Berkarir di Industri Penerbitan Media

Taufik Al Mubarak

Janet Steele menghadiahi saya sebuah buku menarik, Mediating Islam. Buku ini merupakan hasil riset dia mengenai praktik jurnalisme dan hubungannya dengan Islam pada 3 media di Indonesia dan 2 media dari Malaysia. Dari Indonesia, Janet menulis mengenai Majalah Sabili, Republika dan Tempo; dari Malaysia dia meneliti tentang Harakah dan Malaysiakini.com. Saya baru membalik-balik buku ini sekilas, belum membacanya dengan fokus, dan kesimpulan saya ini sebuah buku yang penting dibaca oleh praktisi media.

Membaca karya dari Associate professor of journalism di George Washington University ini membuat saya terdorong untuk kembali terjun ke dunia penerbitan media, meski saya hanya sekadar ingin bernostalgia saja. Soalnya, sejak keluar dari Harian Aceh pada Juli 2011, saya tidak benar-benar menaruh minat lagi bekerja di sebuah perusahaan media. Namun, hal ini pernah saya ingkari ketika bersama beberapa teman menginisiasi penerbitan sebuah media olahraga, Tabloid Offside. Sayangnya, media hanya sempat terbit sebanyak 8 edisi. Sekali lagi, harapan saya untuk berkarir di bidang penerbitan media kembali gagal.

Saya tidak mengawali karir di bidang kepenulisan dengan bekerja di media atau menjadi jurnalis magang di sebuah media serius. Sejak awal saya tidak berminat berkarir sebagai wartawan, sebuah dunia yang kini selalu akrab dengan saya. Pun begitu, saya menapaki jalan ini karena pengaruh lingkungan dan kondisi sosial politik di mana saya tumbuh besar. Konflik Aceh sangat berjasa mengantarkan menjadi seorang yang menyukai bidang tulis-menulis.

Tulisan pertama (jika tulisan di kolom komentar pembaca dianggap sebuah tulisan) saya yang dimuat di koran juga berhubungan dengan konflik, “DOM Menyiksa Kita Semua” ketika Aceh masih berstatus Daerah Operasi Militer (DOM). Karya saya tentang konflik yang benar-benar saya anggap sebagai karya tulis adalah “Potret Tua”, sebuah cerita pendek tentang sebuah keluarga korban konflik, dan dimuat di koran Waspada Medan tahun 1999.

Meskipun tulisan saya dimuat di koran, saya tidak begitu paham dengan sistem kerja media, kecuali hanya sempat melihat seorang wartawan meliput ke kampung. Cara kerja dan penampilan si wartawan bersangkutan membuat saya tidak berminat menjadi wartawan. Di kemudian hari, seiring seringnya berinteraksi dengan wartawan, persepsi saya mengenai wartawan berubah total. Mereka adalah orang-orang yang mendedikasikan hidupnya untuk mengabarkan informasi demi mencerdaskan publik, dan di sisi lain mendorong masyarakat menjadi pembaca cerdas, dan dapat membuat pilihan sendiri.

Karir di dunia wartawan saya mulai ketika menjadi seorang jurnalis kampus di IAIN Ar Raniry, saat dipercaya menjadi salah satu kru Tabloid Ar Raniry Post tahun 2001. Di sinilah saya belajar bagaimana rapat redaksi, meliput, mematuhi deadline dan bagaimana proses sebuah tulisan terhidang kepada pembaca. Media kampus memang tidak dapat menjadi contoh bagus bagaimana pengelolaan sebuah media, tapi setidaknya saya memahami cara kerja media di medi kampus ini.

Sewaktu ‘hijrah’ ke Jakarta pada 2003, saya sempat bekerja di Tabloid LACAK, sebuah tabloid anti-korupsi yang dikelola oleh aktivis antikorupsi JK Farza dan beberapa jurnalis asal Aceh. Di Jakarta pula saya belajar mengelola media ketika dipercaya mengurus buletin SATUVISI milik Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI). Di kedua media itu, saya tidak begitu lama bekerja, karena media itu mendadak berhenti terbit dengan alasan yang tidak pernah saya pahami.

Upaya merintis karir di bidang penerbitan media pernah saya lakukan ketika dipercaya mengurus Tabloid SUWA edisi reborn saat proses pilkada 2006 dimulai. Tabloid ini menjadi bagian dari kerja-kerja tim media pemenangan Irwandi-Nazar, di mana saya menjadi pengelolanya. Sebelum hari pemilihan, media ini terbit dua kali, dan dibagikan secara merata ke seluruh Aceh sebagai bagian dari media propaganda untuk pemenangan pasangan dari GAM dan SIRA ini. Setelah pasangan itu terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2006-2011, Tabloid SUWA sempat terbit hingga 11 edisi. Selanjutnya, karena masalah internal, media ini juga berhenti terbit.

