Saat kubuka jendela malam ini, aku mengerti kalau betapa banyak hal yang tidak kita syukuri. Ada uang untuk membeli mantel, tapi orang menghabiskan uang untuk hal-hal yang tak penting. Padahal jas hujan, kesiapan berkendara di musim pancaroba palinglah penting daripada instastory di tempat makanan enak –eits, bisa jadi mereka pakai mobil, jadi tak perlu mantel, ups.. salah paham.
Baik, kita buat paragraph lain. Hujan turun membuat omset penjual pisang goreng dan bada meningkat. Penjual bada adalah pemain dekat dengan minyak panas, tak merasa dingin saat hujan dan di hari-hari biasa. Mereka selalu hangat diterpa api kompor dan hawa minyak panas. Pisang goreng harganya seribu satu, meningkat setelah kenaikan minyak, padahal yang naik bensin apa hubungannya sama minyak goreng.
Selanjutnya ketika hujan deras begini yang senang adalah pendukung Jokowi, karena cebong mulai berkembang biak dan bertambah populasinya. Menyanyikan suara bas yang mengalun di dalam paya-paya dan air tergenang. Kodok adalah makanan ikan, elang, ular, dan memberikan banyak protein untuk hewan yang diatas mata rantainya.
Ketika air jatuh dari langit, membasahi jalanan desa yang belum diaspal, membuat jalan tergenang. Orang desa senang karena air di sawah akan banyak dan tak perlu mencari air dimana tersendat sampai ke hulu. Beberapa bulan setelah hujan ini biasanya akan banyak penjual jambu, mangga dan pohon lain yang sudah berbuah dari desa.
Main hujan hobi anak-anak desa. Kalau pernah sengaja main hujan saat anak-anak, masa kecil kalian terselamatkan. Kalau sudah besar belum merasakan mandi hujan, masih banyak kesempatan. Mandilah sekarang selagi hujan. Mandi tak mandi, wong pada ujungnya kita juga akan dimandikan.
Di sekolahku dulu Dayah Inti Al-Furqan, pernah kami merasakan azabnya hujan di malam hari, hujan deras berjam-jam membuat dayah banjir. Semua kasur di tingkat satu harus dinaikkan ke tingkat dua. Dan dinginnya, mati lampunya membuat malam itu kami tak bisa tidur dan menggigil kedinginan.
Banjir mengancam beberapa kabupaten di Aceh, sebab yang Nampak adalah air, sebab yang tak Nampak atau sengaja tak ditampakkan adalah pengrusakan hutan dan lemahnya pemerintah untuk meneliti dan mematuhi dampak lingkungan.
Banjir di Padang Tiji disebabkan oleh banyak rawa yang ditimbun untuk dijadikan rumah, itu mengurangi daerah serapan air. Juga penebangan liar di perbukitan untuk penanaman palawija membuat pohon yang seharusnya menyerap air sudah menjadi furniture rumah tangga.
Kalau kita bicara lebih jauh tentang ini, maka dapat disinyalir bahwasanya para penebang hanya menebang saja, tidak menanam kembali apa yang sudah dia ambil, padahal ketika satu pohon ditebang, dan di bawa ketempat ketam, pohon lain akan sedih ditinggal kawannya. Apalagi yang ditebang pohon besar, yang mungkin sudah menjadi ketua dari pohon-pohon lain, maka tanpa leader, hutan akan tak terarah. Ada pohon juga mati terjepit saat ketua tumbang, maka regenerasi pohon jadi terganggu deh.
Mengakhiri tulisan yang tak jelas ini, mari kita sejenak memperhatikan sekitar, apa yang bisa kita lakukan di musim hujan. Dibalik yang sangat perlu misalnya untuk jomblo yang sudah cukup umur untuk menikah. Yang bisa kita lakukan adalah menanam pohon, karena untuk siraman air sedang cukup-cukupnya.
Begitu saja dari saya dari Balee Pisang Wak, Khabib Nurmalagedov, melaporkan!