. Bintangku lebih besar daripada bintangmu.” “Maksudmu?”
“Bintang nama kita. Setiap nama punya bintang, bukan saja manusia. Jika salah satu lebih besar dari yang lain, hidup berdampingan tak pernah akur. Apa lagi suami-istri.”
Aku tak percaya. Semua itu nihil. Konyol. Lagi pula, takkan ada orang zaman sekarang yang akan percaya. Juga aku, takkan pernah kuracuni akal sehatku begitu saja. “Nah, sekarang mari kita buktikan,” katanya sambil meraih tanganku, mengajakku keluar dari rumah kos kami.
“Kita ke mana?”
“Tak penting! Ikuti saja aku.”
Aku heran. Tapi siang itu aku telah menuruti kemauanya. Tak ada salahnya, pikirku. Aku ingin tahu kebenaran segala petuahnya yang konyol itu. Dia membawaku ke sebuah rumah makan mewah. Dalam rak kaca di depan ruang rumah makan itu, sudah terlihat aneka jenis lauk-pauk. Dari ikan sampai daging, dimasak dengan ragam jenisnya. Ada yang digulai, digoreng, dan ada pula dipanggang. Aku menelan liur. Maklum, kami jarang makan lauk-pauk selezat itu. Hampir tiap hari kami makan mie dan telor, sesekali ikan asin dengan sayur bayam. Jika dompet lagi kosong, kami relakan perut hanya terisi nasi ditabur garam.
“Mau makan apa, pesan saja,” ujarnya.
“Terserah kau sajalah.”
“Tidak, Mir! Selera kita beda.”
“Selera kita sama. Apa kau tidak ingat, kita selalu makan menu yang sama.”
Ia diam. Kalau tadi matanya mengarah padaku, kini ia memalingkan wajah. Seolah di sana, pada lukisan-lukisan di dinding rumah makan itu, ada dunia baru yang sedang ditatapnya. Atau memang kini ia telah memasukinya. Sungguh, mata itu menyimpan sesuatu yang ganjil pada siang itu. Lalu kubiarkan ia termenung. Tak ada sesuatu yang mampu kutafsirkan pada saat itu.
“Mau pesan apa, Pak?” tanya pelayan, sambil menyodorkan daftar menu, sekaligus membuyarkan lamunannya.
Kini aku yang diam. Kulihat ia menyebut beberapa jenis lauk-pauk dan minuman. Kemudian sang pelayan pun pergi.
“Apa kau punya uang, Man?” tanyaku.
“Terserah! punya uang atau tidak, yang penting hari ini kita makan. Dan itu urusanku.”
“Tidak! Aku tidak punya uang. Aku tidak mau hutang. Kalau kau mau makan, ya, makan saja. Aku keluar.”
“Ah! Kenapa begitu? Kau macam bukan laki-laki saja. Hari ini utang, besok bayar.”
Kemudian aku keluar. Aku tak pernah setuju dengan kecerobohan yang ia lakukan. Dan aku tak menyangka kalau ia sudah sedemikian rupa memilih cara hidup. Padahal aku sering mengatakan, hutang membuat pikiran terbeban. Apa lagi gaji kami perbulannya sangat jauh dari kecukupan. Belum lagi uang sewa rumah kontrakan, listrik, dan air bersih, yang harus kami bayar tepat waktu, jika kami tidak mau dikenai denda berlipat ganda. Bahkan, aku sendiri harus pula mengirimkan uang kepada orangtuaku di kampung, membantu beban kedua orangtuaku yang mulai sakit-sakitan. Dan aku menjadi pulang punggung keluarga selama ini. Ketiga adikku yang perempuan itu sudah berumahtangga. Pekerjaan suami mereka serabutan. Aku tak mungkin berharap banyak atas bantuan mereka. Jika suami mereka mau mengirimi uang enam bulan sekali, atau paling tidak setahun sekali menjelang lebaran, aku sudah bersyukur, berarti mereka masih menyayangi kedua orangtua.
Ah, jalan semakin berliku, jika kuingat semua ini. Darman, temanku yang laki-laki itu selalu membuatku resah memikirkannya. Pertentangan dan perdebatan terus saja terjadi di antara kami. Peristiwa di rumah makan itu adalah sebuah yang awal, kemudian terjadilah hal-hal yang sangat sepele. Seperti membuat jemuran, menurutnya, jemuran itu harus berada di sebelah utara rumah kontrakan kami. Jika aku membuat jemuran di sebelah selatan, akan mendatangkan malapetaka atau semacam kemalangan hidup.
