Diyus

Adil Sejak Ganja

Disclaimer: Kisah ini adalah wujud nyata dari penerapan teknik logical fallacy yang kulakukan untuk memanipulasi pikiran sekelompok orang. Penggunaan teknik ini sangat tidak kuanjurkan dalam lingkup luas karena akan menimbulkan kehancuran yang sukar dipulihkan. Aku bersungguh-sungguh dengan pernyataan ini meski sekilas isi tulisan ini tampak sebegitu uloknya…!!!

Suatu ketika, Fauzan Febriansyah pernah menyampaikan bahwa Moorden Café adalah tempatnya biasa kongkow untuk ngopi bersama entah siap. Akhirnya, kuarahkan stang kreta Revo milik Mamak-Bapak ke situ. Aku sempat celingak-celinguk mencari paras orang yang mungkin kukenal. Ternyata tak ada. Saat hatiku hendak menyerah meninggalkan lokasi, kulihat sebuah pintu di bagian kiri-belakang ruang. Ternyata ada wahana lain. Segera kulangkahkan kaki memasuki ambangnya. Ternyata ada wajah yang kukenal, Bang Boy. Seorang lelaki asal Tanoh Pase yang pernah hendak menguliti aku karena menurutnya tampangku mirip intel di zaman konflik yang pernah hampir membunuhnya. Meski demikian, kami tumbuh sebagai kawan dengan viskositas melebihi pelumas rambut pomade.

Kujabat tangannya dan seorang kawan ngobrol yang tak kukenal. Saat akan mendaratkan pantat ke kursi. Kulihat Fauzan Febriansyah ada di arah jam 2 posisiku. Langung saja kusapa ia dan 6 orang lain yang semeja. Kusambangi mereka. Meninggalkan Bang Boy yang tampak sedang membahas masalah serius dengan kawannya.

Di meja Fauzan CS, pembicaraan kumulai dengan mengkonfirmasi kabar rencananya memasuki tahta parlemen. “Jadi kau naik DPR-RI?” tanyaku. Pertanyaan yang disambut 2-3 kekeh kawan semejanya. Mungkin mereka beranggapan ekspektasiku terlalu tinggi. Mungkin pula ada hal lain yang tak kutau.

“DPRA, Bang…” jawabnya.

“Dapil I?” tanyaku lagi.

“Iya, Bang…” jawabnya seperti tak berselera.

“Ganaaasss… ngeri, ya…” cetusku.

“Kenapa, Bang? Kenapa ngeri?” balasnya dengan tanya.

“Dapil maut,” jawabku.

Ia cuma tersenyum menanggapi pernyataanku. Senyum yang sungguh bermakna mutasyabihat.

“Kau masih nggak merokok, Zan?” tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan yang tampak tak diminatinya.

“Masih. Bang…” jawabnya.

“Ganja?” cecarku.

“Ada sekali-kali, tapi nggak kuhisap. Kalau pas makan kari kambing atau kari bebek aja,” jawabnya.

“Syukurlah…” balasku.

“Kenapa, Bang?” tanyanya lagi.

“Setidaknya masih ada sisa kewarasan yang kau laksanakan saat kau memutuskan untuk memasuki kegilaan politik,” jawabku.

Seluruh penghuni meja terbahak. Entah sebab sepakat atau karena jawabanku lucu di tiap pasang telinga mereka.

Fauzan menghentikan gelak hadirin dengan bertanya lagi. “Kenapa bisa ‘gitu, Bang?”

“Ganja itu realitas kebahagiaan termurah yang bisa dijangkau rakyat. Sementara, kemabukan politik lebih mengerikan, Genk…” jawabku. “Coba kau tengok sendiri, 5 tahun tenure politik sudah memberi apa untuk rakyat? Tahun pertama berisi aksi balik modal menyusui tim sukses, tahun kedua mengisi kas pribadi, tahun ketiga melaksanakan program pembangunan dengan tarik-ulur parlemen-eksekutif, tahun keempat dan kelima berisi aksi saling ejek untuk meningkatkan popularitas di pemilu selanjutnya…” paparku.

Lagi-Lagi, mereka semua tertawa. Entah membenarkan ucapanku atau menertawakan rencana mereka menekuni dunia politik praktis.

Oki yang duduk berselang 1 orang di sebelah kananku tampak bersemangat. “Jadi ‘gini, Bang… aku pernah ke RSJ, kebanyakan pasiennya jadi gila akibat ganja. Macam mana itu, Bang?” tanyanya.

“Ooo… maksud kau, ganja itu berbahaya karena bisa membuat orang jadi gila… Menurutku itu pemikiran yang khilaf,” jawabku dengan nada menggantung. Saat ia mulai duduk lebih membungkuk tanda membutuhkan penjelasan selanjutnya, aku menyambung ucapanku. “Kalau ganja dilarang karena menimbulkan kegilaan, mengapa politik dan demokrasi tak pernah dilarang?” tanyaku dengan nada retoris. “Kenapa gedung parlemen yang mayoritas berisi orang gila tak pernah dipertanyakan kredibilitasnya?”

“Tapi ‘kan ganja tetap berbahaya, Bang,” potongnya.

“Iya. Jangan lupa membandingkan ganja dengan zat adiktif lain. Angka kematian akibat penggunaan ganja mendekati nol,” tangkisku.

“Kalau kau bilang soal bahaya, politik dan demokrasi lebih juga berbahaya karena kebenaran selalu menggunakan landasan suara terbanyak. Itu selemah-lemah demokrasi dan otomatis melahirkan keputusan yang lemah,” tambahku.

