Akhirnya, tugu Rumoh Geudong yang sudah berselang tahun direncanakan untuk diresmikan pun akan dilakukan oleh masyarakat setempat dengan dukungan lembaga yang selama ini konsen di isu Hak Asasi Manusia (HAM). Ini tugu yang baru saja selesai semata-mata untuk mengenang para korban dari ganasnya konflik yang pernah berkecamuk di Aceh. Dan Rumoh Geudong adalah satu titik dari bukti akan kejamnya perang.
Sekira tiga kali aku pernah menapaki areal Rumoh Geudong yang terletak di Gampong Bilie Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Pidie. Kedatanganku ke sana untuk kepentingan pendokumentasian kisah perih yang masih hidup di selingkar rumah yang pernah dijadikan pos militer di masa DOM, itu sejak tahun 1989-1998. Ada beberapa kisah yang sangat tidak elok kuceritakan, karena semua menyangkut dengan luka lama semasa perang melanda.
Tapi ada baiknya sekilas kuulas tentang suasana areal Rumoh Geudong yang kini terlihat sunyi senyap dan masih dibalut aura penyiksaan. Sementara ini dalam areal hanya ada sepetak kebun jati, puluhan batang kelapa, batang melinjo, dan ilalang yang tumbuh tidak terurus. Sedang sisa Rumoh Geudong hanya tinggal dinding beton yang tidak lagi utuh, tangga, dan dua sumur tua yang airnya sudah menghitam.
Saat kedatanganku untuk kedua kali ke sana, seorang pria sempat menunjukkan beberapa lokasi yang akrab dijadikan sebagai tempat penyiksaan, seperti kolam lintah di samping Rumoh Geudong yang kini sudah ditimbun. Batang kelapa tempat korban diikat, sebelum nyawanya dihabiskan. Ada juga areal bekas kamar, yang dulunya saban hari dijadikan tempat memperkosa wanita-wanita yang dianggap bersekongkol dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Semua yang kutulis diparagraf di atas adalah benar adanya. Dan segala sesuatu yang kini berdiam di Rumoh Geudong adalah saksi bisu yang tidak mampu mengungkap. Namun siapa saja akan mampu merasa jika sejenak saja mau berdiam untuk menyatu dengan aura yang masih tersisa. Perang sudah beberapa tahun reda, tapi luka masih tertanam di bawah tapak Rumoh Geudong.
Jika pembaca ingin berlumur banyak dengan kisah Rumoh Geudong, kurasa tidak cukup hanya membaca ini saja. Untuk itu, sempatkanlah mengetik kata “Rumoh Geudong” di kolom searching internet anda. Ada banyak narasi pilu yang mungkin tidak habis untuk dibaca dalam seminggu, mengingat banyaknya darah yang telah tumpah di atas tanah bekas rumah milik hulubalang ini. Tapi semua tinggal sisa yang masih mampu bercerita.
Kini, sudah hampir 20 tahun sejak Rumoh Geudong dibakar dan lalu ditinggalkan oleh serdadu, namun masyarakat tetap menjadikan ini sebagai titik balik bagi kumpulan luka. Semua itu sebagai bukti bahwa kekerasan memang pernah merajalela di halaman rumah mereka, bahkan merayap hingga ke kamar tidur yang tidak semestinya dimasuki oleh sembarang orang, pun bahkan tentara.
Dan beberapa hari lagi, tepatnya 12 Juli 2018, semua elemen yang selama ini terus mengawal kebenaran untuk dan atas nama kemanusiaan pun telah sepakat bahwa tugu Rumoh Geudong akan diresmikan, walau letaknya tidak di dalam areal rumah. Ini karena ahli waris tidak sepakat jika Rumoh Geudong hanya dikenang perihnya. Mengingat, semasa penjajahan Belanda, ini rumah juga pernah menjadi tempat berkumpul para pejuang untuk mempertahankan tanah lahirnya.
Terakhir, dalam gambar di muka undangan terbuka untuk seluruh rakyat Aceh, sepenggal kata untuk menjaga semangat sejarah pun ditoreh di tugu peringatan. Kalimat singkat yang bermakna juang ini pun pantas disematkan di tugu sebagai tanda, bahwa kebenaran tetap harus diungkap agar semua perih tidak usang dan luka tidak hilang dalam ingatan setiap generasi mendatang. Itu semua bukan karena rasa dendam, tapi karena sejarah jangan sampai terpendam semakin dalam. Dan seluruh penggalan kata itulah yang kutabal sebagai judul tulisan ini.[]