“Iya kan, kau selalu keras kepala, dan aku kalah. Kuakui bahwa bintang namamu lebih besar dari bintangku,” kilahnya, setiap kali terjadi kecekcokan antara kami.
“Aduh! Kau kenapa, Man?” aku sedikit geram.
“Buktinya, lihatlah apa yang kemudian terjadi di antara kita. Apakah kau masih tidak percaya, hah!” ia mulai memasang wajah singa padaku.
“Memang benar, selama ini kau tidak pernah mau menuruti keinginanku.” Aku hanya diam. Menatapnya dalam-dalam, meskipun aku tak mampu menyelami kedalaman lubuk hatinya.
“Mungkin kau belum pernah membaca kitab ini, bacalah!” kemudian ujarnya, sambil menyodorkan sebuah kitab lusuh, kekuning-kuningan. Pada sampul kitab itu tertulis, dengan tulisan Arab-Melayu, “Kitab Segala Petunjuk”.
“Man, kitab petunjuk itu hanya Al-qur’an dan Hadist.”
“Dalam kitab ini juga ada ayat Al-qur’an dan Hadist. Kalau tak percaya, bacalah!”
Aku tidak membacanya, bahkan aku tidak menyentuhnya sama sekali.
“Kalau kau tak mau membaca kitab ini, berarti kau sesat.”
“Aduh, Man…? Kau ini apa-apaan, hah!” aku sedikit meninggikan suara. Kini aku benar-benar sulit memahaminya.
“Kau tahu, seseorang telah memberiku kitab ini. Katanya, dia seorang wali. Ia datang suatu siang ke rumah ke sini. Kebetulan kau tidak ada di rumah. Jadi, aku beruntung sekali.”
Lebih baik diam, begitulah keputusanku, demi mempertahankan keharmonisan yang telah terbina sekian lama. Apa lagi kami masih memiliki tali persaudaraan, lagi pula ia tinggal sekampung denganku, meskipun agak jauh. Mulai SD sampai SMA, kami lalui bersama. Kemudian kami merantau ke ibukota propinsi, bekerja pada sebuah perusahaan air minum kemasan di kota itu.
Hari-hari berikutnya, ia semakin sibuk dengan petuahnya yang semakin kabur itu. Bahkan, ia sudah melangkah ke arah yang semakin jauh dari kebiasaannya dulu. Ia mulai bangun tengah malam, mengamal doa-doa yang tidak pula kumengerti. Yang jelas bukan bahasa Arab, yang sedikit kuketahui bacaannya. Begitu pula keesokan harinya, ia berkunjung ke rumah-rumah tetangga. Menurut perkataan para tetangga itu, Darman mengajak mereka untuk mengikuti apa yang ia sampaikan. Dan yang paling kuingat, Darman mengatakan bahwa setiap Rabu akhir bulan Safar tahun Hijriyah, para tetangga dan anak-anak mereka wajib mandi di pantai untuk membuang sial.
“Begitu ya Buk, dibilang Darman.”
“Iya, Dik. Bahkan kami sudah bosan mendengarnya. Tolonglah, adik nasehati dia baik-baik. Kita malu juga, kalau sampai tetangga yang lainnya tau,” jawab Bu Siti.
“Iya, Buk,”
Oh, masalah demi masalah yang dihadapi Darman semakin rumit. Karena mengomentari Direktur perusahaan, ia mengatakan bahwa bulan depan pihak perusahaan harus meningkat produksinya, sebab ada tiga konsumen yang meminta seribu dus air mineral kemasan itu, dan ternyata meleset, perusahaan mengalami kerugian besar, akhirnya Darman dipecat. Dan aku terbahak-bahak setelah mendengar keputusan sang direktur itu. Kini giliran Darman yang mendapat pujian konyol dariku. “Meskipun kau dipecat, tapi kau tetap lebih pintar dan jenuis daripada direktur. Buktinya, dia mau mendengar petuahmu.”
Namun Darman tak menanggapiku lagi. Ia langsung mengemasi pakaiannya dan pergi entah kemana. Tak ada pesan yang ia titipkan padaku, bahkan sekilas senyumnya pun tak lagi ia tampakkan padaku. Semuanya berakhir dengan segala kehampaan di antara kami. Setelah sebulan ia dipecat, kemudian giliran kami, para karyawan perusahaan itu, di-PHK. Karena perusahaan terancam bangkrut.
Namun aku belum menyerah pada nasib. Aku berusaha mencari pekerjaan yang layak dan dapat menghasilkan uang untuk kebutuhanku dan orangtuaku di kampung. Aku telah berjanji pada diriku, takkan pulang jika belum memiliki kemapanan hidup. Satu-satunya cita-cita yang paling dalam hidupku, membahagiakan kedua orangtua.
