Diyus

Masuk 2 Kepala*

(Meraba Motif Saifannur)

Ceriwis. Kata itu cocok menggambarkan fenomena zaman media sosial. Bagaimana dengan latah? Cocok juga. Atau mungkin nyinyir? Ah… itu sudah terlalu mainstream. Maka, setelah mengingat, menimbang, memperhatikan dan memutuskan, aku mesti ikut. Supaya lebih tampak manusiawi. Tak sedap juga kalau aku menjadi anomali dari sebuah peristiwa kemasyarakatan. Setidaknya, kali ini aku menyalurkan keceriwisan, kelatahan dan kenyinyiran secara sadar. Tanpa tekanan, elusan maupun pijatan mesra dari pihak manapun.

Nah… oleh sebab itu dikarenakan keinginan yang mana daripadanya untuk menyalurkan hal-hal yang perlu kusalurkan pada saluran untuk menyalurkan penyaluran; kucatatkan saja angan ini sambil mempermisalkan diri menjadi Saifannur. Semoga kedua kubu yang pro dan yang kontra menjadi murka padaku. 

***

Siang ini aku tercenung memikirkan peristiwa tadi malam. Sekelompok orang yang sering menyebut diri sebagai tokoh masyarakat dan kerap menyebut diri ulama datang ke rumah sebelum Shalat Maghrib. Kami berjamaah di meunasah meuligoe kebupatian. Kuperintahkan para asisten rumah tangga kebupatian menghidangkan santapan untuk kami. Aku tak mau berbicara dengan orang yang sedang lapar, amarahnya cenderung lebih menguap. “Sepiring hidangan akan menurunkan kadar marah hingga 25%, apalagi kalau rasanya enak!” begitu kata konsultan psiko-politikku suatu kali.

Usai bersantap barulah rombongan menyampaikan maksud dan tujuan. Seorang di antara mereka yang tak akan kusebut namanya tampak sebagai kepala rombongan. Di antara kepulan asap rokok, sebaran asbak dan gelas kopi yang telah bertuan. Juru bicaranya seorang yang meraka tuakan. Memaparkan mengenai keresahan terhadap anak-anak yang kecanduan permainan online. Hingga lupa belajar, lupa pulang ke rumah dan kerap lupa diri.

Tak cuma itu. Kegelisahan mereka soal tingginya angka perselingkuhan juga turut hadir di ruang pirsa kami. Di ruang tamu Meuligoe Kabupaten Bireuen. Sesuatu yang semestinya di luar kuasa Pemerintah Bireuen, Bupati Bireuen bahkan di luar yurisdiksi pimpinan manapun. Bagaimana cara mengintervensi hasrat di dalam cawat tiap orang? Belum kutemukan sebuah metodepun di sepanjang rentang sejarah peradaban manusia. Tak tercatat sebiji aturanpun yang mampu meredam hasrat dari dalam cawat.

Mengintervensi kehendak dalam cawat sama dengan upaya mengakses pikiran di benak orang dengan sebuah harddisk berukuran 100 yottabyte. Kapasitas harddisk-nya cukup, tapi metode mentransfer isi pikiran ke dalam harddisk belum ditemukan. Kupikir bisa saja aku berpijak di atas pola pikir mereka. Meski tampak tolol, hal itu akan kudiskusikan dengan staf bidang hukum.

Lembar kertas yang mereka sodorkan itu terlingkup dalam bingkai sekuntum bunga. Mengelilingi 14 poin yang terunut di bawah judul STANDARISASI WARUNG KOPI/CAFÉ DAN RESTORAN SESUAI SYARIAT ISLAM. Aku merasa terintimidasi melihat kolom tandatangan di bawahnya. Kolom tunggal dengan tanggal yang di majukan untuk 3 hari ke depan. Tanpa keikutsertaan unsur Musyawarah Pimpinan Kabupaten Bireuen. Bahkan dalam judul dan isi dokumenpun tak tersebut kata Bireuen. Cuma ada 2 kata Bireuen di surat itu, pada bagian tanggal dan di atas kolom tandatangan bertulis namaku.

Ini jadi celah tambahan. Entah mereka tak paham tata penyusunan peraturan, atau tak menghendaki adanya keterlibatan pihak lain dalam penyusunan tiap aturan di tiap jenjang kepemimpinan.

Aku tak mendebat. Mereka simpul massa yang solid. Basis massa yang berdiri di belakang mereka juga signifikan untuk kuperhitungkan. Bisa gagal rencanaku berkuasa 2 periode jika melawan kehendak mereka. Kusanggupi dengan kalimat klise, “Akan saya pertimbangkan tuntutan yang bapak-bapak ajukan ini, yang teungku-teungku sarankan ini. Tiap peraturan mesti melewati beberapa proses. Saya mesti konsultasi dengan ‘Pak Dewan’ supaya peraturan ini bisa lolos di proses legislasi,” ujarku dengan nada suara serendah mungkin.

