Kematian Gajah dan Alarm Bencana

Zamzami Ali

Kabar duka kembali menyelimuti para penggiat dunia konservasi. Mungkin, bagi sebagian manusia, berita buruk ini tidak terlalu penting bagi mereka apalagi menyangkut dengan yang namanya gajah. Toh, gajah kan cuma binatang, tidak terlalu penting bukan? Pendek akal..

Belum tepat berselang satu bulan, seekor Gajah Sumatera atau Elephas Maximus Sumatranus kembali ditemukan mati. Kejadiannya masih di tempat biasa, zona merah, Aceh Timur. Saat pertama kali mendapat kabar pada Kamis, 9 Agustus 2018 malam, jujur saya tidak bisa membayangkan apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa harus gajah lagi yang menjadi korban?

Sejak tahun 2012, sudah ada 57 ekor gajah yang mati di Aceh. Dan di tahun 2017 saja, ada 11 kasus kematian gajah dan 6 diantaranya atau setengah dari jumlah tersebut terjadi di Aceh Timur. Sedangkan di tahun 2018, sudah ada 3 ekor gajah yang mati dan seluruh gajah itu mati di Aceh Timur. Dan, teranyar seekor gajah liar kembali ditemukan mati di daerah pedalaman Peureulak di Aceh Timur.

Foto kiriman via Grup WhatsApp.

Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo dalam keterangannya mengatakan, gajah tersebut diduga mati karena mengalami toxicosis (keracunan). Namun, gajah berjenis kelamin jantan yang diperkirakan berusia 15 tahun itu juga diduga terkena kawat yang dialiri arus listrik karena lokasi kawat yang berada tidak jauh dari lokasi. Bagian belalainya juga menghitam, karena diduga hangus terkena kawat listrik. Kawat seperti ini merupakan alternatif para petani untuk melindungi lahan yang mereka garap dari gangguan hama seperti babi hutan.

Kejadian seperti ini terus saja berulang kali terjadi. Motifnya sama. Bagi sebagian besar petani yang menggantungkan harapan hidupnya dari hasil kebun, gajah sudah lama dianggap sebagai musuh yang keberadaannya sangat mengancam. Alhasil, racun dan kawat listrik adalah solusi yang dipilih sebagai ‘pertahanan’ para petani. Di sisi lain, gajah tidak tahu menahu tentang makanan yang tersedia melimpah di area yang notabene nya adalah habitat asli mereka. Belantara rimba yang selama ini menjadi rumah mereka, telah hancur akibat perambahan dan pembalakan liar yang terus menerus terjadi.

Bagaimana tidak, para petani masih menanam tanaman yang disukai oleh gajah seperti kelapa sawit, pisang dan beberapa jenis tanaman lainnya. Makanan gratis tersedia banyak, gajah mana yang tidak mau, ya kan?

Gajah merupakan hewan yang memiliki berat badan yang sangat berat, hal ini menyebabkan mamalia terbesar yang populasinya di Aceh saat ini diperkirakan tersisa 500 ekor itu, tidak bisa hidup di daerah atau daratan yang terlalu tinggi. Terlebih, gajah juga memiliki semacam rute abadi yang akan dilintasi dalam kurun waktu tertentu. Tentu gajah tidak bisa disalahkan begitu saja akibat konflik yang terjadi saat ini. Gajah juga punya hak untuk hidup dan juga berhak menguasai hutan yang mungkin telah ditempati oleh mereka sejak berpuluh tahun atau beratus tahun yang lalu.

Foto kiriman via Grup WhatsApp.

Apakah anda juga berpikir gajah adalah hama yang perlu dibasmi? Berarti anda tidak sadar, manusia manusia rakus lah yang sebenarnya berhak mendapat sebutan perusak sejati karena selama ini mereka membabat hutan (habitat gajah) dan menggantinya dengan kebun-kebun untuk mendapatkan pundi rupiah. Mereka juga menebang kayu tanpa ampun. Hutan rusak lah yang menjadi pemicunya konflik gajah dan manusia karena gajah terpaksa turun ke bawah dan merusak kebun-kebun yang ada.

Manusia memang perlu makan, tapi alam ini harus dijaga bukan malah dirusak. Jangan seenaknya saja, cari makan juga perlu aturan. Jika alam ini mampu diperlakukan dengan baik, maka alam akan memberikan segalanya untuk kita. Tapi, jika alam diperlakukan dengan buruk, bersiaplah menunggu kedatangan yang namanya banjir, longsor, kekeringan dan bencana-bencana alam lainnya.

Leave a Comment