KALI ini aku ingin bercerita tentang wabah penyakit. Kalian boleh percaya dengan cerita ini, dan boleh juga tidak. Aku memang tidak tahu di mana persisnya lokasi desa yang diserang wabah penyakit ini, tapi cerita ini aku baca dari sebuah buku. Dan, seperti cerita-cerita sebelumnya, pasti ada hubungannya dengan aktivitas kita di Steemit, dan pelajaran inilah yang penting untuk kita.
Seperti aku baca dari buku yang tidak ingin aku sebutkan judulnya, karena aku takut tulisan ini akan terlalu panjang. Lagi pula, aku tidak ingin dianggap sekadar menulis demi memenuhi kecukupan kata saja. Konon, suatu wabah penyakit aneh melanda sebuah desa kecil di Eropa Timur. Sudah berabad-abad lamanya, dan tak ada yang tahu bagaimana memecahkan masalah ini.
Wabah penyakit ini sangat sulit dihentikan dan kian mematikan, mirip seperti cerita dalam film I Am Legend yang diperankan oleh Will Smith. Akibat serangan wabah penyakit aneh itu, satu demi satu para korban berjatuhan, terjerembab dalam keadaan koma yang akut, dan sebagian besar meninggal dunia dalam satu hari. Karena namanya saja wabah penyakit aneh, terkadang salah seorang dari para korban akan kembali sehat secara ajaib. Dan, ajaibnya hal ini bukan adegan dalam sebuah film.
Hal yang merisaukan penduduk di desa kecil itu bukan soal wabah penyakit aneh ini, melainkan apa yang harus mereka lakukan setelah orang-orang diserang penyakit aneh itu. Soalnya, penduduk desa menghadapi sebuah dilema dan membuat mereka galau berat. Mereka kesulitan untuk membedakan apakah si korban itu mati atau masih hidup. Kalau seandainya sebagian besar korban itu mati, tentu saja ini bukan sebuah masalah besar. Mereka risau justru karena ada yang hidup setelah terserang wabah penyakit aneh itu.
Masalah ini segera menjadi ramai setelah pada suatu hari seorang di antara mereka menemukan bahwa seseorang telah dikubur hidup-hidup. Fakta ini jelas membuat dewan kota cemas, dan mengharuskannya menggelar sidang. Debat mereka berkutat pada masalah kenapa ada orang hidup yang dikubur hidup-hidup? Karena itu, dalam sidang itu mayoritas peserta memberi saran agar saat menguburkan seorang korban mereka harus menaruh makanan dan air dalam setiap peti mati. Meskipun pilihan ini membuat mereka mengeluarkan dana besar, tetapi menurut sebagian besar peserta sidang tindakan ini bisa menyelamatkan nyawa orang yang sudah dikubur hidup-hidup itu.
Seperti halnya sidang paripurna dewan di tempat kita, pasti ada pro kontra. Kelompok yang lain mengusulkan pemecahan yang lebih sederhana: mereka mengusulkan memasang sebatang kayu pada setiap tutup peti mati tepat di atas jantung korban, sehingga ketika tutup peti itu dirapatkan, semua keraguan tentang kondisi korban akan lenyap. Kenapa kedua kelompok ini berbeda pendapat dalam menangani orang mati?
Yang membedakannya adalah pada sejumlah pertanyaan yang digunakan untuk menemukan pemecahan itu. Kelompok pertama yang berjumlah mayoritas itu menanyakan “bagaimana kalau kita mengubur seseorang yang masih hidup?” dan sementara kelompok kedua justru bertanya, “bagaimana kita memastikan agar setiap orang yang kita kubur itu benar-benar mati?” Pertanyaan ini jelas berhubungan dengan sudut pandang dalam memandang sebuah persoalan.
Begitu pula halnya kita bermain Steemit. Kenapa ada orang mengeluh mendapat reward yang kecil dan mulai angin-anginan menulis saat harga Steem dan SBD menurun, dan ada orang yang selalu bersemangat menulis, tidak peduli pada reward dan melemahnya harga coin. Itu semua dimulai pada motivasi awal mereka bergabung pada ekosistem Steemit ini. Kelompok pertama mungkin saja memulai pertanyaan dengan, “bagaimana menghasilkan pundi-pundi dollar dari Steemit?”, dan sementara kelompok kedua memulai dengan pertanyaan, “apa yang dapat saya lakukan dengan bergabung di Steemit?”
Jadi, apapun hal yang merisaukan kita akhir-akhir ini terhadap harga Steem dan SBD yang belum menggembirakan, sebaiknya kita kembali kepada pertanyaan awal kita bergabung dalam ekosistem blockchain ini. Semoga mencerahkan!
1 thought on “Kisah Orang Mati dan Motivasi Seorang Steemian”