Harlan

Tinggalkan Senjata demi Keluarga

Kathmandu – SONIKUMARI Jha, berusia 26 tahun, mengenakan seragam hijau loreng, mengikat tali sepatu botnya dengan cekatan. Dia siap melangkah keluar dan mengumumkan keputusannya untuk memulai hidup baru. Anaknya, berusia 4 tahun, yang menyaksikan rutinitas itu bertahun-tahun, teringat bahwa ibunya melupakan sesuatu. Dia berseru, “Mama, kamu melupakan pistolmu.”

“Tidak, sayang,” ujar Sonikumari, sembari tersenyum, “Mama takkan membawa pistol lagi mulai hari ini.”

Delapan tahun lalu Sonikumari bergabung dengan gerilyawan Maois, yang melancarkan perlawanan bawah tanah untuk menghapus sistem monarki di Nepal dan menerapkan sebuah konstitusi dari, oleh, dan untuk rakyat.

Saat ini komandan seksi di Divisi II Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) itu memutuskan untuk mengucapkan selamat tinggal pada perang setelah pemberontakan berakhir.

Ratusan perempuan pejuang Maois, yang bergabung dengan PLA karena tertarik janji kesetaraan dan keadilan selama perang perlawanan 10 tahun sejak 1996, kini meninggalkan medan perang demi anak-anak mereka, termasuk Sonikumari.

“Setelah Perang Rakyat kami berakhir pada 2006, para mantan pejuang yang tinggal di penampungan berharap mereka akan dimasukkan ke dalam tentara nasional,” kata Yam Bahadur Adhikari, komandan Divisi I PLA.

“Butuh waktu hampir lima tahun agar semuanya berjalan. Selama rentang waktu yang lama itu, wajar bila banyak dari mereka menikah dan punya anak. Sekarang pemerintah akhirnya mulai menangani banyak pejuang PLA, kebanyakan ibu-ibu, yang punya anak kecil, yang memilih pensiun secara sukarela ketimbang bergabung menjadi tentara.”

Ketika Maois menandatangi kesepakatan damai pada 2006, diputuskan bahwa PLA, terdiri lebih dari 19.500 pejuang, akan bergabung dengan Angkatan Darat Nepal. Namun, setelah mendapat tentangan dari militer dan partai politik besar, diputuskan hanya sekitar 6.500 gerilyawan yang direkrut.

Sisanya memiliki dua pilihan: pensiun secara sukarela dengan kompensasi atau rehabilitasi, yang meliputi pendidikan karena banyak pejuang yang putus sekolah untuk bergabung dengan gerilyawan, pelatihan keterampilan, dan bantuan guna mendirikan usaha kecil.

Pada November, Komite Khusus menyebar ke tujuh penampungan utama guna bertanya kepada para pejuang PLA tentang apa yang ingin mereka lakukan.

Menurut Letnan Jenderal Balananda Sharma, koordinator Komite, lebih dari 60 persen mantan pejuang ingin masuk tentara. Sisanya ingin pensiun secara sukarela, dan hanya 6 persen menginginkan rehabilitasi.

3.526 perempuan pejuang, sebagian besar telah menikah, terutama yang punya anak kecil, memilih pensiun secara sukarela.

Selain ingin merawat anak-anak mereka, juga takut gagal menjalani tes fisik, banyak dari perempuan ini, yang menikah dengan sesama pejuang PLA, memilih kembali ke kehidupan sipil. Dengan begitu suami mereka punya kesempatan untuk bergabung menjadi tentara.

Muna Limbu, putri petani miskin di Ilam, distrik penghasil teh di Nepal bagian timur, bergabung dengan PLA saat kelas sembilan. Tiga tahun lalu dia menikah dengan sesama pejuang PLA bernama Bimal Limbu, berusia 26 tahun dan kini mereka memiliki putri berusia 11 bulan.

Karena Bimal ingin jadi tentara, Muna memutuskan untuk mengambil pensiun secara sukarela, sekalipun meninggalkan perasaan sedih.

“Impian saya tak terpenuhi,” ujar Muna, wajahnya muram. “Saya bergabung dengan Maois demi lahirnya republik rakyat di mana tak ada lagi penindasan dan ketidakadilan. Saya mengorbankan tahun-tahun terbaik dalam hidup saya dan sekarang diminta partai untuk berkorban sekali lagi demi perdamaian dan konstitusi baru.”

Meski Maois setuju membubarkan PLA dalam waktu enam bulan setelah perjanjian damai dan membantu merancang konstitusi baru pada 2010, hal itu tak terwujud.

Saat ini, dengan Mahkamah Agung memutuskan agar pemerintah merampungkan konsitusi baru pada Mei 2012 atau harus mengadakan pemilihan umum, para Maois, yang sekarang memimpin pemerintahan, akhirnya mulai memproses penyaluran PLA.

Para mantan pejuang tak senang dengan pilihan yang ditawarkan, namun mereka harus membuat pilihan di bawah tekanan partai.

Betapapun perempuan pejuang yang belum menikah bisa bebas mengejar impiannya untuk bergabung ke dalam tentara, ada beberapa pengecualian.

Kamala Sharma, yang terkena peluru di lutut kirinya selama perang sipil, kini cacat. Kamala, berusia 20-an tahun, ingin bergabung menjadi tentara tapi tak mungkin punya kesempatan karena kriteria kebugaran fisik.

Meski pemerintah mengumumkan kelonggaran dalam hal pendidikan, status perkawinan, dan umur bagi pejuang PLA yang ingin bergabung menjadi tentara, puluhan pejuang yang cacat –termasuk mereka yang menderita luka saat perang karena tak diobati, diamputasi, dan tunanetra– menderita dengan masa depan mereka.

Adhikari, komandan Divisi I PLA, berkata ada 19 perempuan cacat di divisinya. Jumlah ini akan bertambah bila tujuh penampungan utama dan 21 kamp pembantu dihitung.

“Ini ketidakadilan dan penghinaan bagi mantan pejuang perempuan yang cacat,” kata Adhikari. “Mereka dipaksa pensiun sukarela. Tapi jika mereka melakukannya, uang yang mereka peroleh akan habis untuk pengobatan dan tak ada yang tersisa untuk menjamin masa depan mereka.

“Juga, dalam masyarakat kami, perempuan harus bekerja lebih keras ketimbang laki-laki. Mantan pejuang yang cacat dapat mengurus diri di penampungan karena rekan-rekan mereka mengurus mereka. Tapi bagaimana mereka bertahan hidup bila mereka kembali ke kampung halaman?”

PLA lagi mendesak partai dan pemerintah untuk menyediakan pilihan lain bagi mantan pejuang perempuan. komite Khusus juga merekomendasikan hal yang sama.

“Mereka yang punya anak kecil bisa diberi cuti sementara yang cacat dapat bekerja di sektor non-militer di departemen-departemen,” kata Adhikari. Bila tidak, dia mewanti-wanti, akibatnya bisa serius.

“Mereka adalah orang-orang yang pernah menerima pelatihan tempur dan tahu bagaimana membuat bom dan merencanakan penyergapan,” ujarnya. “Jika diabaikan, rasa frustasi dan putus-asa bisa mendorong mereka ke dalam perbuatan kriminal. Dan akhirnya, siklus kekerasan takkan pernah berakhir di Nepal.” [Sudeshna Sarkar]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik, dan dimuat kembali di AcehCorner.Com atas izin Yayasan Pantau.