Harlan

Secuil Kisah tentang Leupung

MASYARAKAT dari pantai barat-selatan sama sekali tidak asing dengan nama Leupung, salah satu kecamatan paling parah dihempas gelombang tsunami pada 26 Desember 2004 silam. Mereka kerap kali melewati kawasan Leupung jika hendak ke Banda Aceh atau sebaliknya, pulang dari Banda Aceh. Mereka pun terbiasa dengan suasana jalan yang berbelok-belok, menanjak-turun, serta pemandangan alam pegunungan yang cukup memikat mata. Gempa dan Tsunami tersebut membuat daerah yang berbatasan dengan Lhoong dan Lhoknga ini pun tersohor kemana-mana.

Secara administratif dan geografis, Leupung termasuk salah satu kecamatan terjauh di Aceh Besar, di samping Lhoong. Pasalnya, untuk menuju ke ibukota Kabupaten Aceh Besar di Jantho, masyarakat Leupung harus lebih dulu melewati kota Banda Aceh. Letak geografis yang jauh inilah yang belakangan kian mencuatkan ide pemekaran wilayah. Sejumlah masyarakat di Lhoong, Leupung, Lhoknga dan beberapa wilayah terdekat lainnya mulai menggagas pembentukan Kabupaten Aceh Raya dengan ibukota di Lhoknga.

Selepas tsunami, Leupung yang tersohor kemana-mana itu menjadi wilayah primadona bagi sejumlah lembaga donor asing. Pasalnya, Leupung ini tak sekadar wilayah yang dihantam tsunami, melainkan juga daerah bekas konflik. Di wilayah ini, gerilyawan GAM dari Sagoe 25 (dalam struktur militer GAM Aceh Rayeuk) melakukan operasinya. Bahkan, saat DI/TII, Leupung pernah menghiasi halaman depan koran nasional. Upaya pemulihan dan pembangunan kembali Leupung seusai tsunami cukup giat dilakukan.

Ketua Yayasan Peduli Nanggroe Aceh (PeNA), July Emirsyah Putra atau akrab disapa Jes Kluet, menuturkan, secara karakteristik masyarakat Leupung berbeda dibanding masyarakat Aceh Besar lainnya. Leupung, katanya, menjadi salah satu wilayah yang paling banyak dimasuki donor. “Wilayah ini tak hanya dihantam tsunami dahsyat tapi juga bekas daerah konflik,” tuturnya.

Nama Leupung pernah membuat gempar jagat politik Indonesia. Di masa Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) meletus di Aceh, Leupung sempat menghiasi halaman depan koran nasional, salah satunya koran Peristiwa. Setelah insiden penembakan tentara republik (anak buah dari Kolonel Simbolon) oleh tentara DI/TII, tentara merazia dari rumah ke rumah di desa Pulot Leupung dan Jeumpa Lhoong, mencari gerilyawan DI/TII. Hasilnya, 64 warga Pulot, 25 warga Jeumpa, dan 10 warga Kruengkala dibawa ke pantai dan dieksekusi mati. (Baca Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam di Aceh, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1990. Hal 144-145)

Jess menganggap wajar kalau banyak lembaga donor dan bantuan mengalir ke Leupung. Dalam catatan Jess Kluet, Leupung termasuk wilayah yang sangat kaya akan sumber daya alam. Di masa konflik dan sebelum tsunami, Leupung tergolong salah satu wilayah produsen kayu terbesar di Aceh. Kebutuhan kayu di Aceh, sebagiannya berasal dari Leupung. “Ada panglong dan usaha pengolahan kayu di sana,” katanya.

Kini, Leupung menjadi primadona dan magnet bagi siapa saja untuk datang ke sana. Daerah yang memiliki bentangan alam yang cukup luas serta pemandangan pantai itu menjelma jadi daerah tujuan wisata. Apalagi akses ke sana pun semakin lancar. Jalan ke Leupung bahkan menyerupai jalan di luar negeri, mulus dan lebar. Jalan yang dikerjakan oleh USAID itu tampak sangat kuat dan lebar. Di sepanjang jalan yang dilewati, hamparan panorama alam serta pantai begitu memanjakan mata, serasa di luar negeri.


Tak hanya itu saja. Jika ada waktu, cobalah menikmati pemandian air dingin yang langsung mengalir dari pegunungan di irigasi Brayeun. Jalan masuk ke sana persis berada di depan Masjid Leupung. Di bendungan Brayeun, Anda bisa menikmati segarnya air yang langsung berasal dari celah-celah batu pegunungan. Jangan datang pas musim kemarau, karena airnya tak sampai melewati anak tangga, areal yang diperuntukkan untuk pemandian.

Kalau Anda datang pas musim durian, puluhan penjaja durian akan memenuhi sepanjang jalan masuk. Anda bisa memilih buah durian manis dan legit asli hutan Leupung. Jika ingin menikmati pemandangan berbeda, datang saja saat musim panen buah manggis. Di sepanjang jalan masuk ke lokasi irigasi akan dipenuhi penjaja buah manggis, sehingga membuat jalanan berubah menjadi warna ungu seperti warna buah manggis. Sungguh menggiurkan.

Di wilayah inilah PeNA melakukan program Restorasi Ekosistem Hutan dan Lahan Serta Pendokumentasian Aturan Adat. Melalui program tersebut, PeNA ingin menghidupkan sejumlah bentangan lahan agar kembali produktif. “Minimal, Leupung sebagai sentra penghasilan buah durian, langsat, rambutan dan manggis, tidak hanya tinggal nama,” kata Jess, akhir 2015 silam. []


Leave a Comment