Hadirnya selalu mendatangkan cemas di hatiku. Nyeri di ulu hati, serasa tertusuk di jantung. Ia datang dan pergi sesuka hati. Ketika kuhabiskan malam-malam untuk menjauhinya, ia mendekat dengan segala sikap sewenang. Ketika aku mulai memperhatikannya, ia pergi. Seperti merpati yang cuma bisa engkau taklukkan dengan minyak wangi. Tapi aku tak sedang berminyak wangi saat ia datang. Tak pernah sedang berminyak wangi.
Tubuh tak enak, hati tak sedap, pandangan berkunang oleh kenang. Mengapa ia datang lagi selalu di saat seperti ini. Ketika aku telah lupa tentang hadirnya yang terakhir. Sepotong bayangnya kadang datang dalam benak. Tetap menyisakan takutku atas siksanya atas diri, tubuh dan jiwaku.
Pandang rasa berkunang, tidur tak lena, makan tak sedap, sendi serasa tak berfungsi. Ia kerap hadir saat aku sedang sendiri. Ketika segala hambat tak memungkinkan bagiku untuk beranjak pergi. Saat HP tak berpulsa dan aku tak tau kemana mesti mengadu. Sewaktu minyak di tangki kreta tengah kerontang, saat uang di saku tinggal selembar ribuan atau 2 keping koin 500-an, ketika pulsa dan paket internet tiada, collect SMS-pun tak daya. Bahkan kerap saat batre di HP mongering dan listrik tengah padam pula.
Hidup ini terlalu indah untuk mengeluhkan tibanya yang selalu bertentangan dengan harapku. Namun, sepertinya jarang sekali aku sedang berdaya saat ia tiba di sini. Mengejek kesendirian yang berusaha membunuhku. Menantangku untuk menentang tatapnya tanpa nyali. Sungguh tusukannya yang menghadirkan didih di sekitar jantung telah membuatku tak kuasa selalu. Tusukan di titik terlemahku.
Ia terlalu mengenalku dengan segala lemahku. Seperti Iblis yang kerap mengintip ketebalan iman yang bersemayam di batin. Begitupula ia telah sedang selalu akan menyerbu aku ketika seluruh kemungkinan pertolongan telah sirna. Oh… Angina Pectoris… mengapa demikian kau perlakukan aku? Di atas rolling-bed ini aku terkapar, mengerang tiada guna menghadapi serangan hadirnya sosokku. Aku membenci pelukanmu, sejenis rengkuh yang tak pernah kurindu, namun kerap datang menghantu.
Bahkan dengan usiran kau tak akan pergi. Kau cuma akan beranjak ketika aku mulai menggunakan hati, mem-per-hati-kan. Cuma itu yang akan membuat engkau berlalu. “Lepaskanlah pelukanmu…!” rintihku dalam himpit pelukmu yang menusuk. Aku tau tak ‘kan engkau pergi oleh rintih selemah ini. Tapi cuma itu daya yang kupunya, mengunjuk selemah-lemah perlawanan. “Pelukanmu bukan jenis hangat milik para gadis yang pernah terlingkung sepasang tanganku”. Seperti terkekeh engkau mendengarku mengurai catatan kelam masa lalu.
Otakku bukan kawan yang baik saat begini. Entah apa yang mesti kulaku untuk menghentikan rengkuhmu. Nyeri semakin melingkup dada, oleh hunjaman rasa yang pernah kau tancap dan yang sedang kau tancap kini. “Pergilah…” rintihku bercampur rengek. Engkau makin dalam menancapkan nyeri. Bertopeng senyum terindah yang kau punya, senyum yang menopengi seringai laknat nan bedebah itu.
“Ayolah Angina… kau cantik, aku terpesona,” rayuku lagi. Tetap seringai itu yang hadir. Menancapkan hunjaman di atas ulu hati. Di dada sebelah kiri kau tancapkan tusuk sedalam mau dengan ketajaman sayat sebilah sembilu. Entah mengapa, bayangan sekeping logam dan segenang minyak goreng melintas tiba-tiba, saat akal tak mampu bicara. Wajahmu pasi. Bilah-bilah senyum jahanam itu sirna. Meski tengah terkapar begini rupa, aku tak mampu menahan senyum jawara. Tanpa becerminpun aku tau, ini saat yang membangkitkan cahaya di paras.
Hahahahahaha… wahai, Angina Pectoris… enyahlah engkau, sebab beberapa kejap lagi, engkau akan berambus dari diri dan tubuhku, ketika sekeping logam mengerik permukaan kulitku. Cara itulah wujud perhatian untukmu. Mengerik permukaan kulit di titik tempat tusukan yang kau hunjam bertahta.
***
Aku mengenalnya. Engkau juga. Orangtua dan orang tua menyebutnya masuk angin, meski dunia kedokteran menyebutnya Angina Pectoris.
Image Source: