Jurus Mabok

Diyus

Kekasih, apakah engkau tahu tentang sepakbola? Cukup tahu sedikit saja. Tak perlu paham mengenai betapa hebat Ronaldinho, berapa offside yang menjebak Filippo Inzaghi, berapa gol yang diproduksi dalam setiap seri pertandingan di Piala Dunia ataupun berapa komentator yang lahir di Indonesia setiap hari.

Sungguh, aku tak hendak engkau mengetahui sebegitu dalam mengenai sepakbola. Aku cuma ingin mengajak engkau bercerita tentang sesuatu yang berkaitan dengan bola; bola daging. Atau benda yang terlanjur kita kenal sebagai bakso atau baso.

Setidaknya demikianlah ia biasa tertulis di warung-warung sekitar tempat yang pernah kulewati. Di Tanoh Gayo, bakso kerap bersanding dengan pangsit; sebutan yang kerap salah karena sesungguhnya cuma menyediakan mie ayam, bukan pangsit. Jarang sekali yang menyajikan pangsit secara utuh.

Demikianlah. Kesalahan demi kesalahan yang lantas menyebar menjadi kebenaran yang disepakati bersama. Seperti juga hal-hal lain yang tampak menjadi benar semata karena biasa digunakan. Maka kembalilah kita kepada bakso saja. Dalam kenangku, bakso terenak yang pernah kusantap ada di deretan Kantor Pegadaian Kualasimpang. Waluyo Jati. Demikian nama warungnya. Nama yang berarti ‘hidup kembali’.

Pemiliknya adalah kawan satu grup band Bapakku. Tentu saja sewaktu mereka muda. Saat aku masih entah di mana berada. Lelaki bernama Sukram itu membuka usaha warung bakso pertama di Kuala Simpang puluhan tahun lalu. Ketika bioskop masih menjadi hiburan resmi yang popularitasnya cuma bisa disaingi oleh layar tancap.

Bakso Waluyo Jati tumbuh menjadi usaha yang sehat. Pembeli merasa puas karena komposisi dalam tiap bola dagingnya yang pas. Tiap bola daging menghadirkan tekstur yang kenyal dan menghadirkan rasa daging has sapi terbaik. “Krrrk!” begitu gema suara gesekannya saat tergigit. Belum lagi kuahnya yang bertabur kaldu; Saripati rasa sapi yang berasal dari belulang ruminansia itu. Aku suka menanti saat kedai akan tutup untuk menyantap tulang yang telah menyisakan kelembutan juntai daging yang melekatinya.

Ah… kenapa pula mesti kubahas mengenai sumsum sapi yang meukeutham itu. Tapi begitulah bakso Waluyo Jati. Sedapnya masih sesekali menggema di lidah. Beserta jejak rasa lada dan bawang putih yang sungguh menggoda. Sesekali benakku melakukan ekskavasi di lidah untuk mengenang rasanya.

Bayangkanlah. Semangkuk bakso yang tersaji tanpa mie kuning, ber-garnish cacahan daun seledri, bawang goreng dan kerupuk Republik. Lengkap dengan kepulan uap yang melukiskan panas. Saliva menggenangi lidahku meski cuma dengan membayangkannya saja.

Sejak Waluyo Jati tutup, baru sekali ada bakso yang terasa mempesona. Si Abang Tukang Bakso itu biasa mangkal di sekitar Lapangan Merdeka. Biasanya di atas jam 3 sore. Sejatinya, saat pertama aku memesan bakso itu, aku cuma terpaksa. Perut lapar dan tiada penjual makanan lain di sekitar. Aku sudah jarang makan bakso usai tutupnya Waluyo Jati sebab sering kecewa. Oleh keterpaksaan itu saja kupesan semangkuk bakso dari si penjual.

Seperti biasa, kepulan uap tampak begitu menggoda, bola dagingnya tampak tak mengundang selera. Sebab aku tau pasti warna bola daging yang menggunakan porsi tepung sekedarnya dengan yang menggunakan tepung lebih dominan untuk menekan biaya modal. Seperti biasa pula aku memberi sentuhan kecap asin cap Singa dua kali kecrotan, saus tomat untuk memerahkan, tapi aku tak menemukan keberadaan botol cuka.

“Cukanya mana, Bang?” tanyaku ke si Abang Tukang Bakso.

“Aku nggak pakek cuka, Bang. Tapi jeruk nipis” jawabnya sambil mendekatiku dan menunjukkan letak jeruk nipis yang berada di antara bagian luar mangkuk dengan piring tatakan. Di situ telah ada 3 potong jeruk nipis nan nakal menggoda. Mungkin saat itu ia menyadari bahwa aku baru pertamakali menyantap produknya.

“Wah! Ini pasti seru” pikirku. Kuremaslah tiga irisan jeruk nipis itu setelah memastikan ketiadaan bijinya. Tak sabar kuaduk semua bumbu tambahan dalam kuah yang masih mengepulkan uap dan aroma yang sungguh menggoda. “Slurrrppp…!” demikian bunyi itu menggema di udara, menjejakkan kenang di benak dan menempatkan diri di jajaran pengalaman rasa.

Setelah kuperhatikan lagi, si Abang Tukang Bakso telah ‘lancang’ memasukkan tauge setengah matang dalam kuah baksoku. Ternyata, kelancangannya sungguh mempesona. Aku menemukan sensasi kenakalan kuliner yang benar-benar menyerupai petualangan Tintin atau Indiana Jones.

Mataku membeliak. Meski baksonya tak seindah rasa milik Waluyo Jati, namun kuahnya terasa lebih asli, murni dan alami. Berornamen rasa asam organik yang berasal Jeniper (jeruk nipis peras). Lengkaplah sore itu dengan rasa syukur mengalami sebuah peristiwa kuliner terbesar dalam sejarah diri. Begitulah, ketika Waluyo Jati pergi, kutemukan bakso pengganti dengan kekurangan di aspek perdagingan, namun memiliki kelebihan di aspek perkuahan.

Kekasih, walau dari tadi aku bercerita tentang bakso, sesungguhnya aku sedang ingin bercerita tentang tahu isi. Lebih jauh lagi, aku sedang ingin makan tahu isi. Namun, melebihi keinginan itu, aku ingin engkau tahu isi hatiku.

 

Image Source:

  1. Image1
  2. Image2
  3. Image3
  4. Image4
  5. Image5

 

Leave a Comment