Baca dulu Suatu Sore di Musim Gugur (1)
Duduk dua jam membolak balik buku Gramatica Italiana membuat punggungku kebas. Aku berdiri dan berjalan-jalan mengitari ruang tamu apartemen kecil kami untuk menyegarkan otot-ototku. Kata orang duduk lama memang tidak bagus pada kesehatan. Tapi menurutku bukan hanya tidak bagus bagi kesehatan, tapi juga tidak bagus bagi “mata”, mata pencaharian. Sebab kalau sakit, tidak ada jalan lain kecuali menguras isi dompet. Itupun kalau dompet punya isi.
Aku berjalan menuju balkon kecil di sisi ruang tamu. Dari lantai sembilan ini aku bisa lihat sebagian kesibukan di piazza Carnela dekat apartemen. Aku memang sedikit beruntung tinggal di sini. Berdiri di balkon ini aku merasa kalau aku telah melihat Milan sesungguhnya. Dari sini aku bisa melihat Corso*) Burnoes Aires yang nampaknya hari ini tidak terlalu penuh dengan kenderaan. Padahal corso ini adalah jalan yang paling terkenal dengan toko-toko fashion kelas wahid. Dari balkon aku bisa melihat jelas para penggila fasion dari seluruh dunia, umumnya perempuan dan lelaki metropolis, menenteng belanjaan mereka.
Dari sisi kiri balkon, aku bisa melihat Parco Sambro yang indah. Aku kadang heran, bagaimana mungkin di tengah kota metropolitan ini masih ada sebuah hutan kota yang luas dan teduh. Apalagi di tengah hutan itu ada sebuah sungai yang mengalirkan air jernih. Bebek yang dikampungku dipelihara dan harganya mahal, di dalam sungai itu hidup bebas dan tidak ada pemiliknya. Pada tengah malam, saat kenderaan sudah senyap terkadang terdengar suara bebek yang menggema dipantulkan pepohonan di hutan.
Tiba-tiba kau terkejut, kaget. Dari balik sebuah pohon besar yang daunnya sudah menguning semua kulihat seorang perempuan bergelut dengan dua laki-laki. Ia menjerit-jerit keras, tapi tidak ada yang bantu. Si perempuan meronta-ronta minta dilepaskan. Namun nampaknya tangan dua orang laki-laki itu terlalu kuat memegangnya. Satu persatu pakaian si perempuan terlepas dan terbuang, tapi ia masih terus meronta dan berteriak. Kedua laki-laki itu tidak peduli dan terus menggumulinya. Mataku tidak berkedip melihat kejadian itu. Sangat cepat, dua laki-laki itu seperti melakukan sesuatu. Mereka bertiga jatuh ke tanah, perempuan di bawah dan dua laki-laki di atasnya. Dan tiba-tiba, kedua laki-laki itu berdiri dan berlari cepat ke balik pepohonan.
Aku sangat terkejut ketika melihat si perempuan yang telentang di rerumputan. Dia dibunuh! Dari lehernya mengalir darah segar. Hampir semua badannya nampak dipenuhi darah. Aku ternganga, tidak bisa bicara, tidak bersuara, tidak bergerak. Aku seperti mematung di pinggir pagar balkon. Apa yang terjadi di dalam taman itu? Kenapa si perempuan dibunuh?
Aku berlari ke kamar Marco. Kubuka pintunya tanpa mengetuk terlebih dahulu. Ia sudah pernah menegurku karena kebiasaan ini. Namun kali ini aku tidak peduli. Di dalam taman ada orang terbunuh. Mungkin ia bisa menelpon polisi, atau menghubungi kenalannya. Marco, temanku satu apartemen adalah seorang perawat di sebuah rumah sakit di Milan. Dengan bahasa Italiaku yang sangat buruk kukatakan kepadanya kalau di taman ada perempuan terbunuh. Ia sangat kaget, dan segera bangkit dari ranjangnya dan meletakkan buku di meja. Ia segera mengikutiku ke balkon. Aku menunjuk ke arah perempuan yang masih terbaring di sana dengan darah yang semakin banyak. Marco mengatakan sesuatu, tapi aku tidak paham. Ia kembali ke kamarnya, mengenakan sepatu dan jaket tebal. Ia mengajakku turun dan pergi ke taman.
