Diyus

Mencari Fase Desentralisasi Ekonomi di Masa Lalu (Bagian Kedua)

Tulisan sebelumnya.

Seperti yang kujanjikan 2 hari lalu, tulisan ini adalah bagian kedua dari tanggapanku terhadap karya Nona Fara yang berjudul Berkenalan dengan Sentralisasi dan Desentralisasi. Semoga dialog dalam bentuk tulisan ini dapat menyemarakkan diskusi wacana di antara kami berdua juga kita bersama di jagad Steemit ini. Kuharap respon ini tampil dalam ruang baca para steemian sebagai obrolan dalam bentuk tertulis semata. Tak lebih dari itu. Wacana yang kupaparkan juga bisa benar, bisa pula salah adanya. Baiklah, kulanjutkan pembahasan dengan mengutip paragraf kedua karya beliau:

Pertama sekali, sistem sentralisasi ini dipakai oleh negara Yunani dengan merujuk pada tatanan kerajaan yang sering kita dengar dengan sistem feudalisme. Pada sistem sentral ini kekuasaan hanya dipusatkan pada satu orang, dialah yang memiliki seluruh akses pada sebuah negara. Misalnya seperti penetapan hukum dan sistem pajak yang berlaku.

Penggunaan sistem sentralisasi juga tidak dilakukan pertamakali di Yunani. Jika Nona Fara bermaksud menyatakan bahwa sistem sentralisasi berkait erat atau sama dengan sistem monarki. Sistem monarki yang pertama tercatat berada di Mesir. Yunani menjadi tersohor karena mereka menuliskan dan mewariskan tulisan tersebut. Hingga ketika Eropa meninggalkan Abad Kegelapan, mereka menggunakan masa kejayaan Yunani sebagai acuan dengan istilah Renaissance (Abad XIII-XVII).

Feudalisme juga berbeda dengan monarki, ia berada mendahului monarki. Feudalisme yang ditandai kekuasaan para tuan tanah (baron) lebih dahulu ada, ketika masyarakat zaman dahulu menemukan teknologi pertanian dan peternakan. Saat mereka meninggalkan fase food gathering dan melangkah menuju fase food producing.

Fakta-Hipotesa-Sejarah yang paling menarik di fase ini adalah penemuan teknologi pertanian oleh kaum perempuan. Kaum perempuan mempunyai hambatan kodrati berupa menstruasi, mengandung, bersalin, nifas dan menyusui. Ternyata, hambatan kodrati tersebut membuat kaum perempuan memiliki kesempatan lebih banyak dalam berpikir dan memperhatikan sekitarnya.

Observasi iseng mereka menemukan bahwa biji-bijian yang dibuang sebagai sisa makanan bertunas, tumbuh dan berbuah. Mereka lantas menyampaikan temuan ini kepada kelompoknya. Lahirlah teknologi pertanian. Perlahan, kaum komunal primitif menapaki jenjang baru corak-produksi, pertanian; sektor awal yang menandai fase food producing.

Budidaya tanaman (pertanian) dari biji yang tumbuh di sekitar pemukiman (goa) adalah hal pertama yang mereka lakukan. Gagasan dan teknologi penangkaran hewan (peternakan) lahir kemudian, berdasarkan gagasan budidaya tanaman.

‘Jasa-Sejarah’ inilah yang membuat beberapa peradaban dunia menganggap suci dan meninggikan derajat kaum perempuan, bahkan menjadi landasan lahirnya konsep matrilineal. Bukti dari hipotesa-sejarah tersebut mewujud dalam penamaan para dewi di peradaban Mesir, Hindu dan Yunani. Nama-Nama seperti Bastet, Mut dan Isis (Mesir), Durgha, Lakshmi, Saraswati dan Sri (Hindu) serta Aphrodite, Artemis, Nemesis dan Rhea (Yunani).

Fase food producing juga menandai berkurangnya sebagian ketergantungan manusia terhadap alam. Corak produksi juga berkembang semakin kompleks. Sistem kepercayaan (agama), seni, pendidikan, hukum (legalitas formal), pajak, tulisan, alat tukar, profesi dan sektor jasa, militer, batas wilayah dan perbudakan lahir di masa feudalisme. Jadi, aku cuma hendak melengkapkan catatan Nona Fara dengan menunjukkan hipotesa-sejarah bahwa feudalisme dengan monarki berada di fase yang berdekatan, tetapi samasekali berbeda adanya.

Menurutku, selain revolusi industri, revolusi yang mengubah fase food producing menuju feudalisme adalah revolusi terbesar pertama yang dialami oleh peradaban manusia di masa lampau. Sebab, pada masa inilah manusia mulai beranjak dari kesederhanaan menuju kerumitan. Sistem hidup yang semula masih berada di tahap pemenuhan kebutuhan dasar, bertambah dengan kebutuhan tahap kedua berupa pendidikan, kepercayaan dan hiburan.

Jika kita meninjaunya dari sudut pandang masa kini, perubahan tersebut sebagai sesuatu yang sudah semestinya atau mungkin sudah biasa. Padahal, perubahan besar pada masa itu telah mengorbankan banyak nyawa dan kedaulatan. Kelompok manusia yang semula hidup bebas dari kepemilikan dan sentralisasi mengalami perubahan fundamental. Barang siapa yang tak mampu menguasai lahan (sebagai alat produksi), ia akan tergilas. Kedaulatannya akan terenggut oleh sistem perbudakan.

Di titik inilah desentralisasi menjelma perlahan menjadi sentralisasi. Di titik ini pula, kita mesti menandai fase perubahan struktur kekuasaan terhadap faktor produksi yang sejalan atau bertentang dengan premis: Demokrasi adalah desentralisasi.

Bayangkan, seseorang atau sekelompok masyarakat yang sedang nyaman menjalani pola hidup ‘memenuhi kebutuhan dasar’ dan melakukannya secara kolektif, saat itu mesti mengganti pola hidup mereka seketika. Perubahan sistem perkonomian (corak produksi) dan perkembangan alat produksi menjadikan peradaban baru yang berkembang saat itu menyesuaikan tatanan peradaban baru secara sporadis. Bentuk lebih maju dari tatanan politik (kekuasaan) yang mulai kompetitif dan penuh intrik untuk menguasai seluruh faktor produksi.

Manusia yang semestinya menundukkan dan mengatur alat, justru menjadi alat dari sistem ekonomi. Distorsi kemanusiaan dan (ironisnya) tatanan nilai (teologi, etika, estetika dan logika) tumbuh di masa ini. Beriring dengan bermulanya penghisapan manusia atas manusia oleh manusia. Sebuah fenomena hipotesa-sejarah yang mengingatkanku pada selarik syair lagu Hotel California (The Eagles – 1977):

‘we are all just prisoners here, of our own device’

“Kita semua cuma tawanan di sini, tawanan dari alat kita (yang kita ciptakan dan kita miliki)”

Lahan-Lahan perburuan yang semula bebas diakses terlah dibatasi kepemilikannya oleh para tuan tanah. Perburuan menjadi hal yang tak lagi bebas dilakukan seiring dengan berlakunya penetapan batas wilayah pertanian dan peternakan. Sedangkan di sisi lain, mereka mesti mengikuti tatanan baru yang mendikte kehidupan mereka dalam kekuasaan kepemilikan lahan oleh para tuan tanah.

Seperti sebelumnya, tulisan ini akan kulanjutkan lusa untuk membahas paragraf ketiga.

Bersambung…

Image Source:

  1. Image1
  2. Image2
  3. Image3
  4. Image4
  5. Image5
  6. Image6
  7. Image7

Leave a Comment