Apapun Ceritanya Produksi Bollywood Tetap…

Diyus

Sudah 2 hari ini aku berturut-turut menonton film India. Setelah Kuch-Kuch Hotta Hai, 3 Idiots, PK dan Padmaavat, berturut-turut aku nonton Hichki dan Pad Man. Film India memang pintar mengaduk perasaan dan menguras air mata. Itu sebabnya, selain Kuch-Kuch Hota Hai, aku selalu nonton film India sendirian. Apakah aku menangis? Apakah aku tak mau orang menangisi sebuah film? Itu rahasia perusahaan.

Apapun jawabannya, akan sangat buruk dampaknya bagiku. Kalau kujawab tak menangis, sebagian orang akan bilang aku tak berperasaan. Kalau kujawab menangis, sebagian orang pula akan bilang aku cengeng. Beginilah nasib lelaki di tengah kaum patriarki. Tangisnya selalu dianggap cengeng. Padahal, sebutir air mata lelaki adalah kejujuran, sementara beribu gayung air mata perempuan adalah strategi. Awak pasti bakal diserang habis-habisan karena pernyataan ini. Intinya begitu. Menangis atau tidak aku oleh film India tak ‘kan mengubah jadwal kehadiran mentari esok.

Baiklah. Sebaiknya kita abaikan saja kehadiran maupun absennya airmataku oleh tontonan produksi Bollywood. Film India pertama (selain serial Mahabharata di Almarhum TPI) yang kutonton adalah Kuch-Kuch Hota Hai. Saat itu aku menonton bersama KKG (Kakak-Kakak Gemes) mentor SaMPAH (Pengasahan Mental dan Pengenalan Kampus Aneuk Hukom), beberapa minggu setelah orientasi kampus.

Mereka ngomel karena aku tak menangis menyaksikan film dengan alur yang menurutku fenomenal itu. Di hadapan para perempuan perkasa itu, tak menangis saat nonton film India seperti sama dosanya dengan pelanggaran HAM. Padahal, aku tak mampu mengalamatkan tangis karena belum pernah merasakan denyut dan detak asmara. Mana ngerti jomblo macam aku –yang saat itu belum pernah memadu kasih– soal gejolak perasaan. Mereka saja yang tak paham tentang hasrat asmara yang tak kenal empati dan simpati. Sebab, setahuku (di kemudian hari) asmara adalah hal yang sungguh empirisme-subjektif, tak terbandingkan dan menjadi pengalaman batin edisi khusus. Tiap orang punya kisah berbeda soal yang satu ini.

Ternyata, urusan mengaduk perasaan ala film India tak semata soal asmara. Film yang berisi kritik atas dunia pendidikan macam 3 Idiot sekalipun menggunakan rempah pengaduk emosi ala tanah Hindustan. Termasuk film bertajuk PK yang mengkritik soal fasisme agama sekalipun tak luput dari upaya menguras air mata selain gelak-tawa yang kocak dan menyindir persepsi-subjektif ketuhanan seseorang atau umat beragama. Bagian paling penting dalam PK terletak pada kemampuan Bung Sutradaranya membuat orang mempertanyakan kembali ketauhidan masing-masing, apapun agama yang ia anut.

Ah… ada sebiji lagi film India yang terlewat, aku lupa judulnya. Bercerita tentang seorang penjahat berhati mulia yang akhirnya dibunuh oleh rezim penguasa.

Hichki bukan cerita baru dalam film yang pernah kutonton. Sebelumnya aku pernah menonton versi asli yang berjudul In Front of the Class. Bercerita tentang guru yang mengidap Tourette Syndrom. Gangguan saraf bawaan yang menyebabkan seseorang tak mampu mengontrol peristiwa yang mirip cegukan. Hichki mengadopsi sebagian kecil saja konteks In Front of the Class. Malah seingatku, cuma di soal Tourette Syndrom saja keduanya serupa. Selebihnya sungguh berbeda.

Hichki menyulamkan karakter India ke dalam film. Kemiskinan para murid di kelas 9F, kecerdasan organik tiap orang dari 14 siswa di kelas tersebut, pertarungan miskin-kaya dan seolah mengulang kritik 3 Idiot di dunia pendidikan, formalitas dan formalisasi ilmu yang sesungguhnya telah melahirkan korban penipuan tanpa kepastian jumlah.

Beda lagi cerita Padmaavat. Adegan yang membuatku kecanduan adalah saat Deepika Padukone menarikan Ghoomar. Tari persembahan permaisuri untuk raja yang menampilkan kegenitan yang anggun. Meminjam istilah Fara, “Binal yang bermartabat”. Aku sungguh tergoda oleh liukan anggun Deepika, beserta kerling mata dan liuk tubuhnya. Sensualitas menyatu dengan keindahan. Mengaburlah batas antara cabul dengan seni dalam gemulai tubuhnya.

Bagian terkuat dari Padmaavat adalah keteguhan hati seorang permaisuri mendampingi tiap tantangan yang dihadapi sang suami. Tak gentar ia menghadapi serbuan raja terkuat di masanya, Alauddin Khilji.

Dini hari tadi, atas rekomendasi dari Mahlizar Safdi kutontonlah Pad Man. Kisah seorang lelaki India yang menemukan ‘kesadaran-pembalut’. Betapa harga pembalut yang membumbung tinggi mengancam kaum perempuan di sana. Belum lagi tradisi yang menjadikan tabu pembahasan mengenai pembalut. Obsesinya untuk mempermurah harga pembalut (agar lebih mudah diakses kaum perempuan di negaranya) menjadikannya sebagai musuh masyarakat di tahap awal pencariannya.

Pekerjaan, keluarga dan reputasinya anjlok di mata masyarakat. Di saat segala keterpurukan menerpa, hadirlah sokongan dari seorang perempuan yang menyembul di suatu senja dalam hidupnya. Perempuan yang lantas berperan sebagai pendorong langkahnya untuk terus maju memperjuangkan visi kepembalutan. Mengantarkannya ke altar tertinggi penghargaan dan pengakuan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Film berdasarkan kisah nyata Padma Shri Arunachalam Muruganantham.

Aku sungguh suka endingnya. Meski harus kuakui, betapa celaka seorang lelaki yang menolak Cinta perempuan sesemlohay Sonam Kapoor.

Ternyata, apapun genre film produksi Bollywood, di kedalaman kisahnya, aku tetap menemukan mata-air air-mata!

Image Source:

  1. Image1
  2. Image2
  3. Image3
  4. Image4
  5. Image5

Leave a Comment