“Ooo… tidak bisa. Peraturan yang ada di kertas ini mesti keluar seperti ini. Tidak boleh ada campur-tangan ini-itu!” ujar seorang di antara mereka. Aku mengenalnya sebagai sosok yang memang tak suka bernegosiasi. “Pokoknya Bapak teken saja selaku Bupati Bireuen! Bapak harus berpihak kepada kami, karena kami pendukung setia Bapak!” ujarnya masih dengan nada tinggi. Dalam hati aku tersenyum. Meloncat girang. Sambil membayangkan wajah staf bidang hukumku di kantor.

“Baiklah. Jika memang sudah demikian bulatnya mufakat di antara Bapak-Bapak sekalian, saya akan segera menerbitkan surat ini,” jawabku. Merekapun minta izin untuk kembali ke tempat masing-masing. Wajah mereka tampak puas oleh jawabanku. Mereka tak tahu, aku lebih girang dalam hati. Kuantar mereka hingga teras. Terdengar celetukan dan tawa yang timbul di antara percakapan mereka sambil menuju 3 unit mobil yang terparkir di halaman.

Esok harinya, aku datang lebih pagi ke kantor. Jam dinding di kantor menunjukkan angka 7:15 WIB. Menitipkan pesan pada sekretaris untuk memerintahkan Ma’un menghadapku saat ia tiba. 30 menit kemudian sebuah ketukan di pintu ruang kerjaku menandai kedatangan Ma’un. Ia tampak kikuk. Tipikal para birokrat. Parasnya menduga-duga, “Apa salahku?”

“Bagaimana? Apa kabar hari ini?” ujarku mencairkan kikuknya.
“Biasa, Pak. Saya sehat. Bagaimana dengan Bapak?” jawaban bersambung tanya.
“Baik,” jawabku singkat. Kubentangkanlah cerita kunjungan para tokoh masyarakat dan ulama ke Meuligoe tadi malam. Tiap detail kuurai tuntas dan kuakhiri dengan menyodorkan lembar berisi 14 poin itu. Ia menerima dengan takzim, bahunya melengkung dengan tangan bertele di meja. Membacanya perlahan. Tak sampai 5 menit, ia tersenyum. Lantas tak mampu menahan tawa.

“Teken saja, Pak” ujarnya dengan mimik geli. “Tidak ada dampaknya bagi Bapak. Mereka minta itu diterbitkan dan menolak diundangkan melalui qanun kabupaten. Itu kabar baik. Bapak tidak akan bergesekan dengan para pemilik hak pilih,” urainya.

“Bagaimana dengan reaksi masyarakat?” tanyaku memancing penjelasan yang lebih yuridis dari mulutnya.

“Itu serahkan saja pada para artis-medsos. Apapun peraturan yang diterbitkan, selalu akan ada pro dan kontra. Bapak tak perlu lelah menghadapinya. Maksud saya, jika memang begitu tuntutan para tokoh masyarakat dan ulama. Biarkan saja kontroversi berkembang. Kita jadi penonton saja,” paparnya.

Aku manggut-manggut mendengar jawabannya. Memang tak salah aku merekrutnya. Aku mengenal Ma’un dari kedua orangtuanya. Mereka sudah pusing dengan prilaku anaknya yang malas kuliah dan menyerahkan anaknya itu kepadaku. Hubungan kekerabatan dan persahabatanku dengan orangtuanyalah yang membuat aku memasukkannya ke dalam tim sukses. Meski saat kuliah kerap cabut dari kelas, selalu mantap.

Ia paham betul kapan mesti bertindak taktis dan strategis. Darinyalah aku paham bahwa hukum adalah politik yang sesungguhnya. Darinya juga kudapat saran, “Biarkan orang mengalami sensasi kemenangan dalam sebuah kekalahan palsu atas diri kita!” ujarnya saat aku merasa kalah di ranah opini publik suatu kali.

Meski kerap menggunakan pandangan legal yang penuh intrik dari Ma’un, aku jarang memujinya. Harus tetap ada jarak di antara kami. Begitupun dengan pendapatnya hari ini. Kuselipkan kesan ragu atas pandangannya sebelum memerintahkan ia meninggalkan ruang kerja.

“Saya masih ragu dengan pandangan kamu, ‘Un,” ujarku, “Bagaimana dengan dampaknya pada perputaran roda ekonomi?” lanjutku.

“Pak, berapa PAD Bireuen? Berapa persen PAD yang berasal dari café, warung kopi dan restoran?” ia mengajukan pertanyaan retoris. Kupertahankan ekspresi agar tak memberi kesan bahwa aku baru menyadari apa yang ia ungkap dalam pertanyaan retorisnya itu.
“Baik. Nanti saya diskusikan dengan kepala biro hukum dan Sekda,” ujarku. Sengaja kuberi tekanan pada ‘kepala biro hukum’ dan ‘Sekda’ agar ia merasa bangga, mengetahui dirinyalah yang pertama kumintai pendapat. Benar saja. Sebentuk binar muncul di wajahnya. Ketidakmampuan mengendalikan ekspresi wajah adalah kelemahan terbesarnya. Jika ia mampu menguasainya, aku bakal berhadapan dengan lawab berat dalam Pilkada.

