Diyus

Jalan

Sejak pertama menjadi penumpang bus, aku selalu memikirkan tentang jalan yang terbentang di hadapan kendaraan, selain kenangan pada sensasi mual yang kerap membuat aku muntah. Tak tahan dengan aroma asap dari mesin berbahan-bakar solar. Hamparan aspal hitam dengan garis putus-putus di bagian tengah. Menjelma garis tak terputus saat menjelang tiap tikung yang penuh misteri.

Perjalanan pertama yang kuingat saat bersama Uwek, nenekku dari pihak Mamak. Perempuan yang sepanjang ingatku lekat dengan aroma minyak angin merek Dewi Tunjong. Menumpang Liberty, bus angkutan antar kota dalam provinsi. Plastik kresek warna merah-semu, lapisan bangku penumpang berwarna kelabu dengan sungkup putih yang telah berhias warna daki. Juga titik-titik air yang menempel di kaca kala hujan turun.

Saat tamat SD, aku dititipkan ke keluarga Wak Alang, kakak Bapak yang tinggal di Lampahan, saat itu masih berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Tengah. Setiap libur panjang sekolah, aku pulang ke kampung di Tamiang, yang saat itu masih termasuk wilayah Kabupaten Aceh Timur. Jalan menjadi tontonan periodik. Aku makin akrab dengan jalan dan perjalanan. Lintasan jarak yang menjadi pertunjukan dalam ruang penumpang, kerap kukhayalkan sebagai gedung bioskop untuk membunuh bosan.

Mulanya pemandangan di ‘layar’ tampak serupa. Kesan yang timbul akibat bosan. Padahal, saat kutempatkan hati untuk membantu mata melihat, beragam gambar kehidupan tampil sebagai tontonan tanpa naskah dan sutradara. Lakon yang mengalir oleh waktu, gejolak zaman, corak produksi dan semesta kelindan hidup. Lelaki tua yang tengah mengangkut rumput dengan sepeda ontel, perempuan yang menjunjung tikar pandan berkeliling mencari pembeli, sekumpulan lelaki di warung kopi, anak-anak berlarian di halaman sekolah hingga suasana panen atau bercocok tanam Oryza Sativa.

Jika beruntung, aku sangat terhibur saat mendapati pemandangan segerombolan anak-anak seusia yang tengah melambungkan layang-layang ke angkasa. Meski cuma beberapa detik, pemandangan layangan yang tengah menguasai dirgantara sungguh menjadi bagian yang paling menyenangkan dalam setiap perjalananku. Layangan yang mewakili keinginan manusia untuk terbang. Seperti Icarus, anak Daedalus. Biasanya aku akan melongokkan leher untuk membuat ruang pandang lebih leluasa. Beberapa detik pula lain yang melintas pula dengan lakon kecelakaan lalu-lintas, bus lain yang sedang mogok atau bocor ban, sampai seekor lembu yang tertabrak sebuah truk angkutan.

Pertokoan tua di tepi jalan menjadi bagian yang juga lekat dalam ingat. Warna putih kusam dari cat kapur, semuanya berlantai ganda. Ruang atas berjarak lebih pendek antara lantai dengan atapnya. Sepintas pandang, aktivitas di bagian beranda pertokoan itu tampak sama. Tulisan “Jual-Beli Hasil Bumi” berwarna merah tergurat di selembar tripleks kusam, buaian anak, perempuan berdaster atau sarung, juga dancing dari tembaga yang menggelantung di palang penyangga.

Rumah-Rumah masih terbuat dari kayu. Halamannya berhias pepohonan mangga, kuini, mancang, nyiur, jambu air, jambu klutuk sampai Mussaenda Pubescens. Halaman rumah berpagar bambu dengan segerombolan kanak-kanak yang berkejaran, meniti hari dengan canda dan pertengkaran secukupnya; menjadi nutrisi bagi pergaulan mereka mengisi masa tumbuh.

Persepsi pikiran terhadap jarak menjadi misteri tersendiri bagiku. Sepertinya saat tiba di Langsa, laju bus menuju ke Kualasimpang terasa lebih lamban. Belakangan kupastikan persepsi itu terjadi karena rasa tidak sabar, mempengaruhi keseimbangan hormon hingga mengganggu daya hitung otak atas jarak dan waktu. Jarak antar batu pal terasa menjauh. Sebentuk ekspresi rindu yang meluruhkan objektivitas. Rindu sambel terasi buatan Mamak, rentetan nasehat Bapak dan celoteh adik-adikku.

Kenangan itulah yang selalu melintasi dalam ingat, saat kulihat sebuah bus melintas di jalan raya, terkenang kembali pikiran sebagai ‘penonton’ seluruh adegan di tepi jalan. Memandang sambil mengkhayalkan seseorang yang tengah menempuh rindu, menaklukkan jarak dalam kendara. Jarak yang dalam benakku kini menjelma sebagai lorong waktu.

Image Source:

  1. Image1
  2. Image2
  3. Image3
  4. Image4
  5. Image5

Leave a Comment