Diyus

Bookrak Mencuri Seekor Biawak-Liar dari Benakku

Malam ini adalah saat Nebula bermain dalam kepala pada jejak syair yang menggelinding di atas meditasi. Sebentuk penolakan atas sajak dan puisi yang usai mendengar deklamasinya atau cukup dengan membacanya saja, engkau akan segera mengelus isi cawat dan menyegerakan elusan syahwat ke pemilik cawat lain.

Menghadapi kemiskinan peristiwa dalam surat kabar, berita di televisi, siaran radio hingga artikel para kolumnis, kita terperangah dan hanyut. Seperti sebatang gelondong kayu menghilir oleh banjir. Bahkan pendidikanpun telah terberhalakan dalam sekolah. Moralitas yang herois, kepemimpinan yang megalomania, juga keragaman yang selalu bersinggungan dengan keberagamaan.

Apalagi ketika Bookrak sukses mencuri seekor biawak liar yang hidup dalam kepalaku, reptiln yang telah berdiam dalam otak beberapa tahun terakhir. Aku tak memeliharanya, tak mencintainya, tak menggandrunginya. Tapi mendapati ia tak lagi termiliki oleh kawasan benakku, sungguh sebuah kehilangan. Semacam muscle-memory seorang perokok ketika lintingan tembakau tak lagi berada di selipan jemari atau kepit bibir. Lantas, kereptilan macam apalagi yang bisa kulakukan tanpa biawak itu?

Mau jadi apa hidupku ini tanpa keculasan reptil tersisa?

Bintang kecil di langit yang biru tak mampu lagi menjadi hiburan. Sebab, ia cuma bisa ternikmati kala arus listrik padam. Hilangnya sebentuk daya hantaran kabel kekuasaan yang kerap menghadirkan maki. Padahal masih ada cahaya di langit yang sungguh organik untuk kita nikmati; senyampang menanti masa istirah gelombang listrik yang pasti lelah terkungkung kabel tembaga.

Lantas di ujung menung, saat bingung tengah menggunung, tibalah rencana setumpuk. Tentang kemarin yang gagal terpahami, kini yang menguap dan hari depan yang menyisakan gagap. Sungguh tega membiarkan politik berhias kemelaratan yang cuma berharta kabar para pembesar. Pembesar yang tengah berebut tahta pula. Ketika kuasa begitu menghadirkan gelenyar di tiap lapis kelenjar, menjalar. Betapa dhu’afa deretan kabar yang menjadi sorotan kita.

Tanggungjawab pada keadilan juga telah terpacak pada polisi, jaksa dan hakim. Sementara drama para pemegang tampuk-kuasa dan tumpuk-anggaran-pembangunan selalu tampil sebagai anak manja yang menuntut perhatian. Mereka gontok-gontokan dengan kepastian gaji bulanan, sementara rakyat yang cuma diajari membaca (tanpa mendapat pendidikan menganalisa), menyaksikan pagelaran pertengkaran mereka dengan gelegak di perut, juga kadar kolesterol, gula darah dan tekanan vena yang terlalu labil untuk sebuah adegan mencekam.

Rakyat menjadi penonton di tepi lapangan pergumulan kuasa, bersama imaji nasionalisme yang seolah cukup terwakilkan dengan kemenangan tim kita. Berhias patriotisme dalam kerangkeng bernama menang atau cundang. Tidakkah hidup mestinya lebih lowong dari itu?!

Ketika kemenangan perdebatan panjang yang  sesungguhnya bukan soal perbedaan pendapat, melainkan perbedaan pendapatan. Saat pembagian tumpuk anggaran telah menenangkan gejolak syahwat kuasa, pertunjukan berhenti. Penonton yang belum mencapai klimaks mesti memendam dendam hingga periode pemilihan selanjutnya. Begitu teruslah kelindan putaran roda drama. Ketika sebongkah komet melesat membawa asteroid dengan pijar cahaya yang memancing hasrat pandang. Sesudahnya, cuma merekalah yang memotong kue pembangunan ke dalam piring-piring bertulis nomor rekening bank.

Begitulah. Ketika Bookrak sukses mencoleng seekor biawak liar dalam benakku. Segeliat reptil telah pergi dari diriku. Mencuri culas dari pikirku. Aku tinggal sendiri memandangi sebuah sudut dalam batok kepala, tempat yang biasa menjadi wahananya meringkuk di dalam benak. Sementara aku merasa sepi tanpa culas itu. Bersama sebentuk sadar yang tak tahu mau kubawa kemana. Sebentuk sadar yang sungguh kuingin hadirnya. Secupak kepurbaan yang membuatku sadar, saat aku sedang mendamba kemabukan untuk memenangkan kompetisi bertajuk “Lomba Lari dari Kenyataan”.

Masa-Masa ini, saat aku membutuhkan keculasan untuk berani melangkah maju, sebentuk naluri reptil telah pergi. Kemana lagi bisa kucari biawak liar yang telah berganti tuan? Atau reptil apapun yang bisa mengisi daya culas dalam diri. Boleh iguana, kadal juga bisa, dinosaurus oke, ular lebih mantap. Tanpanya, malam ini mesti kuisi dengan ratap.

 

Image Source: 1


Leave a Comment