Atmosfer Stadion Luzhniki tampak bertabur warna, gemuruh, bising dan kilau. Semarak dan riang. Aida Emilevna Garifullina, sopranis setempat melantunkan Kalinka, lagu rakyat yang ditulis Tahun 1860 oleh Ivan Larionov, diiringi koor anak-anak tuan rumah. Lagu yang mengisahkan keindahan tumbuhan yang dalam Bahasa Russia disebut Kalinka (Viburnum Opulus).
Sejenis perdu beri-berian yang berbunga seputih salju dan berbuah semerah saga. Ceria memancar dari nyanyian mereka. Spektator yang memadati partai final tak lagi melulu bernuansa warna Prancis dan Croatia, 2 tim yang akan saling menggempur dalam tempur sepanjang 90 menit. Ragam warna mengimbangi 2 warna.
Sekonyong, tanpa memberi tahu terlebihdahulu, juru kamera mengalihkan sorotan ke satu titik di tepi lapangan, seorang lelaki berambut gondrong-kriwil, berbandana hitam, bersandang putih atas-bawah tengah menabuh Conga (Tumbadora), perkusi khas dari Negeri Kaleng Gula Dunia, Kuba. Tapi bukan alat musik itu yang mengkobel perhatianku, melainkan lelaki yang memainkannya; Ronaldo de Assis Moreira. Akrab dengan lakab Ronaldinho.
Magnet Ronaldinho menyedot perhatian 1 miliar pasang mata dengan aksi solo Conga-nya. Memberi sentuhan epilog yang sungguh madu dan padu bagi penghujung lagu. Beberapa puluh detik sebelum Will Smith dan Nicky Jam mewakili ehm… nuansa Hollywood-Amerika berhias penampilan artis Kosovo, Era Istrefi menembangkan lagu tema Piala Dunia 2018, Live it Up!
Ia adalah Jugadors kedua di dunia yang memperoleh standing ovation dari spektator Santiago Bernabeu saat membantai Real Madrid di singgahsana suci mereka 3:0, 19 November 2005. Dialah yang mampu merubuhkan nuansa perang dan benci yang biasanya melingkup pertandingan bertajuk El Clasico. Pendukung tuan rumah yang semestinya kecewa akibat kekalahan tim pujaan mereka tak mampu menutupi kekaguman dan penghormatan terhadap Jugadors Blaugrana asal Negeri Samba. Ronaldinho adalah Jugadors Blaugrana kedua yang memperoleh apresiasi moril setinggi itu dari jama’ah Los Blancos. Jugadors pertama adalah Diego Armando Maradona Franco, peristiwa itu terjadi pada 26 Juni 1983.
Keceriaan selalu berhasil kutangkap dari gestur lelaki berpenampilan minus yang satu ini. Ia seperti tak pernah berupaya sok ganteng untuk menutupi tampangnya yang jelek. Namun, justru di situlah letak keindahan jiwanya. Ronaldinho sukses menutup segala keterbatasan tampangnya dengan skill bermain sepakbola. Lebih jauh lagi, skill sepakbola yang menghadirkan kegembiraan. Riang. Sorak. Kagum.
Adegan itulah yang juga mungkin ditangkap para penonton partai final Piala Dunia 2018 di warkop Ali Kopi, Lampaseh Kota, Banda Aceh. Mereka berteriak gemuruh saat menyadari sosok Ronaldinho-lah yang tengah menabuh Conga. Rempak gendang-tunggal itu berpadu dengan rentak tubuh dan lincah kakinya; Menularkan bahagia bagi yang melihat, sembari mengenang betapa ceria menyaksikan penampilan lelaki yang lahir 21 Maret 1980 itu saat masih mencari nafkah dari olah bola.
Maradona telah sukses menjadikan permainannya benar-benar sebagai perlombaan sebagaimana Ronaldo Luiz Nazario da Lima, Lionel Andres Messi Cutticcini menjadikan sepakbola sebagai ajang pembunuhan dan penghinaan terhadap lawan, Romario Varia yang tampil meledak-ledak seperti panglima perang, sementara Garry Lineker adalah wujud manner khas para Englishmen. Namun, di gocekan kaki Ronaldinho, sepakbola menjelma menjadi virus kebahagian yang lebih menular dari penyakit apapun, ia adalah seniman, filsuf, begawan, yogi dan resinya si kulit bundar!
Tampangnya yang tak komersil memang menjadikannya kalah kelas dengan Cristiano yang lebih cocok jadi bintang iklan. Namun, reputasinya merasuki Andre Nemesio dan Rafael R Ferrari, 2 orang entomologis (ahli serangga) Brazil saat menamai spesies lebah baru yang mereka temukan Tahun 2012 silam. Keduanya bersepakat menamai serangga kolektif tersebut dengan Eulaema Quadragintanovem, untuk menyebut julukan penghormatan khusus bagi seorang pemain sepakbola Brazil bernama Ronaldinho Gaucho. Quadraginta Novem berarti 49, nomor-punggungnya di Clube Atlético Mineiro (CAM), mantan klub-nya di Brazil. Ronaldinho memilih angka 49 sebagai pernghormatan pada ibunya yang terlahir pada Tahun 1949.
Mataku selalu menemukan bahwa ia hendak bermain bola untuk sekedar bersenang-senang semata. Sepakbola yang sungguh untuk menghibur. Itu pula semangat yang mungkin menjalari setiap orang yang menonton aksi sihirnya. Beserta senyum iconic yang mewakili keikhlasan dari dalam dirinya. Tak cuma itu. Prestasinya sebagai pemain bola bukannya kaleng-kaleng. Altar prestasi tertinggi individu dan tim telah ia persembahkan bagi dunia. Saat bersama squad Selecao, ia sukses menyabet gelar tertinggi tersebut 2002 silam sebagai trisula 3R Brazil (Ronaldo, Rivaldo, Ronaldinho), mengalahkan Jerman Yokohama Stadium, Jepang.
Mother Russia telah menjadi Tuan Rumah yang baik. Rumput sintetis telah dibentang di sehampar tanah lapang yang menjadi ajang tempur 4 tahunan. 22 patriot berideologi nasionalismme 90 menit yang akan memperebutkan penguasaan terhadap sebundar kulit yang akan menggelinding akibat tendangan, mengapung dan melayang akibat sundulan serta menghantar luka atau sorak ceria membelah udara. Prancis kembali menjadi jawara dengan Kroasia yang sungguh menjejakkan kesan.
Malam kemarin, aku bersyukur pada Sembahanku tentang satu hal; Se-kapitalis apapun sepakbola kini, senyum dan gestur Ronaldinho tetap proletar!
Image Source: