(Menanti) Kehancuran Kawasan Ekosistem Leuser

Zamzami Ali

Kerusakan yang terjadi di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) terus menerus terjadi tanpa henti. Meskipun area KEL termasuk kedalam daerah yang dilindungi, namun tangan-tangan rakus tanpa henti terus saja merusaknya.

Sekedar diketahui, berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 190/Kpts-II/2001, KEL memiliki luas 2.255.577 ha dan tersebar di 14 Kabupaten dan Kota yang ada di Aceh serta di Provinsi Sumatera Utara melalui SK Menteri Kehutanan RI No.10193/Kpts-II/2002, seluas 384.294 ha saja.

Kerusakan KEL 2018

GIS Manager Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Agung Dwinurcahya menyebutkan, kerusakan hutan yang ada di dalam KEL sepanjang Januari hingga Juli 2018, sebesar 3.290 ha. Kerusakan paling parah terjadi di Nagan Raya, seluas 627 ha.

“Kerusakan paling parah terjadi di kawasan gambut Rawa Tripa, daerah yang dikenal sebagai habitat terbaik bagi Orangutan Sumatera,” kata Agung didampingi Sekretaris Yayasan HAkA, Badrul Irfan, saat menggelar konferensi pers di Banda Aceh, Senin, 23 Juli 2018.

Selain itu, tambah Agung, Aceh Timur berada di posisi kedua dengan luas kerusakan sebesar 559 ha dan Gayo Lues berada di posisi ketiga dengan luas kerusakan 507 ha.

Titik Api

Yayasan HAkA juga mencatat, dengan pemantauan dan pemanfaatan data dari NASA (satelit VIIRS dan MODIS), ada 688 titik api yang terdeteksi di Aceh di semester pertama tahun 2018.

“Di Areal Penggunaan Lain (APL) terdeteksi 440 titik api, di hutan produksi ada 100 titik api dan di Suaka Margasatwa terdeteksi sebanyak 66 titik api,” jelas Agung.

[Foto: @zamzamiali]

Kasus Illegal Kehutanan

Sementara itu, berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh Forum Konservasi Leuser (FKL), kasus illegal kehutanan juga terjadi tanpa henti di area KEL. 12 tim monitoring FKL bekerja di 13 kabupaten yang tersebar di seluruh Aceh.

Koordinator Monitoring FKL, Tezar Pahlevie didampingi Database Manager Ibnu Hasyim menyebutkan, sepanjang Januari hingga Juli 2018, ada 1.892 aktivitas pembalakan liar, perambahan dan kasus akses jalan di dalam kawasan KEL. FKL juga memaparkan data berdasarkan temuan 24 tim patroli satwa liar yang aktif melakukan patroli di 11 kabupaten yang ada di dalam KEL.

Posisi pertama terkait kasus perambahan dan pembalakan liar ditempati oleh Aceh Selatan dan Aceh Tamiang sebanyak 319 kasus. Sedangkan pembalakan liar terbanyak terjadi di Aceh Timur (619 meter kubik) dan perambahan paling luas terjadi di Aceh Tamiang (873 ha).

“Untuk kasus pembukaan akses jalan, kita mencatat ada sekitar 105,5 kilometer jalan yang dibuka di dalam KEL,” kata Tezar Pahlevie.

[Jerat satwa liar. Foto: @zamzamiali]

Ancaman Satwa Liar

Sementara itu, untuk kasus perburuan satwa liar juga berada pada angka yang sangat mengkhawatirkan.Tim patroli mencatat ada 389 kasus perburuan yang terjadi di dalam KEL dan menemukan sebanyak 497 jerat satwa. Berbagai jenis dan ukuran jerat satwa liar yang ditemukan, paling banyak digunakan pemburu untuk menjerat burung, landak, rusa, kijang, beruang, harimau hingga gajah.

“Pada periode (semester pertama 2018) ini, ada 61 satwa yang ditemukan mati di KEL, termasuk seekor harimau dan gajah Sumatera. Jumlah sebenarnya bisa jadi lebih banyak dari yang tim kita temukan di lapangan,” jelas Ibnu Hasyim.

[Foto: @zamzamiali]

Kesimpulan

Helloooooo… Itu hanya data dan fakta yang terjadi di tahun 2018, yang perjalanannya belum berakhir. Bagaimana di penghujung tahun nanti? Bagaimana dengan tahun tahun sebelumnya, atau bagaimana dengan tahun tahun yang akan datang? Dunia memang sudah berada di titik yang sangat mengkhawatirkan. Tidak salah memang, Kawasan Ekosistem Leuser, sebagai salah satu paru-paru terbaik yang tersisa di dunia saat ini nasibnya jika diumpamakan sudah sangat kronis dan berada di ujung tanduk.

Siapkah kita hidup kekurangan oksigen? Bisakah kita hidup tanpa air? Bagaimana kalau alam marah, seperti kata Ebiet G Ade? Banjir? Longsor? Pulang pike bak dore maseng-maseng…

Leave a Comment