Malam sedang tidak berkencan dengan riuh angin maupun hujan, tidak seperti malam-malam sebelumnya. Penghuni bivak pun sedang berbicara serampangan tanpa menghiraukan malam yang terus beranjak ke pertengahan. Di luar, dalam remang malam, suara langkah kaki semakin mendekat. Sepertinya kaki kaki itu mengarah ke tempat kami bercengkrama. Benar adanya, tidak berapa lama, pun kami tahu siapa yang tiba.
“Assalamualaikum,” ucap salam oleh salah seorang dari dua insan yang wajahnya mulai nampak walau di remang malam. “Waalaikumsalam,” serentak kami menjawab sembari kami berpaling ke pintu yang tak berdaun pintu di ruang bawah Komunitas Kanot Bu. Jelas sudah, yang datang malam itu adalah Affan Ramli, aktifis Prodelat dan Muda Balia, penghikayat Dangderia dari Aceh Barat Daya. Keduanya langsung mengambil tempat di mana saja mereka mau, asalkan mereka suka.
Dalam tulisan ini aku ingin berbagi kisah tentang Muda Balia yang malam itu datang dengan kaos putih yang mulai bernoda, jeans, dan satu daypack hitam, yang belakangan kutahu kalau isinya adalah dua suling bambu (bansi) dan buku catatan tentang hikayat yang tebalnya sekira satu ruas jari orang dewasa. Lainnya, juga ada kertas bertulis apa saja seputar hikayat, yang setiap lipatannya kuperhatikan tidak lagi utuh. Memegangnya harus sangat hati-hati. Dua lembar pakaian terlipat serampangan juga sempat kulirik dari dalam daypack milik penghikayat itu.
Beberapa inti ocehan Muda Balia malam itu sempat kurekam dalam kepala. Pemuda yang mulai beranjak tua ini mengaku hanya sempat mengeyam pendidikan hingga kelas empat Sekolah Dasar (SD) saja. Walau akhirnya, atas belas kasihan gurunya, ia pun mendapat ijazah dari sekolahnya. Katanya, ia tidak serius sekolah karena saban hari ia hanya mengaji dan belajar ilmu beladiri. Itu rutinitas dimulai lepas isya dan berakhir jelang pagi. Bahkan, untuk pulang ke rumah pun, Muda Balia kecil harus dijemput ayahnya. Maka wajar saja bila jam sekolahnya setiap pagi akan terganggu.
Waktu berjalan, dan Muda Balia tidak lagi kecil. Usia remaja Muda Balia lazimnya seperti kebanyakan pemuda di kampungnya, bertani adalah hal yang ia geluti. Selain itu, Muda Balia mulai tertarik untuk menekuni dunia hikayat, yang banyak orang tahu bahwa ini adalah satu seni tutur yang masih hidup di Aceh. Dengan seni ini pula di kemudian hari, dunia mengenal siapa Muda Balia yang sebenarnya. Tapi, malam itu Muda Balia mengaku, untuk menjadi seperti sekarang memerlukan ketekunan dan harus melewati jalan panjang yang berliku.
Sebagai murid, dalam masa ditempa untuk menjadi penghikayat ulung oleh sang guru, Muda Balia pernah disuruh untuk mencangkul di sawah hingga selesai, sedang gurunya hanya duduk manis di rumah menunggu Balia kembali dari sawah. Belum berhenti, usai magrib, Balia pun harus memijat badan gurunya. “Dunia ini memang tidak adil, saya yang capek, tapi malah guru yang harus saya pijat,” kenang Balia malam itu.
Ada ujian lain yang harus Balia jalani, dimana setiap jelang subuh, ia harus berendam dalam kolam dengan waktu puluhan menit. Ia terpaksa rela menahan dingin yang menyusup hingga ke tulang sum-sum. Ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi Balia dalam menimba ilmu yang hari ini telah membesarkannya. Dan sekarang Balia pun sadar jika semua titah gurunya semata-mata untuk menempa kesabaran dalam menuntut ilmu.