Kulanjutkan dengan memaparkan kelemahan argumentasi pelarangan ganja yang selama ini digunakan untuk menyusun regulasi. Juga fenomena penurunan kualitas musikal musisi Nusantara yang sudah tak lagi mengkonsumsi ganja. Slank dan Iwan Fals, 2 fenomena musik Nusantara yang menurutku mengalami penurunan kualitas musikal karena tak lagi mengkonsumsi ganja.

Bob Marley, Pencerah yang sering disalahpahami sebagai Pemabok…

Kuuraikan mengenai karya-karya monumental dunia yang melibatkan ganja dalam proses kreatifnya. Bob Marley, William Shakespeare, Kurt Cobain, The Beatles, Jimi Hendrix, Eric Clapton dan sederet nama besar di dunia sastra dan musik lainnya.

Tak lupa kukisahkan mengenai kekuatan Mother Russia di masalalu karena mereka menguasai produksi dan distribusi ganja yang menyokong industri pelayaran dunia. Juga fakta sejarah medis yang menunjukkan bahwa Ibnu Sina memiliki resep obat yang menggunakan ganja sebagai komponennya.

“Fase ekstase dalam tiap kemabukan, membuat manusia menyentuh alam ilham. Maka tiap karya yang dibuat saat ekstase, akan lebih indah dan berkelindan melintas zaman,” uraiku.

Hadirin sepertinya tergiring dengan struktur rasio yang kubangun. Aku jadi cemas, ternyata mengelabui orang sungguh mudah. Apalagi jika menggunakan sumber kenikmatan yang mereka suka. Ini berbahaya. Calon-Calon politisi masadepan yang ada di meja Moorden Café telah kurasuki dengan asumsi yang bisa saja salah. Tapi mereka tampak menikmati sisi benar dan sisi enak dari paparanku yang tak sepenuhnya benar dan tak sepenuhnya enak. Mengerikan!

Aku mulai diam saat mereka sibuk mengkonfirmasi pengalaman ganja dalam makanan, dalam tembakau dan minuman. Mereka tampak sungguh ceria. Ganja memang berbahaya tanpa mengkonsumsinya, cukup dengan mengenang pengalaman dengannya, orang-orang waras di mejaku sudah tampak sungguh berbahagia.

“Bang… aku masih belum bisa terima kalau ganja bisa legal begitu saja karena angka kematian akibat ganja bisa dibilang nol,” ujar Oki tiba-tiba. Ia tampak menjadi yang paling waras dan mampu mengendalikan kemabukan mengenang ganja di meja ini. Aku sempat kaget. Namun, sebuah jurus tangkisan sekonyong melintas di kepala.

“Okelah… katakan saja ganja itu bisa menyebabkan kematian. Lantas, oleh sebab dampak kematian yang ditimbulkannya itu, ganja dilarang. Begitu maksud kau, ‘kan?!” tanyaku mengkonfirmasi.

“Iya, Bang… lanjutkan, Bang…” selanya.

“Kalau ‘gitu, banyak kali hal yang harus dilarang karena menyebabkan kematian. Politik bisa menyebabkan kematian, maka kita juga harus melarang politik. Tentara, polisi, perang juga bisa menyebabkan kematian. Jadi semua hal itu mesti dilarang, sebab bisa menimbulkan atau menyebabkan kematian, Bro…” paparku.

“Jika kita hendak menarik pembahasan ini ke dimensi yang lebih luas, kupikir perlu kita sepakati dahulu, bahwa landasan terpenting dalam membangun tatanan masyarakat adalah keadilan. Membangun keadilan sebagai landasan pergaulan hidup berbangsa dan bernegara, menurut Pram harus bermula dengan bersikap adil sejak dalam pikiran. Meski pameo milik Pram ini terasa lezat, namun ia bukanlah resep masakan kehidupan yang mudah diracik bumbunya, apalagi dimasak. Adil sejak dalam pikiran saja merupakan pekerjaan yang berat. Jadi, kupikir, sebelum memperjuangkan keadilan sejak dalam pikiran tiap orang, kita harus memulai adil sejak ganja,” jama’ah di meja ini manggut-manggut dengan senyum jahil yang melebar menanggapi paparanku. Persis paras pengedar narkoba yang mendapat backing­-an Jendral atau terpidana hukuman mati yang mendapat amnesti.

“Sungguh mengerikan jika semua hal yang menyebabkan kematian harus dilarang. Sebab, kita harus melarang Cinta hadir di antara hubungan manusia, sebab Cinta juga terbukti telah menyebabkan kematian dalam jumlah yang belum terverifikasi oleh lembaga survey manapun!” pungkasku.

Seluruh hadirin di meja tercekat, diam, saling pandang dan lantas tertawa terbahak seperti tak ‘kan bisa berhenti.

“Ya… Ya… Yaaa… memang anjing kali pernyataan kau yang terakhir itu, Bang,” ujar Fauzan dengan suara baritonnya.

 

PS:

  1. Ganja memiliki manfaat rekreasional dan medis. Tulisan ini tak membahas secara lengkap mengenai 2 hal tersebut;
  2. Fase ‘ekstase’ berbeda dengan ‘mabuk’ yang menghilangkan kesadaran. Saat mabuk orang kehilangan kesadaran, sementara saat ekstase orang menemukan pencerahan dan inspirasi. Mewujud dalam tindakan atau karya. Seorang musisi akan mampu mencipta lagu yang baik, penulis juga demikian. Tergantung pada profesi atau kegemaran tiap orang;
  3. Meski tak berani menyatakan sama, aku beranggapan bahwa fase ekstase mirip dengan kekhusyukan saat beribadah.

Sumber foto:

  1. Foto1
  2. Foto2
  3. Foto3

Leave a Comment