Aku bergegas mengenakan pakaian musim dinginku, lalu kami berlari menuju lift dan turun ke lantai bawah. Untuk pergi ke taman kami harus menyeberangi dua jalan; via Giuseppe Pelitti dan via Monte Nuovo. Ini tidak mudah karena kami harus berlari ke arah persimpangan. Di persimpangan, kami harus menunggu lampu hijau untuk pejalan kaki baru bisa menyeberang. Kadang aku suka menyerang tanpa melihat lampu ini, dan klakson bertubi yang keras selalu mengiringi langkahku ke seberang jalan.
Marco berjalan sangat cepat, seperti berlari. Matanya menunjukkan keseriusan dan tanggung jawab. Aku tahu, jiwa keperawatannya merasa terpanggil saat melihat peristiwa berdarah ini. berkali-kali aku mengatakan kepadanya: Marco, lentomente per pavore.**) Ia berjalan lambat sebentar, tapi kemudian ia kembali berjalan sangat cepat. Aku terus membuntutinya dari belakang. Setelah melewati jalan kedua, kami masuk ke jalan bawah tanah melintasi rel kereta api. Setengah berlari di lorong yang remang-remang, akhirnya kami muncul persis di depan gerbang parco Sambro.
Kami segera masuk ke dalam hutan kota itu dan melihat ke arah apartemen untuk memastikan posisi perempuan yang terbunuh. Setelah yakin, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini kami tidak lagi berjalan, tapi benar-benar berlari. Aku yang tidak pernah olah raga, langsung terengah-engah setelah berlari beberapa langkah saja. Nafasku kurasa sudah diujung hidung. Aku hampir tidak sempat menghirup udara tapi sudah harus mengeluarkan udara yang ada dalam tubuhku. Aku bahkan tidak sanggup lagi memanggil Marco. Ia terus berlari. Aku tidak punya pilihan, harus ikut berlari di belakangnya.
Limapuluh meter sebelum posisi si perempuan, kami melihat beberapa mobil berdiri di pinggir jalan kecil hutan kota ini. Salah satunya mobil ambulan dengan beberapa orang yang berpakaian seperti perawat. Kami terus mendekat untuk memastikan apa yang terjadi. Tapi ketika tiba di lokasi, aku tidak sanggup lagi berdiri. Aku langsung jatuh terduduk dan menghela nafas dalam-dalam. Aku bahkan tidak tahu apa yang dilakukan Marco. Kakiku menjulur ke depan, kepalaku menengadah ke atas. Kotompang badanku dengan kedua tangan ke belakang. Aku merasa tenagaku benar-benar terkuras. Mataku terasa seperti berkunang-kunang. Sepertinya aku akan pingsan.
Tiba-tiba Marco berteriak kepadaku. “Agam… Cinema… cinema…cinema” ia tertawa terbahak-bahak. Ia bicara lagi dalam bahasa Italia, tapi aku tidak paham. Ia bicara sambil tertawa keras. Tidak jelas apa yang ia katakan, tapi seolah pembunuhan si perempuan itu tidak mengerikan, tapi malah menggelikan. Dari sedikit yang bisa kutangkap aku tahu apa yang terjadi di balik kerumunan mobil itu. Si perempuan yang terbunuh itu adalah seorang artis yang sedang shoting sebuah film. Huuuuhhhhhh….. menyebalkan!! Badanku semakin lemas. Aku membaringkan diri di jalanan taman itu, aku sangat lelah. Tapi tiba-tiba Marco berteriak. “Agam… la nostra porta è aperta!” ***) Aku bangkit dan kembali harus mengikuti Marco yang berlari sangat cepat pulang ke apartemen. [Habis]
Catatan:
* Jalan protokol
** tolong pelan-pelan sedikit
*** pintu kita terbuka!!