Perempuan yang Menggenapiku

Diyus

Ia mencintai pagi seperti mencintai Zenja. Entah apa yang tersembunyi di balik klaim itu. Bagiku, hal yang pasti tentangnya teralami sebagai sebuah penggenapan atas gasal di diri. Belasan tahun sudah gasal itu melekat, sebab manusia yang menjadi perancang tengah membangun jeda atas karyanya.

Pelbagai konstelasi bintang telah berlalu. Juga anomali cuaca berteman perpindahan lokasi. Termasuk perubahan rezim penguasa yang makin melodramatis tiap periodenya. Belasan tahun bertahta sebagai penantian yang mendebarkan. Belasan tahun sejak Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh. Mengokohkan tahbis tentang ‘menunggu’ yang selalu ‘membosankan’. Aku cuma akan merangkai tautologi saja kalau kuteruskan soal yang satu ini. Nyatanya, memang itu yang kupunya.

Hingga ia hadir. Kukenal sebagai Ihan Sunrise. Perempuan yang mencintai pagi seperti mencintai Zenja. Bukankah sudah kubilang itu tadi? Ia mewakili kaumnya yang menurutku lebih lama berkencan dengan sepeda melebihi kekasih manapun. Konspirasi antara ‘sebab’ dengan ‘akibat’ menghantarkan kami pada sebuah temu di selembar Jum’at berbumbu 12 kerat tempe bacem. Kudapan yang tanpa sadar nyaris ia habiskan sendiri di teras sebuah rumah merangkap kantor dan café.

Tanaman hias di pelataran bangunan itu menjadi saksi, sekaligus ensemble percakapan kami. Aku merasa berada di sebuah panggung orkestra dengan kelengkapan suasana macam sore itu. Anturium, sansiviera, palmae bahkan naung tajuk angsana menguarkan suara dalam harmoni. Desir angina pesisir sama saja, menambah sentuhan gemerisik yang meningkahi percakapan kami berdua.

Gagasan dari ucapnya menciptakan kejut-kejut indah dalam benakku. Ia memiliki kekhawatiran yang sama soal fasisme di ranah apapun. Tentang kekhawatirannya pada orang-orang yang menjadi hamba kekerasan atas nama keyakinan. Tentang pentingnya mencatat hal sesederhana apapun untuk meninggalkan jejak gagasan.

Ia mengingatkanku dengan ungkapan Mahaguru Musmarwan Abdullah yang menganggap tiap status facebook adalah bentuk kontemporer dari coretan di dinding gua purba. Terjemahan dari kenyataan yang membuktikan betapa hal yang sepele menjadi begitu bermakna di masa depan. Betapa keisengan nenek moyang di masa lalu mampu membangun upaya penerjemahan bagi generasi masa kini. Lengkap dengan pendekatan sosiologi, antropologi bahkan paleoantropologi. Padahal, mungkin mereka sekedar mencoretkan gambar dari peristiwa sehari-hari yang teralami semata.

Begitulah. Sebuah Jum’at yang terhayati telah menjadi jembatan pemahaman yang kini membentang di antara kami. Hingga suatu ketika aku menyadari, ada masih tersisa sesuatu yang gasal di diriku. Gasal yang sungguh janggal ketika aku tak menggenapinya. Tentang 6 buku yang baru kubaca 5, semesta ledak bertajuk Supernova. Maka, pada sebuah malam yang tak tercatat oleh ingat, aku menghubunginya dengan sebuah prasangka, ia memiliki buku yang akan menggenapi gasalku itu. “Han, punya buku terakhir Supernova?” tanyaku.

“Abang bertanya pada orang yang tepat. Ada, Bang. Tapi bukunya sama si Alfa,” balasnya. Beberapa hari menjadi jeda karena kesibukannya dan kepasifanku sendiri. Aku tak mau terkesan memaksa. Padahal yang kulakukan cuma menghubungi Alva. Saat helat Festival Krueng Aceh, Alva menghubungiku. Sepertinya ia sudah mendapat titah dari sang empunya buku. Merapatlah aku ke pelataran warung kopi di Bantaran Krueng Aceh. Di sisi panggung pertunjukan, kuterima buku penggenap itu.

Kusegerakan berlalu sebab tengah berjanji dengan kawan lain. Tak kubiarkan kekosongan mengantarai aku dengan Intelegensi Embun Pagi, buku keenam Supernova. Bahkan saat menambal ban kreta yang bocorpun aku menyempatkan membaca. Rakus kulahap halaman demi halaman sambil menyantap nasi di waktu sarapan, makan siang dan makan malam. Menuntaskan dahaga yang tertunda sejak tuntas membaca seri Gelombang (2014).

Malam ini, kukembalikan Inteligensi Embun Pagi ke haribaan pemiliknya dengan jiwa yang telah tergenapi oleh kesediaan seorang perempuan yang rela meminjamkannya. Kuharap ada kata yang melebihi makna terimakasih untuk menyampaikan betapa berarti penggenapan yang telah dilakukannya terhadap ganjilku.

Sumber Foto:

  1. Foto1
  2. Foto2
  3. Foto3
  4. Foto4

Leave a Comment