New York (IPS) – Sebagai satu langkah untuk memperbaiki catatan HAM-nya, pemerintah Burma mengumumkan pada 11 Oktober bahwa mereka akan membebaskan 6.359 tahanan. Namun berapa banyak dari jumlah itu akan diambil dari sekira 500 hingga lebih 2.000 tahanan politik belumlah jelas.
Hari berikutnya, Burma –secara resmi dikenal sebagai Republik Persatuan Myanmar– menetapkan pembebasan pertama sebanyak 200 tahanan.
Di antara mereka ada komedian dan aktivis Zarganar, yang ditangkap pada Juni 2008 karena berbicara kepada media asing tentang situasi genting jutaan warga Burma yang kehilangan rumah di delta Irrawaddy akibat hantaman topan. Lima bulan kemudian, Zarganar dijatuhi hukuman penjara 59 tahun dengan delik mengganggu ketertiban umum.
Kendati para aktivis dan organisasi internasional seperti HRW yang berbasis di New York umumnya menghargai pembebasan gelombang pertama itu, mereka tetap mengkritik cakupan sesungguhnya dari pengumuman itu.
“Ini satu langkah positif bagi para individu dan keluarga mereka. Tapi dalam koridor amnesti yang lebih besar, mereka harus membebaskan seluruh tahanan tanpa syarat,” ujar Elaine Pearson, wakil direktur HRW divisi Asia, kepada IPS.
“Ini sebuah langkah kecil yang maju. Orang-orang ini tak menawarkan keripik kentang atau sandera sehingga militer berkepentingan. Mereka adalah orang-orang yang ditahan secara tak adil.”
Into the Current, film dokumenter karya sineas Amerika yang berbasis di Bangkok, Jeanne Marie Hallacy, menggambarkan beberapa tahanan itu dan memberikan gambaran situasi politik dan sosial di Burma, sebuah negara yang berada di bawah pemerintahan militer sejak 1962 hingga 2011.
“Aspek paling menantang dari film tersebut adalah kami tahu bahwa kami harus mengandalkan ingatan,” ujar sutradara itu dalam sebuah wawancara dengan IPS.
“Benar-benar menantang kami untuk menemukan cara agar kami bisa mendorong dan membangkitkan emosi dan kemarahan mendalam dari orang-orang yang dipenjara tanpa petunjuk visual tentang apa yang pernah mereka alami,” ujarnya.
Namun kekurangan citra visual ini justru membuat film itu menimbulkan atmosfir menakutkan dan menyesakkan dada. Dengan mengandalkan pernyataan para mantan tahanan, teror politik dari rezim penindas memperoleh wajah, suara, dan takdirnya.
Salah satu dari ribuan tahanan yang mengalami kekejaman penjara-penjara Burma adalah Thet Moo. Dia ditahan selama tujuh tahun karena menjadi anggota All Burma Federation of Student Unions, yang ikut mengorganisasi pemberontakan nasional prodemokrasi pada 1988 tapi ditindak secara kasar oleh junta militer.
Di penjara, “Kami tak tahu masa depan kami,” kata Moo kepada IPS. “Saya tak tahu apakah bisa keluar dalam keadaan hidup atau tidak.”
Bukan hanya para tahanan yang menerima hukuman fisik dan mental dan fisik setiap hari. Sineas seperti Hallacy dan wartawan-wartawan yang membantu karyanya di Burma juga mendapat ancaman serius setiap hari.
“Bekerja di dalam negeri sangat sulit bagi wartawan dan media,” ujar Jeanne Marie Hallacy, yang belum mendapatkan visa Burma sejak 1990-an.
“Kami pernah melihat wartawan-wartawan Burma yang dihukum 65 tahun hanya karena sebuah berita. Dan kami punya informasi kuat bahwa mereka disiksa agar mau membocorkan informasi tentang kolega mereka di jaringan media bawah tanah ini yang mengumpulkan informasi.”
Untuk alasan ini, banyak materi dalam film merupakan rekaman lama yang diambil Hallacy selama 1990-an, rekaman yang difilmkan sembunyi-sembunyi, atau pernyataan dan objek-objek personal –potret keluarga, surat kepada teman, ataupun lagu yang dinyanyikan seorang tahanan.
“Orang-orang merespon kisah-kisah kemanusiaan secara individual –orang-orang yang ayah, ibu, atau saudaranya berada di dalam penjara,” kata Hallacy.
“Mereka sudah mati rasa dengan angka,” uajrnya. “Jika Anda mengutip data statistik, itu tak punya arti apa-apa bagi kebanyakan orang. Tapi jika Anda fokis pada kepahlawanan dan keberanian mereka, itu bisa berbicara banyak hal.”
Ada kesan Into the Current menggambarkan Burma secara negatif. Tapi pesan dalam film itu tak sepenuhnya pesimistik. Di bagian akhir, tokoh utama Bo Kyi, mantan tahanan politik yang kini jadi eksil di Thailand, akhirnya bisa melihat istri dan putrinya lagi.
Kendati keluarga mereka belum bisa menjalani hidup normal di Burma, harapan akan Burma yang lebih baik tetap hidup, terutama setelah terpilihnya pemerintahan baru tahun lalu.
“Masalah utama pemerintah baru adalah birokrasi mereka sangat lamban,” ujar Thet Moo. “Kami menunggu mereka berubah. Bila mereka berubah, semua orang pasti ingin pulang ke Burma.”
Bagi Pearson, Burma masih harus melalui jalan panjang dan berliku. “Burma merupakan negara yang memiliki kondisi HAM paling gawat di dunia,” ujarnya. “Kami belum melihat pemerintah baru ini benar-benar melakukan upaya untuk membuat perubahan di negara itu.”
Harapan terbesar Burma –dan salah satu tokoh yang selalu menjadi acuan film itu– adalah Aung San Suu Kyi, politisi oposisi Burma sekaligus peraih Nobel Perdamaian 1991 atas “perjuangan tanpa kekerasan demi demokrasi dan HAM”.
“Pesan film itu adalah menyampaikan bahwa antikekerasan adalah jalan mereka,” ujar Hallacy.
“Itulah yang akan menggerakkan perubahan –bukan balas dendam, kebencian, atau ganti rugi tapi kritik dan respon nyata atas kezaliman dengan kebaikan, karena itulah yang akan mengubah orang. Ketika Anda mengubah hati seseorang, otomatis Anda mengubah politik masyarakat.”
Aung San Suu Kyi tak pernah dipenjara tapi dikenai tahanan rumah selama 15 dari 21 tahun terakhir. Ini jadi salah satu alasan kenapa dia menjadi simbol oposisi melawan penindasan terhadap rakyat Burma, khususnya yang masih berada di penjara karena perlawanan mereka terhadap sistem pemerintahan.
“Kami tahu pembebasan 200 tahanan politik, sementara 1.800 lainnya tetap berada di penjara,” ujar Pearson. “Orang-orang tersebut mengkritik pemerintah, menulis artikel kontroversial di media, dan berpartisipasi dalam demonstrasi-demonstrasi. Mereka tak seharusnya dipenjara. Mereka adalah orang-orang yang seharusnya jadi bagian dari masyarakat.” [Christian Papesch]
Translated by Farohul Mukthi
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik, dan dimuat kembali di Acehcorner.Com atas izin Yayasan Pantau