Seluk-beluk industri media saya pelajari secara lebih mendalam ketika berlabuh di Harian Aceh, sebuah media lokal yang terbit di Aceh. Di sini saya menceburkan diri secara total sebagai pekerja media, termasuk menangani 4 halaman koran setiap hari. Di koran yang sempat disebut-sebut mampu membayangi Serambi Indonesia, saya bisa bertahan selama 3,5 tahun setengah. Boleh dibilang, pengetahuan saya tentang media lebih banyak saya ketahui dari koran ini. Hingga kini saya menganggap Harian Aceh sebagai universitas tempat saya belajar lebih tuntas dengan manajemen dan industri media. Belakangan, koran yang sempat terbit selama 6 tahun itu mendadak berhenti cetak.

Setelah mundur dari Harian Aceh pada Juli 2011, saya justru mulai trauma bekerja di media. Setiap membaca iklan lowongan kerja media, pikiran saya selalu melayang pada 4 halaman koran yang mesti saya tangani setiap hari. Saya tidak pernah lagi berminat bekerja di penerbitan media, atau melamar menjadi wartawan di sebuah media. Pun begitu, saya sempat melamar bekerja di group Kompas, pertama sempat dipanggil untuk tes terakhir di Riau, dan karena faktor tidak punya cukup duit saya tidak jadi berangkat. Saya pun sempat dipanggil wawancara oleh tim dari Kompas yang dilangsungkan di Serambi Indonesia, tapi karena jadwalnya pagi saya tidak sempat pergi. Saya bangun kesiangan, dan sempat terkejut melihat 5 kali penggilan telepon di layar Hp saya.

Takdir saya memang bukan menjadi wartawan melainkan sebagai ‘penulis’, ini pun jika aktivitas yang saya lakoni dianggap sebagai laku penulis. Tulisan saya dulu pernah beberapa kali muncul di rubrik opini Serambi Indonesia, pernah tayang di Sinar Harapan, Kompas, SindoWeekly dan sebagainya. Saya lebih banyak menulis tentang tema Aceh, pun begitu analisis saya tentang sepakbola pernah dimuat di koran lokal, Serambi Indonesia, tahun 2002. Saat itu sedang berlangsung Piala Dunia 2002 di Jepang-Korea Selatan.

Saat masih menjadi wartawan di Harian Aceh, saya diserahi tanggung jawab menangani halaman olahraga. Setiap hari saya harus membaca banyak berita tentang olahraga terutama sepakbola dari situs web luar negeri. Berita-berita itu saya terjemahkan untuk dimuat di halaman olahraga. Tak hanya itu, saya pun menyunting banyak berita olahraga dari wartawan lokal. Boleh dibilang, saya cukup lama bersentuhan dengan dunia olahraga.

Seperti sudah disinggung di atas, saya juga pernah mengelola Tabloid Olahraga “Offside” yang khusus mengupas seluk beluk olahraga, terutama sepakbola. Sayangnya, media ini hanya sempat terbit hingga 8 edisi, dan berhenti terbit karena masalah keuangan dan juga respon pembaca yang minim. Sebenarnya, media yang mengambil segmen olahraga sangat digemari oleh pembaca, tapi karena tak mampu bersaing dengan nama besar BOLA dan SOCCER, Tabloid Offside memilih off.

Jika ditanya siapa penulis sepakbola yang saya sukai, saya akan jawab Gus Dur dan Sindhunata. Meski dikenal sebagai cendekiawan muslim, Gus Dur sangat jago ketika membahas dunia sepakbola. Saya pun tidak pernah melewatkan analisis sepakbola Sindhunata, pemimpin redaksi Majalah Basis, yang tiap ada turnamen besar selalu hadir di halaman depan Harian Kompas. Tulisan-tulisan Sindhunata sangat menarik karena memadukan cerita sepakbola dengan filsafat, politik dan budaya. Orang yang tidak suka menonton bola pun suka membaca tulisannya.

Saya bahkan mengoleksi buku kumpulan karya Sindhunata tentang sepakbola seperti Bola di Balik Awan, Air Mata Bola dan Bola-bola Nasib, yang pernah dimuat di harian Kompas. Dia sangat piawai mengulas perkembangan di lapangan hijau mulai dari Pele hingga Marodona; dari Beckham hingga Wayne Rooney; dari Johan Cruyff hingga Louis van Gaal. Tulisannya dalam buku itu masih relevan dibaca hingga sekarang. Saya sempat bercita-cita menjadi penulis sepakbola seperti Gus Dur atau Sindhunata. Sialnya, saya selalu gagal!

Setelah membolak-balik buku Mediating Islam karya Janet Steele, saya ingin kembali ke dunia penerbitan media, sebuah keinginan yang tak mungkin lagi dapat terwujud. Saya tahu, saya mungkin hanya ingin bernostalgia saja. Tidak lebih.[]

Image source: pixabay.com

Leave a Comment