Tentang hikayat, Muda Balia dikenal ulung dalam membawa kisah Dangderia. Ini hikayat, kata Balia, bertutur tentang sebuah keluarga hingga tujuh turunannya. Maka, untuk mengisahkannya di atas panggung pun membutuhkan waktu tujuh hari tujuh malam. Dalam kisah yang tidak singkat ini, sambung Balia, terdapat pesan moral, adekdot, sejarah, ilmu kebatinan, hingga ilmu agama. Tapi pada intinya, semua bermuara pada kebesaran si tokoh yang bernama Dangderia.
Ini tokoh juga dikisahkan mempunyai beberapa orang istri, dan yang aku ingat hanya dua orang saja, seorang putri dari kerajaan Jeumpa, seorang lagi berasal dari wilayah Matang Geulumpang Dua. Begitu tutur Muda Balia di ruang bawah Bivak Emperom di hadapan @fooart, @marxause, Ibnu Hadjare, dan beberapa kepala lainnya. Semua yang mendengar seperti tersangak-sangak dan tersungut-sungut.
Malam mulai larut, tapi Muda Balia masih terlihat semangat untuk berbagi kisah. Dalam melantunkan hikayat, Muda Balia pun mempunyai beberapa irama, semisal irama ie laot (air laut). Jika kita mendengar langsung saat Balia berhikayat dengan irama ini, seolah-olah suara naik turun layaknya suara gemuruh gelombang laut. Ada juga irama rantam, irama ini persis seperti orang sedang bercakap-cakap.
Lainnya, ada irama ratok (sedih), dimana saat kita mendengar hikayat yang dibawakan dengan cara ini, sekilas si penghikayat sedang menangis terisak-isak. Pun ada irama meayon, saat Balia contohkan membawa hikayat dalam irama ini, bisa kusimak bahwa ini irama seperti senandung merdu yang mendayu-dayu. Maka tak heran, kata Balia, ini irama sering dipakai untuk meninabobokan anak-anak.
Walau sebagian besar ilmu dalam berhikayat sudah dituntut oleh Balia, tapi masih ada tiga yang tidak dituntaskan oleh pria Aceh Barat Daya ini, yakni ilmu menghipnotis wanita untuk naik ke panggung, ilmu memanggil Dangderia, dan terakhir ilmu untuk memanggil binatang buas. Menurutnya ini belum ia amalkan walau sebenarnya sang guru mau mengizinkan.
Tentang kapan pertama kali Muda Balia muncul ke publik, itu tepatnya tahun 2004 usai bencana tsunami melanda Aceh. Saat itulah ia mulai naik ke panggung dan membawa hikayat Dangderia yang kemudian dapat memberi ruang lebih baginya dalam menjaga tradisi dan budaya yang mulai hilang dalam masyarakat Aceh, khususnya di wilayah Barat. Walau di awal-awal karier, pemuda yang terbilang lucu dan lugu ini juga harus menghadapi berbagai tantangan yang datang dari orang-orang yang masih ia kenal.
Sampai kini, terlihat bahwa Muda Balia bukanlah orang yang mudah patah semangat. Ia masih terus berjuang dengan segala kemampuannya dalam melantunkan hikayat yang berkiblat pada nenek moyang. Bagiku, ia termasuk orang yang tepat untuk pewaris, sekaligus penjaga agar hikayat Dangderia tidak hilang ditelan masa.
Sudah sekitar dua jam lebih Muda Balia tidak putus bercerita, hampir tak ada satu orang pun yang menyela, semua kami bertindak menjadi pendengar yang budiman. Sesekali menanyakan untuk memperjelas apa yang ia bicarakan. Hingga, tibalah waktu Muda Balia pamit pulang, walau kami yakin masih banyak lagi kisah yang belum ia sampaikan. Tapi rasanya tengah malam pun datang terlalu dini.[]