Percayalah, ini samasekali bukan soal prinsip. Justru soal ketiadaan prinsipku soal buku. Kecuali kalau tak berprinsip juga dianggap prinsip. Baiklah. Ini soal pandanganku mengenai buku yang telah kubeli dan kubaca. Aku bukan jenis makhluk yang menjadikan buku sebagai pajangan di lemari atau meja kamar. Penyebab utamanya aku tak punya lemari dan meja kamar. Mungkin. Tapi dalam pikiran, aku tak pernah menetapkan untuk menyimpan buku milikku. Sebab, ia akan menjadi berhala di sudut-sudut ruang, di lemari dan meja.
Kupikir perlu kita ingat bersama sebuah premis yang diungkapkan oleh Gus Dur, Sesepuh NU yang pernah merangkap peran sebagai Presiden Negara Persatuan Republik Indonesia, “Orang yang meminjamkan buku adalah orang yang bodoh, tapi lebih bodoh lagi orang yang meminjam buku dan mengembalikannya!” demikianlah lebih-kurang ungkapan tersebut mewarnai khazanah kaum pembaca dan kaum pembeli buku (ini jelas 2 kaum yang berbeda).
Setelah kucerna, ungkapan tersebut sukar kubedakan dengan nasehat, “Memberi lebih baik dari menerima” karena ada penjenjangan ‘bodoh’ dan ‘lebih bodoh’. Juga pengukuhan bahwa buku itu sebaiknya menyebar, bukan berkubang di antara 2 lungkik rak lemari, menggenang seperti air got yang sumbat. Mungkin ini analogi yang tak sepadan. Tapi demikianlah ia terpahami olehku.
Buku pertama yang kubeli adalah Dunia Sophie (Jostein Gaarder – 1994). Novel yang belakangan menjadi sohor soal kemampuannya yang persuasif membimbing manusia ke alam filsafat yang kabarnya menyeramkan itu. Entah kemana rimbanya buku yang satu itu. Usai mengkhatamkan 5 kali, aku merelakannya saat seorang gadis Tanah Naga meminjamnya dan lantas meminjamkannya lagi ke sepupunya. Aku curiga ia seorang GusDuris (tak kusebut GusDurian karena akan terkesan varietas buah).
Buku selanjutnya yang berstatus milik berjudul Islam dan Teologi Pembebasan (Asghar Ali Engineer – 1990). Pemberian seorang senior bernama Teuku Alfiansyah. Buku yang sempat menjadi tempat berlabuh tanda-tangan WS Rendra itupun lenyap tak tentu rimba setelah berkelana dari tangan ke tangan, bertukar tuan mencari kedaulatan di dalam pikiran para pembaca.
Sejak itulah aku yakin, semestinya buku memang berkelana mencari pembacanya agar tak jumud berjamur. Khayalku selalu membayangkan seandainya sebuah buku telah tuntas terpahami, langsung berganti tuan, terus menerus hingga tiap lembarnya terlalu rapuh untuk disibak. Menyebarkan epidemi pengetahuan tak berujung, melintasi hidup pemilik aslinya. Bahkan kata milik itu makin meluas oleh manuver semacam dalam benakku itu.
Atau itu terlalu mewah? Pikiranku yang setolol itu mungkin terbatasi oleh prasangka-prasangka, “Apakah buku tersebut akan tuntas dibaca?”, “Apakah pembacanya akan paham?”, “Apakah pembaca mengamalkan pengetahuan di dalamnya?”, “Apakah pembacanya nanti tak ‘kan menyalahgunakan atau memutarbalikkan kebenaran di dalamnya?”
Demikianlah prasangka tumbuh menjadi penghalang persebaran ilmu, yang tanpa kita sadari, mungkin akan memberi perubahan besar bagi seseorang, atau bahkan sebuah tatanan masyarakat. Innalillahi wa innailaihi raaji’uun…
Betapa banyak sudah akumulasi-nilai-lebih menumpuk di rekening-rekening yang begitu gendut, lebih gendut dari gajah gendut dan paus gendut sekalipun?! Penumpukan kekayaan yang membebani sistem moneter saja, tanpa memutar roda kehidupan dan penghidupan. Akankah kita, para pemilik buku menjadikannya sebagai panutan dalam membendung laju-alir pengetahuan?
Begini sajalah. Ini bukan gagasan untuk menghamburkan buku pada orang yang tak mampu menghargai isinya, atau meminjamkan sebuah buku gerakan kepada seseorang yang baru selesai nonton film Gie. Tentu saja meminjamkan buku sebagai sebuah estafet memerlukan SOP, kerangka-acu, ToS, Logical Framework Analysis atau Result Framework Analysis sekalipun. Agar pembaca yang layak bertemu dengan buku yang sesuai dengannya.
Galibnya, para buku itu terbeli oleh sejumlah harga untuk menebusnya dari tuan penjual agar menjadi hamba bagi tuan pembaca. Hasil kerja keras. Bukan jatuh dari sebatang pohon atau sebuah sarang lebah. Maka, penting memilih pembaca yang akan menjadi lintasan alir sebuah buku. Insan yang memahami betul bahwa sebuah buku adalah benda yang diperoleh dengan membeli atau hadiah dari orang. Juga isinya yang benar sungguh ia butuhkan.
Sebut saja itu perjodohan antara akal dengan gagasan.
Namun, mengumpulkannya di satu tempat hingga bertahun tiada terbaca seperti menghambat peluang amal jariyah. Maksudku, di sebuah tempat yang entah di mana itu, ada seseorang yang mungkin tengah mencari panduan bagi gerak langkahnya. Jangan-Jangan, petunjuk itu ada di buku yang saat ini sedang kita miliki. Jadi, akankah kita merasa gundah saat buku-buku berkubang di lemari?
Sumber Gambar dan Foto: