Saya datang jam dua, sesuai undangan. Saat saya buka aula seminari tidak ada orang di sana. Tidak ada juga tanda-tanda kalau di sana akan diadakan sebuah perhelatan penting. Ruangan itu besarnya “hanya” lima kali empat meter saja. Di salah satu sudutnya ada seperangkat televisi. Di sisi kanan pintu masuk ada sebuah lemari arsip.
Di tengah ruangan ada sebuah meja agak panjang dengan beberapa kursi di sekelilingnya. Di dua sisi dinding berderet kursi. Karena tidak ada orang, saya pergi ke sekretariat mahasiswa Ph.D. Namun ternyata di sana juga tidak ada orang. Tapi saya sangat yakin kalau saya tidak salah dengar berita minggu lalu.
Orang yang menyampaikan berita itu adalah –katakan saja namanya Julia, kakak leting saya di kampus. Ia mengatakan kalau hari ini jam dua lewat ia akan mengikuti sidang disertasi. Dalam tradisi kampus di manapun, sidang disertasi adalah babak terakhir dari proses pendidikan doktoral di universitas.
Setelah selesai presentasi di hadapan dewan penguji, habis sudah “kontrak” menjadi mahasiswa, sebab itu berarti sudah selesai semua proses, sudah berhak menyandang gelar Ph.D sesuai dengan bidang ilmunya.
Setengah jam saya di ruangan mahasiswa doktor, tiba-tiba pintu terbuka. Saya lihat Leonardo masuk. Saya kenal betul dia, anak delapan tahunan, putra tertua Julia.
Berikutnya masuk Julia dan anak bungsunya yang belum genap dua tahun, disusul adik Julia, orang tuanya, mertuanya, dan seorang teman. Setelah berbasa-basi sebentar, kami menuju ruang sidang.
Semula saya menduga ada ruang lain yang akan digunakan, bukan aula seminari yang tadi saya lihat. Tapi dugaan saya keliru, ruang itulah yang dipakai untuk sidang.
Kami masuk semua, termasuk anak-anak Julia. Sesaat kemudian datang tiga orang penguji dan duduk di salah satu sisi meja. Julia duduk di sisi meja yang lainnya, mereka berhadapan. Mereka basa-basi dengan sangat ramah sebentar sehingga tidak terlihat Julia tertekan menghadapi “sidang”.
Jangan bayangkan Julia dan penguji mengenakan baju toga besar dan berat dengan berbagai pernak-pernik keemasan di depanya, sama sekali tidak. Baik Julia maupun pengujinya, mengenakan baju biasa. Penguji yang laki-laki mengenakan celana kain dan baju krim.
Seorang penguji perempuan mengenakan jeans, bajo kaos dengan luaran sweater. Seorang penguji perempuan yang lain juga mengenakan pakain sehari-hari. Julia sendiri mengenakan baju kaos dengan sweater (karena musim dingin), dan mengenakan celana pendek.
Pembimbing Julia duduk di barisan tamu, barisan di mana saya duduk, persis di belakang Julia. Ia hanya punya hak mendengar saja, tidak ada hak bicara kecuali kalau diminta. Sidang dimulai dengan mempersilahkan Julia menjelaskan isi disertasinya. Lumayan lama, mungkin 20 menit.
Penjelasan tanpa teks dan tanpa melihat disertasi (Julia sendiri tidak membawa disertasi dalam sidang). Kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab. Sidang ini bukanlah “menguji” mahasiswa, tapi memberikan saran supaya disertasinya lebih baik.
Saran termasuk referensi tambahan, cara analisis, prospek ke depan terkait dengan bidang tulisan si mahasiswa, termasuk kemungkinan penerbitan karya itu menjadi buku. Kalau saya lihat, suasananya adalah suasana “ngobrol serius di warung kopi,” bukan seperti sebuah sidang akhir di Universitas.
Setelah dua jam, sidang selesai. Kami dipersilahkan keluar sebentar. Di luar kami mengucapkan selamat kepada Julia karena ia bisa menyampaikan isi tulisannya dengan lancar dan bisa mejawab beberapa pertanyaan penguji juga dengan lancar. Hanya beberapa menit, kami dipersilahkan masuk kembali dan sidang dilanjutkan. Julia dan ketiga penguji berdiri berhadapan.
Penguji mengatakan kalau sidang sudah selesai, dan Julia lulus dengan predikat tertentu. Selesai, para penguji duduk kembali dan menandatangani semua dokumen administrasi, termasuk dokumen yang mengatakan bahwa sidang sudah selesai.
Artinya, setelah sidang itu, Julia tidak perlu lagi berhadapan dengan penguji untuk meminta tanda tangan mereka. Kami keluar dan kembali ke ruang Ph.D, semua, termasuk tiga orang penguji.
Di sana, kami minum-minum, sampagne, teh, coca-cola, makan gorengan dan beberapa potong roti. Tidak ada perbedaan strata makanan antara mahasiswa, tamu dan tiga orang professor yang barusan menguji disertasi.
Seperti halnya tamu, mereka juga menuangkan air sendiri ke dalam gelas plastik sekali pakai yang disiapkan Julia, mengambil sendiri maknan di atas meja, makan sambil berdiri dan bercerita dengan rekan yang lain.
Di sana ada ibu kandung Julia, juga bapak dan ibu mertuanya, profesor pembimbing dan tiga orang proffesor yang barusan menguji tadi. Selebihnya adalah keluarga dekat Julai dan beberapa temannya. Suasana sangat santai.
Di sela-sela pesta kecil itu pikiran saya terbang ke kampus kecil Darussalam-Banda Aceh di mana saya mengajar. Saya melihat wajah kerut mahasiswa S1 yang kesusahan menyedikan buah-buahan mahal atau makan siang nasi kotak untuk dosen pengujinya. Saya melihat wajah sangar dosen yang merasa paling paham atas hasil kerja mahasiswa S1 yang padahal saat kuliah ia sendiri jarang masuk mengajar mereka.
Saya melihat pembimbing yang berlepas tangan atas mahasiswa bimbingannya yang sedang “diserang” oleh penguji dan merasa seolah semua kata yang tercetak dalam skripsi itu adalah hasil kerja si mahasiswa dan si mahasiswa bertanggung jawab sepenuhnya atas hasil kerja itu.
Saya melihat semua mereka berada di ruang khusus dengan spanduk khusus dan pakaian khusus yang terkadang membuat mereka kepanasan dan sulit bernafas. Itu suasana S1. Bagaimana kalau S3?
Yah… begitulah. Kita mengatakan pemilik qanaah, tapi kita berlaku boros. Sebaliknya kita mengatakan orangmaterialistis, padahal ternyata dalam banyak hal mereka mempraktekkan hidup sederhana.[]