Tepat pada tanggal yang tertulis di surat. Aku menandatangani 14 tuntutan itu. Menambahkan stempel sebagai pelengkap. Kuperintahkan sekretaris menggandakan dan meneruskan perintah penyebaran ke setiap warung kopi dalam wilayah Bireuen. Malam harinya kuundang Ma’un ke Meuligoe untuk makan malam, usai makan kami ngobrol.
“Bagaimana reaksi warga medsos?” tanyaku.

“Wah… rame, Pak. Mereka udah mulai memaki, menghujat. Orang yang cerdas berkomentar seperti kehilangan akal, orang yang bodoh macam bensin tersulut api,” paparnya dengan wajah ceria. “Malah kabarnya ada mahasiswa yang gagal sidang karena tak sempat menuntaskan skripsi,” tambahnya.

“Lho… kenapa bisa begitu?!” tanyaku penasaran.
“Sebab deadline penyerahan skripsinya tinggal 3 hari, sementara dia lebih sibuk bereaksi di medsos ketimbang menuntaskan skripsinya!” ujarnya dengan paras nakal.
Kami berdua terbahak sambil menepuk-nepuk perut yang kenyang.
“Lalu siapa lagi?” tanyaku.
“Macam-Macam, Pak. Aktivis lingkungan sampai tukang sabung ayam, dari aktivis HAM sampai kuli bangunan, anggota dewan sampai dedek-dedek gemes, aktivis perempuan sampai perias pengantin, artis lokal, akademisi. Pokoknya macam-macamlah” urainya dalam satu napas.
“Itulah asyiknya memperhatikan orang-orang yang perhatiannya berhasil kita rebut,” ujarku.

“Betul, Pak. Suara Bapak untuk periode ke depanpun sudah aman!” celetuknya. “Parahnya lagi, mereka tak sadar, peraturan itu tak jelas kategorinya, qanun bukan, instruksi bukan, peraturan bukan, keputusan juga bukan…” pernyataan terakhirnya bikin aku tambah geli dan terbahak panjang.

“Kamu tahu bagian paling menarik dari lakon kali ini, ‘Un?” tanyaku.
“Mmm… menurut saya, reaksi orang dari luar Bireuen, Pak. Mereka cuma menganalisa dampak, tanpa sempat memikirkan sebab, apalagi motif!” jawabnya dengan wajah berbinar.

“Tepat!” ujarku tak mampu menahan puji. “Apalagi mereka sampai lupa, surat tak jelas itu tak ber-kop, tak berstatus aturan apapun!” ujarku sambil tak mampu menahan sensasi geli yang makin menggelitik di sekitar pinggang. Kami ngobrol hingga larut. Membahas kebodohan-kebodohan dari kepurapurabodohan yang terbit oleh secuil kuasa di antara stempel dengan jemariku.

“Menurut saya, permintaan paling lucu itu soal karaoke dan perselingkuhan,” keningku berkerut mendengar ungkapannya.
“Kenapa?” tanyaku.

“Mereka mengkhawatirkan perselingkuhan yang bermula di warkop atau café, sementara perselingkuhan langsung terjadi di kantor tak mereka pikirkan. Mereka mengkhawatirkan karaoke di warkop atau café, tapi tak sadar bahwa ‘karaoke’ di kantor lebih aman dari pantauan!” pungkasnya.

Kami terbahak lagi. Sepertinya semakin dibahas, semakin banyak sisi lucu dari surat aneh berbutir 14 itu. Malam itu adalah malam bersuasana paling cair dan hangat di antara aku dengan Ma’un. Kami lebih tampak seperti kawan SMA ketimbang atasan dengan bawahan. Untungnya ia tak sadar telah menerima banyak bonus sikapku malam ini.

Sebelum pulang, kuselipkan amplop hitam ke saku baju kokonya. Wajahnya tampak sumringah sebab merasakan tekstur yang lebih tebal dari amplop-amplop lain yang pernah kuberi untuknya. Kunanti ia menghilang dari pandang sembari memperhatikan gelombang Cinta di lekuk daun Anthurium hadiah seorang kolega di dunia persawitan.

*Masuk 2 Kepala adalah istilah dalam permainan batu dam (gaple’) di Aceh yang menjelaskan kemenangan pasangan yang berhasil mengungguli lawan dengan batu dam yang kedua sisinya sama dengan nilai di kedua ujung batu dam di atas meja. Pasangan yang masuk dengan status 2 kepala mendapat hadiah penggandaan poin.

 

Image Source:

  1. Image1
  2. Image2
  3. Image3
  4. Image4

Leave a Comment