Ancam Kebebasan Warga Negara, UU Intelijen Digugat di MK

Misdarul Ihsan

JAKARTA – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama empat lembaga swadaya masyarakat serta 13 individu mengajukan permohonan uji materiil Undang-undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara itu kepada Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (5/1). AJI menyatakan pengesahan undang-undang itu mengancam kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia.

Seperti diketahui, 11 Oktober 2011 lalu, Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) Intelijen menjadi Undang-Undang (UU). Persetujuan tersebut diikuti langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan rancangan itu menjadi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara (UU Intelijen) pada 7 November 2011.

AJI bersama IMPARSIAL, ELSAM, YLBHI, Perkumpulan Masyarakat Setara, dan 13 warga negara Indonesia yang tergabung dalam Koalisi Advokasi UU Intelijen Negara menilai UU Intelijen Negara bertentangan dengan UUD 1945, termasuk Pasal 28F.  Ketua Umum AJI Indonesia, Eko Maryadi, menyatakan UU Intelijen juga bertabrakan dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik.

“UU Intelijen penuh ‘pasal karet’. Pasal 1 ayat (6) yang mendefinisikan rahasia intelijen secara luas dan serampangan. Bahkan melebihi definisi informasi yang dikecualikan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik. Ini jelas pasal berbahaya bagi jurnalis, karena mengkriminalisasi penyebaran informasi publik,” ujar Ketua Umum AJI, Eko Maryadi.

Rumusan pasal karet “rahasia intelijen” dipadukan dengan kewenangan berbagai badan publik seperti kementerian/lembaga pemerintah non kementerian untuk melakukan kegiatan intelijen (Pasal 9 huruf e UU Intelijen). Terbuka lebar kewenangan mengalihkan berbagai informasi publik di berbagai kementerian/lembaga pemerintah non kementerian menjadi intelijen kementerian/lembaga pemerintah non kementerian.

“Situasi itu mengancam kebebasan pers yang dijamin UU Pers,” kata Eko. Upaya pers untuk mengawasi, mengkritik, mengoreksi lembaga pemerintah, jelasnya, dapat dikriminalisasi sebagai bentuk membocorkan Rahasia Intelijen. Jurnalis bisa dipenjara 10 tahun hanya gara-gara memuat dokumen dugaan penyimpangan dan korupsi lembaga pemerintah mana pun.

Selain mengancam hak atas informasi warga negara dan kebebasan pers, UU Intelijen juga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Pengaturan intelijen seharusnya memberi penegasan bahwa  penyelenggara intelijen memiliki fungsi yang  khusus dan spesifik (lex stricta dan lex scripta) dan harus menutup kemungkinan penyalahgunaan kewenangan.

AJI dan para pemohon antara lain memohon Mahkamah Konstitusi memutuskan Pasal 1 ayat (4); Pasal 1 ayat (6); Pasal 1 ayat (8); Pasal 4; Pasal 6 ayat (3) sepanjang frasa “dan/atau Pihak Lawan yang merugikan kepentingan dan keamanan nasional”; Pasal 22 ayat (1) sepanjang frasa “penyelenggara Intelijen Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e”; Pasal 25 ayat (2); Pasal 25 ayat (4); Pasal 26 jo. Pasal 44 jo. Pasal 45; Pasal 29 huruf d jo. Penjelasan Pasal 29 huruf d; Pasal 31 Jo. Pasal 34 jo. Penjelasan Pasal 34 ayat (1); Penjelasan Pasal 32 ayat (1) sepanjang frasa “Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah Undang-Undang ini”; dan Pasal 36 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

AJI mengajak para jurnalis dan masyarakat umum agar senantiasa menggunakan kebebasan pers dan kebebasan memperoleh informasi public yang dijamin UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap warga negara senantiasa menjaga ruang kebebasan berekspresi agar terhindar dari berbagai ekses pelanggaran peraturan perundangan yang berlaku.[]