Aceh Pungo

Harlan

Kherkoff, Kenangan Belanda untuk Aceh

Oleh Maulidar Yusuf A

Wahai para tengku jangan ragu-ragu,

Penuhilah kewajiban Agama hai saudara

Wahai sahabat tiada kewajiban yang lebih penting

Yang melebihi kewajiban berperang’

Dan sekarang kewajiban berperang menjadi kewajiban pribadi

Salah satu tiang Agama

Demikian para utusan Tuhan

Marilah kita yang  berada disini sekarang menyadari sepenuhnya

Perang sabil adalah kewajiban anda

Ketahuilah wahai saudara

Yang pertama iman kepadaNya

Yang kedua sembahyang

Dan yang ketiga kewajiban berperang melawan Belanda

(cuplikan dari hikayat prang sabi)

***

“Droneneuh djak rhot likot njoe, loen blah deh.” Ibrahim mulai mengatur strategi penyerangan.

Meskipun subuh akan tiba, dentuman merian tak henti-hentinya terdengar sejak malam.

“Tapi kita tidak ada senjata Him, bagaimana bisa kita menhgadapi mereka?! apalagi jika kita melihat senjata mereka!” ucap Amin, sedikit ragu dengan kapasitas mereka yang hanya sebilah rencong.

“Hana masalah! Allah njang akan tulong geutanjoe mandum. Apakah kalian tidak lihat? Bagaimana salib ditangan kiri mereka?! Awak njan kaphe, haleu darah!” jawab Ibrahim, menyulut Ahmad dan teman-teman yang lain untuk berkata “Allahuakbar..!!”

Hilang sudah keraguan, semangat perjuangan kembali berkobar.

“Njoe koen prang biasa, tapi prang kaphe na keuh prang njang wajeb!”

***
“…Andaikata sripaduka tuanku tidak bersedia mengakui kedaulatan raja Belanda atas negri Aceh, maka dengan tidak dapat ditarik kembali akan dipertimbangkanlah berlangsungnya penyerangan….” Sultan membaca ulang bagian surat dari Belanda melalui Komisariat Nieuwenhujjzen pada 27 Maret 1873. Sultan mulai curiga mereka pasti akan menyerang Aceh. Setelah berdiskusi sedikit dengan para Ulama, cendikiawan, dan penasehat-penasehat kesultanan lainnya, akhirnya sultan memerintah rakyat untuk waspada, Sultan yakin Belanda pasti tidak paham apa maksud dari surat balasannya beberapa hari kemarin:

“…tidak ada keinginan dari pihak kita untuk merobah hubungan persahabatan yang sudah diikat,… dan kita semua berada dibawah perlindungan Tuhan Yang Maha Esa”. (Dikutip dari buku Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda, sebuah karya A Hasjmy).

Akhirnya ketidakpahaman Komisariat Nieuwenhujjzen terhadap jawaban Sultan inilah yang akhirnya  membawa Belanda datang dengan prajurit sebangsa dan bayarannya ke Aceh, dan perang pun tak dapat dibendung.

***

Aceh 1873, langit Aceh kembali berawan, kapal-kapal asing mulai berlabuh dipinggiran laut Aceh, seorang memberi instruksi.

“Turun..!”segerombolan warga asing berbaju kecoklatan turun dengan senjata lengkap, sesekali meriam diletuskan, membuat warga gempar namun tak sedikitpun gentar.

Tak lama kemudian terlihat puluhan laki-laki berlari membawa rencong, bamboo runcing sambil berteriak “Allahuakbar”, mereka mengeluarkan semangat yang luar biasa meskipun jumlah mereka tak sebanding dengan prajurit bersenjata itu. Tak lama kemudian darah manusia sedikit demi sedikit mulai meruah.

Perang mulai bekobar.  Belanda ingin menguasai Aceh, dengan melakukan agresi militer, tindakan tersebut terus dilakukan hingga tahun 1910, namun sayangnya mereka juga belum bisa menaklukkan tanah Rencong yang juga dikenal dengan Seramoe Makkah.

Semangat prang sabi adalah salah satu alasan mengapa kata perang terhadap Belanda tak pernah luput dibenak semua rakyat Aceh, tak terkecuali perempuan. Penjiwaan  atas rasa memiliki yang tak pernah padam inilah yang membawa sejarah tak bisa mencatat siapa yang memenangkan perang Aceh dalam setengah abad lamanya.

“Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu mesjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahuwataala, tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?” penggalan kata pejuang Aceh, Cut Nyak Dhien saat Mesjid Raya Baiturrahman dibakar oleh Belanda.

Hingga hari ini kita masih bisa melihat saksi bisu perang Aceh, Kherkoff. Sebuah kuburan Belanda ditengah kota Banda Aceh. Tepat di jalan Teuku Umar, disamping lapangan Blang Padang, ditengah kota Banda Aceh, kita bisa mendapatkan sebuah kawasan  dengan ukuran 150 x 200 meter. Kherkoff adalah kuburan yang didirkan Belanda pada tahun 1880, hingga saat ini, Kherkoff menjadi bukti kedatangan belanda  dan perang yang terjadi pada dua abad silam.

Di  Kherkoff terdapat 2.200 lebih kuburan serdadu Belanda, terkadang kita berfikir bagaimana bisa Belanda memiliki pasukan sebayak itu, jika dilihat dari Negara mereka yang kecil. Namun ternyata disaat kita memasuki kawasan kherkoff atau Potjut, pada dinding gapuranya banyak nama prajurit yang dominan dengan huruf “o”.

“Di sini makamnya nggak cuma orang Belanda, Apalagi Belanda itu sudah lama tinggal di Indonesia, ya mereka merekrut prajurit dari Jawa, Ambon, juga Manado,” kata Rusdi Sufi, sejarawan Aceh.

Tepat pagi 10 Muharram 1290 (5 april 1873). Agresi Belanda  pertama dipimpin oleh Mayor J H Kohler dengan 168 perwiranya dan 3800 serdadu sebangsa dan bayaran dilakukan, Namun, agresi pertama ini gagal, sia-sia. Kohlerpun mati didalamnya.

Di saat kita memaski kawasan Kherkoff Belanda lebih kurang 10 meter pertama setelah gerbang kita bisa melihat sebuah nisan yang berukirkan seekor ular yang mengigit ekornya sendiri dibawah tulisan JH Kohler.

JH Kohler adalah salah satu Mayor yang tebunuh didepan mesjid Raya Baiturrahman dulunya Kohler dikuburkan di Tanah Abang, namun karena adanya penggusuran akhirnya pihak Belanda memindahkan kuburannya ke kherkoff, Aceh.

Saksi bisu ini menjadi dokumen sejarah yang sangat penting dalam sejarah perang Aceh. Ini merupakan  bagian yang penting untuk dilestarikan, karena dari sini kita bisa melihat kenangan heroic masa lalu. Pelestarian ini akan menajadi cambuk bagi generasi sekarang untuk terus berjuang  karena sejarah telah mengukir bahwa kita adalah bangsa yang maju.

“No document, no history”  ungkap Rusdi Sufi suatu ketika  yang dilanjutkan oleh Nix, mantan letnan kolonel kavaleri Belanda yang lahir di Geumpang, Pidie saat berkunjung ke Kherkoff tahun ini.

No history, no future because you don’t know where you come from”.

Maulidar Yusuf A adalah mahasiswa TEN IAIN Ar-Raniry.

(Tulisan ini ditulis menyambut kedatangan Robert Jan Nix ke Aceh. Robert adalah mantan letnan kolonel kavaleri Belanda yang lahir di Geumpang, Pidie)


Leave a Comment