Lembar elektris kosong di hadapanku masih belum berisi apapun ketika benak melayang. Masih mencari kata, memilih aksara apa yang bakal muncul. Tak ada satu katapun di situ. Apalagi kata. Ingatan yang muncul memercik. Bias. Lalu padam lagi di antara suara yang berganti melintas tanpa henti. Deru knalpot kendaraan. Gesekan tapak sandal dengan lantai. Kesiur angin menerpa dedaunan.
Jangkrik tak mau ketinggalan mengumandangkan derik. Memamerkan simponi dari gesekan di sekitar bokongnya yang melodis. Lembar di hadapku masih kosong tanpa aksara, tanpa kata. Kalimat menggelantung bergantian. Berebut keluar, semua kalah, tak ada yang menang saat saluran kecil di ujung jemari tersumbat untuk memutuskan siap yang akan menjadi jawara untuk muncul dan menjadi.
Begini rupa ternyata, seorang pelukis yang gagal menarik segores garis di atas kanvas. Pun seorang musisi yang gagu saat memutuskan not apa, nada melodi apa yang mesti tergemakan oleh denting atau dentam komposisi simponi. Juga penyair yang tengah fakir di hadapan kata.
Abu rokok sudah membukit di asbak, puntung lintingan tembakau telah bergelimpangan serupa mayat tentara di medan perang, kopipun licin tandas oleh seruputan gelisah yang tak sudah oleh gumam tak pasti. Lembar itu tetap kosong tak mau berisi. Tak mampu aku mengisinya dengan sekedar “Pada suatu hari”, atau, “Hei semua… apa kabar?
Dadaku terhimpit sebongkah sesak kiriman resah. Entahlah. Benak terus mengulang tanya, “Apa yang mesti kutulis?” Hingga selaksa kali berulang menanti jawab. Jemari berulang mencoba mengetik aksara yang segera kuhapus sebelum cukup syarat menjadi satu kata. Bukannya menyunting, benakku langsung memerintahkan jemari untuk menghapus kandidat kata sebelum cukup syarat .
Begitu berbahaya ketika benak menyunting sebelum aksara mewujud kata, sebelum kata sempat menjadi kalimat, sebelum kalimat mengurai maksud. Khayal telah terkapar pasrah tak berdaya. Entah telah terlalu berkuasa, bertahta di singgahsana. Menumpat alir gagasan yang tiba-tiba menjadi terlalu cocok untuk kusebut pengecut. Nyali entah kemana ia sedang berlabuh.
Saat ingin menulis tentang orang, beribu wajah dan cerita di baliknya muncul berebutan pula. Aku harus mulai dari mana? Aku mesti menulis siapa? Bagaimana bisa kusingkirkan penghuni kenang yang menumpuk hingga sumbat aliran jemari yang biasanya begitu lincah menari di atas papan kunci? Waktu apa yang mesti kutulis untuk mengganti ingat?
Begitulah. Setiap tanya tetap berbalas tanya. Seperti gema saat engkau terkurung tebing bebatuan. ‘Tenggelam’ mungkin kata yang tepat ketika buncah segala kenang, rasa, segala yang pernah terindrai muncul bersamaan menyerbu. Serupa kerumunan kelelawar berebut keluar dari lubang goa. Senada bising yang bikin kau tak mampu memilah suara. Baur dari segala gagas.
Sepertinya ini kali aku mesti menyerah untuk membiarkan diri sejenak dalam diam. Memelihara diri ke dalam kandang hening. Sebab kepala seperti tak mau bekerjasama menuntaskan tumpat di saluran pembuangan. Juga diri yang seperti tiada daya mengorek sumbat di alir kubangan nan sungguh jumud ini. Sebaiknya kukaparkan tubuh di atas segala datar yang membentang terhampar.
Maafkan aku sebab ini bukan malam yang menjadikan kata cukup ramah untuk memasuki ruang tulis. Meski pikir sudah lelah, meski benak sudah letih hingga kenangan menjadi terlalu lemah usai mengais sebiji aksara saja, yang dengannya akan kucoba merangkai kata. Agar aku mampu menjalinnya dalam bingkai kalimat untuk kuramu menjadi kisah siap saji. Hingga untuk kalianpun, aku cuma mampu menyaji lembar kosong malam ini.
Terinspirasi oleh tulisan Rio de Jack Si Uroe
Image Source: