Wardana, Seni dan Masyakarat kita

Rio Pauleta

Saya tidak bisa memainkan satupun alat musik, saya hanya bisa mempermaikan hati wanita. Maka aku kagum akan orang yang bisa memainkannya. Aku juga tak bisa melukis, sehingga ku sangat tersepona melihat orang mampu melukis.

Melukis dan bermain musik, jarang-jarang orang di Aceh bisa. Kalaupun bisa sangat dia awalnya pasti tak ada dukungan orang tua. Orang tua yang seniman pun tak mau anaknya jadi seniman, ibunya pasti mau anaknya jadi PNS.

Maka yang berseni, hidup harus plontang panting dan menahandiri dari ejekan masyakarat kalau dia terus dalam usahanya itu. Penari,pelukis, pemusik dianggap titisan alien, aneh dan tidak bisa dianggap sepertiorang biasa.

Hidup di sini, kita harus slow, lay down, laid low, low profile dan ikutilah orang-orang. Tak boleh kita lain sendiri, kalau lain sendiri akan dianggap aneh. Saat ada yang membuat seminar, kita akan dihalangi untuk bertanya, dan aman sama teman-teman.

Kalau ada yang muncul di dalam kawan, maka kita akan banyak pekerjaan. Maka aku akan menceritakan sedikit Wardana, pria yang luar biasa, bisa memainkan alat musik, melukis, grafis dan seni interior. Aku sangat setuju dengan idenya mengubah paradigma masyarakat.

Masyakarat kita, kalau bukan PNS berbaju coklat, pergi pagijam 07.00 dan pulang jam 17.00 wib, itu bukan pekerjaan. Blogger, youtuber,grabber, mc-ers, dan lain-lain dianggap aneh. Jangan jauh-jauh jadi atlit ajaakan mendapat cibiran sekali-sekala.

Ada ayah yang melarang anaknya berolah raga, karena mungkin entah kenapa. Yang anaknya menjadi PNS akan kastanya naik di masyarakat, padahal yang anaknya buka kedai dan uang lebih banyak, tapi dihargai sebagai orang biasa yang tak punya pekerjaan yang mentereng di mata masyarakat.

Wardana terjebak ke dalam cinta yang orang tua wanita yang sangat dicintainya ingin anaknya menikahi PNS yang berbaju coklat, pergi pagi dan pulang sore itu. Sedangkan Dana adalah seniman sejati yang membenci pekerjaan yang minim kreatifitas itu. Kita kalau jadi pekerja maka akan bekerja itu-itu saja sepanjang tahun, naik jabatan dan bekerja itu-itu juga.

Sedangkan Dan, punya ambisi yang besar mengembangkan seni diPidie. Dia akan lebih senang kalau ada pergelaran seni, video kreatif dan tentusaja bermain musik. Tapi itu semua aneh, masyarakat memandang Dan seorangpenganguran, padahal dia sudah punya kafe dan skillnya di Pidie diperhitungkan.Dia malah bisa membayangkan sebuah logo bagaimana dibuatkan, dan bisamembayangkan kalau lagunya begini, maka videoklipnya akan begini. Sungguh skillyang luar biasa. -malah dia sudah  membuat lagu dan membayangkan videoklip untuk wanita idamannya.

Tapi saat keindahan estetika tak diperhitungkan di kota  kami, maka berpuluh tahun kedepan, tetapseperti tahun ini, gedung-gedung harus berbentuk persegi, masjid harus berkubahdan orang harus bekerja di kantor. Tak boleh membentuk dan membangunkreatifitas sendiri.  Padahal dengankreatifitas-lah penemuan-penemuan baru ditemukan, dan penemu yang luar biasa itu, juga dianggap orang gila di masanya.

Photos from: https://steemit.com/@wardhanawirawan

Dari Tumpok Tirom, Riazul Iqbal Melaporkan

Leave a Comment