Boy Nashruddin Agus

Antara Aceh dan Istri Sah Selingkuhan Rini Puspitawati

Aceh, sebuah daerah yang berada di ujung Pulau Sumatera, kerap menjadi model bagi Indonesia-sang negara induk pasca proklamasi kemerdekaan 1945. Namun, sebagai daerah model yang juga modal meraih kemerdekaan, Aceh acapkali dicurangi oleh para politisi di pusat negara. Kenapa?

Setelah tsunami mengamuk medio akhir 2004 lalu, daerah Aceh yang kerap disulut konflik bersenjata berdamai dengan Indonesia. Adalah Martti Ahtisaari yang memediasi perdamaian tersebut di Helsinki, Finlandia. Kelak, perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia itu dikenal dengan MoU Helsinki.

Dua kata terakhir, MoU dan Helsinki, seakan jadi momok setiap musim politik tiba. Para politisi dari partai lokal dan nasional seakan-akan berlomba menjual dua kata ini sebagai kalimat sakti untuk meraih simpati dari masyarakat kebanyakan. Padahal, butir-butir MoU Helsinki, yang menjadi ikatan damai antara kombatan GAM dengan Republik Indonesia itu, banyak yang belum ter-implementasi-kan.

Baca juga: Rini Puspitawati Meninggal, Warga Sudah Siapkan Nisan

Hal ini kemudian diakui oleh Ketua DPR Aceh, Muharuddin, yang berhasil duduk di kursi parlemen melalui jalur partai lokal di Aceh. Kebetulan, partai lokal tersebut dihuni oleh kalangan mantan kombatan dan intelektual loyalis Aceh. Seperti halnya tadi, Kamis, 18 Oktober 2018, kala penasehat Crisis Management Iniative (CMI) Jaakko Oksanen bersama Minna Kukkonen Karlende bertandang ke Banda Aceh. Dalam kunjungannya ke kantor dewan, penasehat CMI yang bermarkas di Finlandia ini menyinggung tentang nasib damai di Aceh yang telah berlangsung selama 13 tahun.

Dalam pertemuan tersebutlah, Muharuddin mengeluhkan masih banyak butir MoU Helsinki yang belum diimplementasikan pemerintah Pusat. Di antaranya, kata Muhar, terkait Qanun Lambang dan Bendera Aceh yang belum mendapat restu dari Jakarta. Padahal, qanun yang menjadi identitas Aceh tersebut telah diparipurnakan di gedung dewan.

Selain itu, Muharuddin juga menyebutkan butir pengadaan tanah seluas 2 Hektare untuk mantan kombatan GAM yang harus disediakan Pemerintah Pusat, dalam rangka re-integrasi para pemanggul senjata. Poin yang menjadi salah satu kesepakatan damai antara GAM-RI tersebut juga tak kunjung berwujud hingga satu dekade lebih.

Belum lagi mengenai tapal batas wilayah Aceh yang sama sekali belum tersentuh dalam legalitas produk hukum di Indonesia.

Anehnya, banyak negara-negara ketiga yang sedang dilanda konflik justru menjadikan perdamaian di Aceh sebagai model. Sebut saja misalnya seperti Thailand dan Filiphina. Beberapa kali delegasi dari negara ini bahkan sempat mengunjungi Aceh untuk mencontoh penyelesaian konflik.

Aceh seringkali tersuruk di lubang yang sama. Meski berkali-kali dicurangi, Aceh tetap setia dalam bayang-bayang bendera Merah Putih dan janji Sumpah Pemuda Indonesia. Begitulah Aceh, jika diibaratkan seperti seorang perempuan yang senang memprotes kelakuan suami, tetapi selalu setia menjalankan kewajibannya sebagai seorang ibu rumah tangga.

Nasib Aceh hari ini seperti kondisi yang dialami Tina Hayati. Tina merupakan istri sah Ragil Supriyanto (34), seorang kontraktor, yang tewas dalam kecelakaan mobil Sarangan, Magetan pada Sabtu (13/10/2018) lalu. Saat kejadian, Ragil justru ditemukan tewas dalam kecelakaan mengenaskan itu bersama seorang perempuan cantik, Rini Puspitawati yang diketahui sebagai seorang model.

Tina sendiri sudah mencurigai adanya perempuan lain dalam kehidupan asmara antara dirinya dengan mendiang Ragil. Namun, sebagai seorang istri yang baik, Tina justru membiarkan suaminya selingkuh, “asal tidak ditinggal mati.” Lalu, apakah nasib Aceh bakal sama seperti Tina?[]


Leave a Comment