Oleh Lukman Emha
Persiraja Banda Aceh berhasil merebut tiket Indonesia Super League (ISL) setelah musim lalu menjadi runner up Divisi Utama Liga Ti-phone 2010/2011. Raihan ini merupakan prestasi luar biasa, setelah cukup lama Persiraja berkutat di kasta dua sepakbola nasional. Kehadiran Persiraja di ISL tentu menyelamatkan wajah sepakbola Aceh dalam hingar-bingar kompetisi terelit nasional.
Jika ditilik secara serius, sepakbola Aceh lebih dari pantas untuk bermain di level tertinggi sepakbola negeri ini. Aceh mengantongi seabreg kriteria untuk menahbiskan diri sebagai bagian dari elite sepakbola nasional. Rujuklah kepada kuantitas klub Aceh yang berlaga di Divisi Utama musim 2010/2011, misalnya. Aceh memiliki 4 tim yang berlaga di level ini. Ada PSLS Lhokseumawe, PSSB Bireuen, PSAP Sigli, dan Persiraja Banda Aceh sendiri. Satu provinsi memiliki empat tim dalam sebuah divisi tentulah catatan yang luar biasa.
Dengan jumlah 4 tim seprovinsi dalam level Divisi Utama, berarti pada level tersebut telah dipentaskan 12 partai derby Aceh yang menyedot perhatian besar masyarakat Aceh pecinta sikulit bundar. Jelas, jumlah derby ini merupakan yang terbanyak di Indonesia, bahkan mungkin di dunia.
Jumlah partai derby di Divisi Utama tahun ini bahkan bisa membengkak jika Persiraja tidak naik kelas ke Liga Super dan PSSB tidak terdegradasi ke Divisi Satu. Pasalnya, dua tim Aceh lainnya baru saja promosi ke Divisi Utama, yakni PSBL Langsa dan PSGL Gayo Luwes. Hampir saja separuh dari penghuni Grup 1 musim 2011/2012 adalah tim-tim yang berasal dari Aceh. Ini animo super masyarakat Aceh terhadap sepakbola.
Jangan berhenti di jumlah klub yang berlaga di level tinggi, tetapi longok juga kantong-kantong generasi sepakbola kita, yang lumayan potensial. Kita punya tim PPLP, tim Arafura (yang sempat disulap menjadi Timnas-19), tim Pra PON (meski gagal lolos PON), dan tentu saja talenta muda yang dididik tiga tahun di Paraguay yang sering digelari Timnas Junior Aceh. Mereka adalah junior yang siap menggantikan senior mereka yang kini tengah menghuni klub-klub di Aceh. Bahkan pada tingkat usia dini, kita punya calon-calon Irwansyah junior, Ismet Sofyan baru, maupun Fachri Husaini masa depan yang tersebar di berbagai SSB seantero Aceh.
Potensi kita belum selesai di situ. Hitunglah jumlah penonton masing-masing klub ketika mereka bertanding. Ribuan, bahkan puluhan ribu orang menonton tim kesayangannya bertanding. Mereka bukan sekadar nonton, tetapi fanatik. Suporter fanatik mengkreasikan diri dengan julukan-julukan yang menggugah semangat bertanding tim kesayangan. Suporter PSLS menamakan diri Pase Mania, suporter PSSB bergelar Juang Mania, supporter PSAP menyebut diri Laskar Aneuk Nanggroe, dan suporter Persiraja populer dengan Skull (Suporter Kutaraja untuk Lantak Laju). Mereka siap berdarah-darah menyemangati tim kesayangan masing-masing.
Keseriusan
Lalu, apa yang kurang? Yang kurang hanya keseriusan stakeholder sepakbola kita. Jika saja mereka mampu membaca dan mengelola potensi ini dengan serius, tidak mustahil Aceh akan menjadi kiblat sepakbola tanah air beberapa tahun ke depan. Jika diurus serius, sangat mungkin tim-tim Aceh yang berlaga di Divisi Utama sekarang naik peringkat dan berlaga di ISL menemani Persiraja asalkan tidak numpang lewat di Liga Super 2010/2011. Bayangkan, jika 18 atau 24 tim berlaga di ISL dan 6 diantaranya adalah tim-tim dari Aceh, Aceh bisa menjadi daerah super soccer.
Saat ini, gelar itu layak disandang Papua. Di kancah ISL musim ini mereka diwakili 3 klub. Ada Persipura Jayapura, Persiwa Wamena, dan Persidafon Dafonsoro. Provinsi paling timur itu memang tak pernah sepi melahirkan tim dan pemain berkelas nasional. Wajah-wajah Mutiara Hitam sejak dulu selalu menghiasi skuad Nasional Indonesia. Maka itu Papua digelari Brazilnya Indonesia.
Orang sering mengaitkan prestasi sepakbola Papua dengan faktor alam genetika daerah itu. Secara fisik, orang Papua kuat karena ras hitam (katanya), mirip orang benua Afrika. Tetapi kenyataannya, kulit legam bukan jaminan prestasi. Tidak ada satu pun negara Afrika yang merajai Piala Dunia. Brazil juara dunia lima kali bukan karena beberapa pemainnya berkulit gelap. Argentina yang kolektor 2 kali Piala Dunia bahkan tanpa pemain kulit hitam. Spanyol justru lebih aneh. Tidak ada satupun pemain inti Spanyol berkulit hitam dan secara fisikpun rata-rata kecil ketika mereka merebut Piala Dunia di Afrika 2010. Lihat saja postur Xavi, Fabregas, Pedro, Iniesta, yang hanya beda tipis dengan postur Abbdul Musawir, Fahrizal Dillah, maupun Erik Saputra di Persiraja.
Argumen di atas merupakan salah satu bukti sahih bahwa warna kulit bukan halangan. So, pemilik kulit sawo matang seperti orang Aceh memilik kans yang sama besar dengan Papua yang gelap. Sering-seringlah membuka kenangan lama tahun 1980, Persiraja meneukuk Persipura 3-1 di Senayan. Yang membedakan kita dengan Papua hanya pada keseriusan stakeholder sepakbola. Papua serius sedangkan kita cilet-cilet alias nyo nyo kon. Stakeholder sepakbola Papua cuma butuh waktu dua bulan untuk menyulap Stadion Mandala Krida (home base Persipura) menjadi mewah dan layak mementaskan pertandingan internasional. Lihatlah stakeholder kita, 10 hari menjelang kick off Liga Super (15/10), sekadar memperbaiki ruang ganti dan atap stadion saja mereka tidak mampu.
Namun, segalanya belum terlambat. Mari bangun kerjasama solid empat elemen, stakeholder (pemerintah; KONI dan PSSI), pengusaha, provit, dan masyarakat tentunya. Dengan kerjasama yang baik, maka tidak mustahil tim-tim Aceh akan lebih banyak berlaga di Liga Super pada masa yang akan datang. Pada saatnya, kita akan menikmati kebanggaan sebagai daerah super soccer. Alangkah nikmatnya menyaksikan Timnas Indonesia jika kelak diperkuat Syahru Ramadhan, Faomi, Muarrif, dan titisan darah Aceh yang lain. Semoga.
Lukman Emha adalah pecinta Sepakbola, Manager Bandar Publishing Banda Aceh