Pesan Ayah Temanku untuk Anak Lelakinya

Pan Amroe

Temanku sedang belajar gitar, kali ini agak serius dibanding masa SMA. Karena pesan ayahnya, seorang pria harus bisa dua hal; main gitar dan nyetir mobil. Kemarin paragraf ini terhenti karena buntu ide, maka hari ini kulanjutkan kembali sesuai yang telah kuucapkan pada tulisan sebelumnya. Ini bukan wajib, hanya tidak elok saja mengingkarinya janji yang sudah terlanjur kuucapkan.

Semua orang kurasa tahu, jika bermain gitar mampu menjadi cara untuk beradaptasi dengan lingkungan baru, umumnya kawula muda. Tidak kuping kiri juga jika bermain gitar dapat menghibur diri sendiri, dan orang yang di lingkaran. Dan atas dasar itulah temanku selalu berusaha untuk bisa memetik dawai gitar. Niatnya ini sudah berselang tahun tertunda, dan malam itu ia utarakan ke hadapanku.

Alasan di atas bukanlah satu-satunya, keinginannya yang terpendam ini dipengaruhi oleh keinginannya yang lain. Katanya, usai studi nanti ia akan berkelana ke luar daerah, maka bisa bermain gitar adalah cara yang tepat untuk mencari teman. “Paling tidak ada satu dua kunci yang bisa aku mainkan jika kawan-kawan meminta,” katanya santai.

Malam semakin larut saat ia ucapkan itu, tapi jemarinya masih saja menekan dawai gitar. Kurasa sudah lebih enam jam ia mengulik gitar, walau sesekali ia letakkan di bangku kayu, lalu ia ambil lagi. Kadang ia bertanya, sekemapuanku jawaban pun kuberikan. Kataku, jangan menghafal kunci, tapi biasakan mengingat nada. Karena sepengalamanku, cara itu lebih mudah dibanding menghafal kunci untuk setiap lagu.

Niatnya untuk belajar gitar sudah lama, tapi sayang, selama ini hanya ada satu gitar tua yang sudah jarang dipakai karena empat dawainya putus. Dan niatnya baru kesampaian setelah seorang teman lain mau meminjamkan gitarnya. Itu pun karena ia sudah lama tidak memainkannya lagi, dan itu gitar ia beli semasa ia masih di bangku SMA.

Soal warna, menurutku, itu gitar memang agak kampungan. Namun wajar saja, karena pilihan warna itu soal selera. Bicara soal suara, ini gitar layak diperhitungkan, walau murah dan sudah tua, tapi masih enak untuk didengar. Setidaknya bisalah untuk menghibur diri dan ngejrang-ngejreng di simpang jalan. Kalau butuh kali, ini gitar juga boleh diajak ke panggung untuk mengiringi biduan tua bernyanyi.

Malam sudah begitu larut, mataku pun tidak bisa diajak kompromi lagi, baiknya diam-diam aku pamit saja, karena aku tidak mau tumbang, setidaknya tidak untuk malam ini. Sepeninggalku, temanku masih setia melanjutkan belajar, kini YouTube-lah menjadi gurunya hingga menjelang pagi.Belakangan kutahu, ia tertidur di kursi kayu, berteman gitar hingga lepas kokok ayam.

Berselang jam, aku bangun lebih telat dan temanku sudah lebih dulu menikmati kopi di meja semalam. Masih saja gitar dalam pelukannya, dan walau terlihat kaku, tapi ia belum bosan memainkan jemari di atas gagang gitar. Temanku itu benar-benar ingin bisa bermain gitar, agar ia bisa mengaku dirinya sebagai lelaki sejati, begitu pesan ayahnya beberapa tahun silam.[]

Leave a Comment