Hari demi hari, aku terus menapaki jalan sesak debu. Peluh mulai bercucuran membasahi baju kemeja berlengan panjang. Sudah tiga kantor aku masuk, tetapi selalu menolak lamaran kerjaku dengan berbagai alasan yang masuk akal; aku hanya memiliki ijazah SMA. Sedangkan yang dibutuhkan yang memiliki ijazah sarjana, atau setidaknya diploma tiga.
Kemudian aku mengalih pemilihan tempat kerja, aku melamar kerja di salah satu gudang beras bulog di kota itu.
“Ya, boleh. Besok, kamu langsung masuk kerja,” ujar kepala gudang padaku.
Aku sangat bersyukur, dengan kemampuan aplikasi komputer, aku ditempatkan pada bidang administrasi. Secara fisik, pekerjaanku tidak berat. Hanya mengetik laporan dan surat. Namun pikiranku yang sangat lelah. Bagaimana tidak, ketika sang kepala memintaku membuat laporan secepat mungkin, sedang pekerjaan yang kemarin belum selesai, aku terpaksa lembur. Dan hal itu semakin sering saja kujalani.
Setelah dua tahun aku bekerja, kepala gudang memintaku untuk tinggal di rumahnya, yang masih sekota dengan tempatku bekerja. Hanya tiga puluh menit naik angkot, aku sudah sampai di kantor gudang bulog itu.
“Tapi, saya mengontrak rumah selama tiga tahun, Pak!”
“Kamu bayar berapa?”
“Tiga juta, Pak.”
“Ya sudah, uangmu saya ganti. Nanti bilang saja pada pemilik rumah, kamu harus menempati rumah dinas. Saya rasa, dia akan senang juga. Baru dua tahun ditempati rumahnya, sudah ditinggal. Dia bisa cari orang lain.”
“Kalau diganti sih, tidak usah, Pak!”
“Tidak apa-apa.”
Meskipun kepala gudang langsung menggantikan uang yang telah kubayar kepada pemiliki rumah kontarakan itu, aku merasa gugup ketika menerimanya. Entah kenapa, aku rasa hal itu berlebihan. Namun aku berusaha merasa lapang dada.
***
Aku masih bingung, entahkah dia yang kulihat di jalan sana, di depan rumah tempat tinggalku. Berjalan sempoyongan, tapi tak mungkin dia sedang mabuk berat. Kenyataannya begitulah yang terhisap pandangan pada kedua mataku. Sesekali ia berhenti, memandang sana-sini. “Apakah dia sedang mencari tempat tinggalku?” aku membatin. Mungkin saja benar, Darman sedang berusaha mencariku, ia merindukanku.
Yakh! Benar, ia menjinjing kitap kuno itu. Kemudian bergegas keluar. Menghampirinya yang sedang menatap ke arahku.
“Darman!” panggilku.
“Kau..kau..Amir kan?” ia tergagap-gagap.
“Kenapa, Man?”
Ia menggeleng. Wajahnya tak mampu memberi aku petunjuk selain keanehan yang muncul dari sorotan matanya yang cekung itu. Kutatapnya lama-lama, seolah ingin kutembus dalam kehidupannya yang paling jauh selama kami berpisah.
“Mari masuk, Man.”
Ia masih juga menggelengkan kepala yang separuhnya botak.
“Aku sudah lama mencarimu,” ujarnya, setelah melewati berbagai pertanyaanku.
“Jadi, kau ke mana saja?”
“Di mana-mana.”
“Hah…kenapa begitu?”
“Entahlah.”
“Sekarang, kau jangan pergi lagi. Tinggallah bersamaku di sini. Aku masih mengganggapmu seperti dulu,” ujarku, “Tapi dengan satu syarat, buanglah segala petuahmu, bersama kitab kuno yang telah membawamu ke mana-mana. Asalkan kita saling mengerti, tak ada yang mampu membuat kita berjauhan. Jadi, segala bintang-bintang yang kau sebut dulu, lemparlah ke langit sana.”
Ia mengangguk. Dengan berat, ia tersenyum. Aku terkejut, giginya hampir seluruhnya tanggal. Sungguh, kini kami amat jauh berbeda. Seolah pertemuan masa depan, sekira tiga atau empat empat puluh tahun yang akan datang.?
(Tanah Luas, 21 Januari 2011)
Mahdi Idris adalah penulis sastra, bergiat di Balai Sastra Samudra Pasai. Kumpulan cerpennya yang sudah terbit: Lelaki Bermata Kabut (Cipta Media, 2011). Kini menetap di Tanah Luas, Aceh Utara.