Hidup seumpama kanvas polos yang boleh dilukis oleh siapa saja. Dan setiap kita adalah pelukis handal, yang telah diberi kemampuan sejak kita dilahirkan. Pembentukan jiwa adalah lukisan itu yang divisualkan lewat karakter dalam hidup keseharian. Maka pilihlah cat yang baik, lalu lukislah secara perlahan. Tidak usah terburu-buru, dan selalu perhatikan, jangan sampai cat tumpah sembarangan karena itu akan mengurangi makna lukisan.
Dalam banyak hal, manusia yang serakah, selalu ingin melukis dengan tergesa-gesa. Maka tidak heran, jika banyak manusia memilih untuk tidak melukis dengan cat, mereka lebih memilih darah sebagai penggantinya. Mungkin biar terkesan ngeri dan hebat. Tapi, akan sehebat apakah orang yang berani melukis hidupnya dengan darah manusia?. Bagiku, memegang lukisannya saja kurasa tidak mampu.
Dan lagi, ada manusia yang senang melukis jiwa dan hidupnya dengan luka-luka manusia lain. Ia hadir bertopeng pahlawan, walau sebenarnya ia hanya memanfaatkan luka-luka manusia lain untuk menunjukkan bahwa lukisannya, dan berharap lukisan itu akan dibayar mahal dengan pengakuan khalayak. Ia sebenarnya pengecut yang ingin disebut pahlawan.
Dan lagi, ada manusia yang saban hari melukis kanvasnya dengan fitnah dan kabar buruk yang tidak semestinya dikabarkan. Semata-mata, itu karena ia senang melihat kekacauan yang timbul akibat fitnah dan kebencian yang ia sebarkan. Lalu, dari sanalah ia mendapatkan keuntungan. Sesungguhnya, ia adalah pengagum dan pemuja setan, walau sering kita lihat dan setiap hari ia bersujud menyembah Tuhan.
Dan lagi, ada manusia yang senang melukis kanvasnya dengan wajahnya sendiri. Hingga kemana pun ia pergi dan dimana saja ia hadir, yang terlihat adalah wajahnya saja. Dalam kepalanya hanya ada kalimat “Akulah manusia hebat yang pantas mendapatkan semua, sedang kalian tidak.” Ia jarang melihat wajah lain yang lebih atau kurang darinya dalam hal apapun.
Dan lagi, ada manusia yang senang memenuhi kanvasnya dengan wajah manusia lain. Itu karena, semata-mata hidupnya bertujuan untuk membuat orang lain di sekelilingnya senang. Ia bahagia di saat manusia lain bahagia, dan ia akan sedih di saat manusia lain sedih. Ia tidak memanfaatkan, karena baginya semua yang ada adalah untuk membuat orang lain bahagia. Ia memahami, bahwa kebahagiaan akan sempurna di waktu kebahagiaan tidak ditelan sendiri.
Dan lagi, ada manusia yang membiarkan kanvasnya kosong melompong. Awalnya putih, tapi lama-kelamaan, kanvas miliknya menjadi kuning dan lapuk karena dibiarkan terletak begitu saja di ruang hati yang sudah ia kunci. Hingga, suatu saat ia akan sadar, bahwa kanvas manusia tidak ada yang putih bersih. Maka lukislah dengan hati-hati dan perlahan selama tangan dan hati masih bisa digerakkan.
Terakhir, janganlah berharap lukisan akan selesai dalam hitungan hari, minggu, bulan, bahkan tahun. Tapi lukislah terus menerus, karena kanvas kita tidak berbatas ukuran. Ia melebihi luas samudra, bahkan boleh jadi melebihi jagad raya. Namun fahamilah, bahwa lukisan kita dengan sendirinya akan selesai, dan ia selesai hanya bersebab Tuhan.[]