Oleh Hasballah, S.Ag
Aceh tanpa jam malam, tanpa ada blokade-blokade jalan di depan pos-pos militer, dentuman dan retetan senjata, penggeledahan, pemeriksaan kartu tanda pengenal, dan perasaan was-was di malam hari. 13 tahun suasana mencekam itu berlalu seiring hadirnya suasana damai.
Aceh sudah jauh berubah dan keadaan pun semakin kondusif, seperti itulah kira-kira pesan yang hendak disampaikan pada peringatan 13 tahun Hari Damai Aceh (HDA) yang diperingati setiap tanggal 15 Agutus ini. Aceh yang dulu kelam semasa konflik bersenjata, perlahan mulai membangun diri dan menampilkan wajah yang lebih humanis. Jika sebelumnya tanggal 15 Agustus diperingati sebagai Hari Penandatanganan MoU Helsinki, maka melalui kerja Kedeputian I Bidang Kajian dan Kebijakan Stretgis Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) diperkuat dengan Peraturan Gubernur Aceh No. 21 Tahun 2014 tentang Hari Damai Aceh.
Konflik yang telah berlangsung selama tiga dasawarsa telah berakhir secara damai. Pada tanggal 15 Agustus 2005, bertempat di Helsinki, Finlandia, pemerintah Indonesia dan GAM bersepakat untuk mengakhiri konflik, kemudian menciptakan perdamaian yang menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat untuk semua pihak melalui sebuah MoU (Memorandum of Understanding) yang selanjutnya dikenal dengan MoU Helsinki.
Selain itu, hak-hak istimewa provinsi Aceh mendapatkan legalitas formal melalui transformasi amanat klausul MoU Helsinki ke dalam UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Tanggal 15 Agustus tahun 2005 merupakan tonggak bersejarah bagi masyarakat dan daerah Aceh untuk memulai kehidupan yang lebih baik.
Perubahan Aceh yang terlihat signifikan ini tidak terlepas dari Penguatan Perdamaian Aceh. Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Badan Reintegrasi Aceh, pasal 1 menjelaskan, Penguatan Perdamaian adalah suatu upaya sistematis dan berkesinambungan dalam membangun sebuah kondisi aman, nyaman, dan tentram yang diharapkan masyarakat untuk memenuhi hak dasar di bidang ekonomi, politik dan sosial budaya untuk kesejahteraan masyarakat Aceh.
Pada pasal 3, juga dijelaskan bahwa reintegrasi dan penguatan perdamaian bertujuan untuk menciptakan dan menguatkan perdamaian abadi di Aceh. Upaya-upaya tersebut dilakukan berdasarkan asas dan prinsip yang ditekankan sedari awal. Pasal 2 ayat (1) menjelaskan, Reintegrasi dan Penguatan Perdamaian berasaskan: a. keislaman; b. kemanusiaan; c. keadilan; d. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; e. keseimbangan, keselarasan, dan keserasian; f. ketertiban dan kepastian hukum; dan g. kebersamaan.
Kemudian, pada ayat (2) dijelaskan, Reintegrasi dan Penguatan Perdamaian dalam bekerja menerapkan prinsip: a. cepat dan tepat sasaran; b. prioritas; c. koordinasi dan keterpaduan; d. berdaya guna dan berhasil guna; e. transparansi dan akuntabilitas; f. kemitraan; g. pemberdayaan; dan h. Nondiskriminatif.
Qanun yang dibidani oleh BP2A yang sebelumnya beroperasi berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 30 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Aceh Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Penguatan Perdamaian Aceh, telah memperkokoh landasan pembangunan dan penguatan perdamaian Aceh yang berkelanjutan.
Konsiderans pengaturan tentang badan khusus yang menangani peguatan perdamaian Aceh melalui Qanun No. 6 Tahun 2015 tentang Badan Reintegrasi Aceh (BRA), berangkat dari hal-hal substansial yang menjadi awal mula perubahan di Aceh, sehingga, program kerja Badan Penguatan Perdamaian Aceh menjadi sangat penting dalam sukses Aceh yang lebih baik, khususnya dalam Hari Damai Aceh (HDA) yang ke-13 ini.
Ada pun konsiderans yang dimaksud adalah, nota kesepahaman antara pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, yang kemudian dikenal sebagai MoU Helsinki. Dalam nota kesepahaman tersebut, ditegaskan komitmen untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat bagi semua. Kemudian konsiderans kedua, reintegrasi kedalam masyarakat harus dilaksanakan oleh pemerintah melalui pemerintah Aceh terhadap mantan pasukan Gerakan Aceh Merdeka dan tahanan politik yang memperoleh amnesti serta masyarakat yang terkena dampak konflik.
Melalui Badan Reintegrasi Aceh (BRA), kita akan menunggu dan melihat bagaimana perubahan Aceh ini juga menjalar kepada transformasi pengalaman kelam dimasa lalu menjadi sumber pengetahuan bagi generasi muda. Memori tersebut tidak boleh terputus, yang berakibat generasi muda tidak paham sejarahnya, karena penguatan perdamaian adalah suatu upaya sistematis dan berkesinambungan.
Kita semua berharap, perdamaian Aceh yang kini sudah menapaki angka 13 tahun agar tetap langgeng dan berkesinambungan. Tugas kita adalah mengisi perdamaian ini dengan terobosan dan program pembangunan yang memberi harapan hidup untuk lima juta jiwa masyarakat Aceh. Dengan demikian, perdamaian Aceh tidak hanya ditandai oleh berhentinya konflik bersenjata, melainkan hadirnya program pembangunan dan perubahan yang menjadi harapan dan cita-cita masyarakat.
Hasballah, S.Ag adalah Deputi Kajian dan Kebijakan Strategis BP2A, 2014