Jurnalistik untuk Sekolah

Harlan

“GALON minyak Batoh tahu? Sekitar 30 meter dari situ ada simpang empat yang arah ke kanannya sudah disumbat. Nah, belok ke kiri di simpang itu. Sekitar 800 meter, lihat saja sebelah kanan, di situlah Hotel Grand Aceh.”

Suara dari seberang melalui handpone terdengar jelas pada BlackBerry saya. Denni Iskandar, yang bekerja paruh waktu sebagai konsultan pendidikan pada Dinas Pendidikan Provinsi Aceh sedang memberikan penjelasan kepada saya tentang lokasi pelatihan jurnalistik. Pelatihan tersebut diperuntukkan bagi guru-guru SMP se-Aceh.

Menurut Denni, guru-guru yang diundang adalah guru-guru dari Sekolah Standar Nasional (SSN) yang ada di seluruh Aceh. Setiap sekolah diminta mengirimkan lima guru sebagai utusan.

“Kita berharap pelatihan jurnalistik dasar untuk guru-guru ini dapat memberikan manfaat besar bagi mereka dan sekolah. Sayang kan, sekolah berstandar nasional tapi tidak ada majalah atau buletin di sekolahnya?” ungkap Denni.

Dosen FKIP Unsyiah itu menjelaskan bahwa pelatihan tersebut diadakan selama dua hari, Rabu-Kamis (12-13 Oktober). Kegiatan yang diselenggarakan di Hotel Grand Aceh itu menghadirkan pemateri dari pengajar mata kuliah jurnalistik Unsyiah, orang Disdik Aceh yang sudah mengikuti Training of Trainers (ToT) jurnalistik, dan umum. Kegiatan itu sendiri diselenggarakan oleh Disdik Provinsi Aceh.

“Pelatihan ini tidak mendidik guru agar jadi wartawan, tetapi bagaimana guru-guru itu nantinya dapat mendampingi siswa mereka di sekolah untuk penerbitan buletin sekolah. Di samping itu, pelatihan ini diharapkan berguna bagi para guru dalam menyampaikan materi jurnalistik yang sekarang sudah ada pada kurikulum pendidikan kita,” papar Denni.

Oleh karena itu, menurut dia, pelatihan tersebut banyak diisi oleh dosen jurnalistik dari kampus. “Bukan tidak melibatkan wartawan, tapi guru-guru ini diberikan pelatihan untuk melatih kembali, bukan untuk menjadi wartawan,” tegasnya.

Setelah melewati sekitar 800 meter, seperti diungkapkan Deni, saya tiba di halaman sebuah bangunan bertingkat tiga. Namun, saya kurang tahu persis apakah hotel itu berlantai tiga. Pelatihan jurnalistik diadakan pada sebuah ruang di lantai satu. Saya tidak sempat menaiki lantai berikutnya.

Sepanjang perjalanan dari Batoh, sebelumnya, saya sudah sesak dengan debu jalanan. Perbaikan jalan dan drainase telah menjadi ‘makanan’ harian orang-orang di Banda Aceh. Tak terkecuali, jalan menuju hotel Grand Aceh ini pun demikian. Beberapa truk pengangkut tanah terus lalu-lalang sejak siang hingga petang.

Karena sesak dengan debu, saya tidak langsung memasuki ruang pelatihan, melainkan ke kamar mandi yang letaknya ternyata di bagian belakang.

“Perjalanan menuju ke hotel ini tentu sangat menarik jika dituliskan dalam bentuk feature. Ada debu jalanan, banyak beceknya, dan lain-lain,” kata saya membuka suara saat hendak memberikan pelatihan di hadapan guru-guru tersebut.

Beberapa tertawa kecil, sebagian sekadar tersenyum, ada pula yang hanya diam seperti tidak paham maksud saya. Sekilas, wajah-wajah guru itu terlihat mengantuk. Maklum, jatah saya menyampaikan materi tepat selepas istirahat siang.

Demi mencegah kantuk, saya mencoba membuka sesi dengan berkelakar satu dua patah kata di hadapan guru-guru yang sebagian besar sudah banyak menelan asam garam sebagai pengajar.

“Umur saya sebaya dengan usia anak bapak dan ibu. Beberapa mungkin mendapatkan SK pengangkatan saat pertama sekali saya lahir ke dunia. Saya lebih tepat jadi anak tinimbang disapa ‘bapak’, kecuali untuk beberapa guru muda di bagian belakang,” ujar saya dalam sesi perkenalan, saat ditanya tentang usia.

Suara siul-siul pun terdengar, sebab beberapa guru muda yang saya tunjuk dengan mata saat berkata tadi, yang duduk pada barisan belakang, adalah ibu-ibu guru yang memang benar-benar masih belia. Dapat ditaksir mereka baru diangkat sekitar lima tahun terakhir.

Dari pengakuan guru-guru dalam pelatihan itu jelaslah bahwa mereka sebenarnya sangat menginginkan adanya buletin sekolah di tempat mereka mengajar.

“Ada sebenarnya anak-anak yang suka menulis, tapi tidak tahu kemana disalurkan. Kalau ada majalah sekolah tentu ada wadah untuk mereka,” keluh seorang guru.

Pada sesi uji coba, semua guru antusias mencoba menulis berita. Kebetulan saat itu mereka sedang mendapatkan materi feature. Sesi latihan, guru-guru itu akan menulis sebuah feature dari hasil cerita temannya sendiri di sekolah masing-masing.

Dalam sesi pembacaan atau pemaparan hasil uji coba, rata-rata guru tersebut mengeluhkan soal kebijakan terhadap sekolah mereka.

“Sorot matanya sayu. Wajahnya memelas. Ia membanting map berisi kertas-ekrtas yang penuh dengan tanda tangan kepala sekolah,” tulis seorang guru dari sebelah barat Aceh dalam pembukaan featurenya tatkala hendak mengungkapkan tentang nasib seorang guru yang mendapatkan imbas pemotongan gaji 13.

Seorang guru bahasa Inggris dari sebelah timur Aceh juga menulis hal yang tidak jauh berbeda. Kendati cara ia memulai featurenya dengan penggambaran suasana sekolah, tulisan ibu guru berjilbab hitam ini juga tentang pemotongan dana guru yang dilakukan oleh pihak sekolah.

Tulisan mereka indah dan mengalir. Beberapa tulisan itu sudah dapat disandingkan dengan feature di koran-koran harian. “Begitulah kalau bapak ibu menulis dengan hati. Menulis apa yang dekat dengan kita. Tulisan jadi mengalir dan enak dibaca. Maka, menulislah dengan hati, tulislah apa yang dekat dan mudah diketahui. Soal genre, boleh fakta boleh imajinasi, dan tentu tidak tertutup kemungkinan ditulis dalam bentuk feature,” jelas saya menutup diskusi sore itu. [Herman RN]


Leave a Comment