Diyus

Menulis dalam Formasi Perburuan Kutu Para Emak

Suatu malam, aku sedang menulis sebuah tulisan tentang tulis-menulis. Tanpa kusadari, saat aku sedang menulis tulisan itu, datanglah seorang kawanku yang benama Fadh. Ia pemuda yang berbakat mencipta lagu. “Apa yang sedang kau tulis, Gam?” tanyanya.

“Aku sedang menulis tentang kiat menulis,” jawabku singkat. Hatiku berharap agar ia tak bertanya lagi. Harapanku terkabul. Ia segera membuka tas dan mengeluarkan laptopnya. “Kalau ‘gitu, aku mau nulis jugalah…” ujarnya. Tak sempat kutanggapi ucapan terakhir yang memang tak butuh afirmasi itu.

Padahal, bisa saja Fadh malam itu menulis lagu, atau menyanyikan lagu ciptaannya. Meski tak terlampau ganjil juga kalau ia memilih menulis. Meski penasaran, kusimpan rasa itu dalam hati. Nanti akan kutengok apa tulisannya ini malam.

Beberapa menit kemudian Alam tiba. Ia paling tahu aku tak suka ditegur saat menulis. Sebab itu, ia mendekati Fadh. “Apa yang kau tulis, Gam?” tanyanya pada Fadh.

“Lihat aja sendiri,” jawab Fadh. Sepintas sempat kulirik tampang nakal saat ia menjawab pertanyaan alam. Aku makin penasaran tentang apa isi tulisannya. Tapi tetap kutahan. Mesti kutunggu selesai kiat menulis yang sedang kutuliskan di laptop berusia 6 tahun ini.

Sempat kulemparkan selirik pandang sekali lagi. Kutengok wajah si Alam riang, macam orang sedang menahan ledak tawa. Alam adalah lelaki yang berbakat juga. Ia paling pintar merayu perempuan. Entah mengapa, ini malam ia tak melajukan bakatnya. Iapun mengambil lapak di seberang meja berkursi 6, meja yang dari tadi menjadi landasan laptopku. Iapun membuka tas dan mengeluarkan laptopnya. Sepintas sempat kulirik tampangnya yang tenang tapi terkesan dibuat-buat. Seperti ada sesuatu yang ditahannya. Mimik yang menambah kental penasaran dalam hatiku.

Kerjasama lintas-gerbong benak

Ketika kami bertiga tengah menulis, datanglah Reza. Entah apa sebab, ia tak berupaya menegur aku dan si Fadh. Ia lebih memilih mendekati Alam. “Apa yang kau tulis?” tanya Reza pada Alam.

“Kau tengok aja sendiri…” jawabnya dengan nada menggantung. Reza yang sedang suntuk dan penasaran mendekati Alam. Ia terkikik. Alam menyambutnya dengan menutup mulut, tak mau terlalu riuh bersuara. Reza yang sesungguhnya berbakat melukis itu, malam ini lebih memilih mengeluarkan laptop dari tasnya. Memasang wajah berhias tawa tertahan, ia mulai mengetikkan sesuatu di laptopnya. Entah sedang googling atau menulis. Aku tak berupaya memikirkan lebih jauh, apa sebab ia tak menyalurkan bakatnya ini malam. Kubiarkan mereka terhanyut. Suara tuts bersahutan. Tiap kami menulis seperti kerasukan. Terkadang berjeda panjang, terkadang gemuruh ruang ini oleh berpadunya suara ‘papan kunci’ di hadapan masing-masing.

Saat kami berempat tengah mencapai ekstase, muncullah lelaki kelima. Marwan namanya. Lelaki berbakat memancing. Ia betah berada di laut hingga berminggu-minggu berburu tuna. Ia tak berkata apapun. Mendekati kami begitu saja, melihat isi ketikan di layar laptop kami satu demi satu cengar-cengir sendiri dan duduk mengisi kursi kelima. Ia mulai mengetik. Sepertinya ia mengumpulkan seluruh kemabukan kami malam itu. Kemabukan yang menggaungkan suara tuts papan ketik di laptop menuliskan pikiran masing-masing.

Tulisanku hampir selesai saat Marwan membuka tas dan mengeluarkan laptopnya. Menancapkan steker ke stop-kontak dan menekan tombol daya di laptopnya. Ia mulai menulis. Padahal, semestinya ia berburu tuna malam ini. Langit dan laut sedang cocok untuk melaut, itupun kutau sebab ia pernah menjelaskan tatacara melaut dengan landas perhitungan keuneunong. Entah kenapa pula ia lebih memilih singgah kemari dan turut menulis pula. Tulisan telah berakhir. Aku meregangkan bahu dan pinggang. Suara gemeretak keluar dari tiap sendi yang kulentingkan. Bangkit dan beranjak menuju orang terakhir yang tiba ini malam, Marwan. Juntai kabel headset menggelayut di kedua telinganya. Ia tak memperhatikan tindak-tandukku. Kubaca tulisannya, karya pamungkas malam ini yang bikin aku ngakak tak henti. Berikut isinya:

Ketika aku tiba di markas kami, 4 orang kawanku sedang menulis. Kubacai tulisan di layar laptop masing-masing. Orang pertama bernama Diyus. Ia tengah menulis tentang kiat menulis. Di sampingnya duduklah Fadh, entah kebodohan macam apa yang tengah singgah di otaknya, ia ternyata sedang menuliskan si Diyus yang sedang menulis tentang kiat menulis.

Orang ketiga, si Alam tak kalah dungu, ia menulis tentang si Fadh yang sedang menulis tentang si Diyus yang sedang menulis tentang kiat menulis. Beringsutlah aku menuju orang ketiga, si Alam. Kupikir yang paling waras di antara mereka.  Ternyata aku salah kira. Si Alam sedang menuliskan aktivitas si Fadh yang sedang menuliskan aktivitas si Diyus yang sedang menulis tentang kiat menulis.

Meluncurlah aku ke arah si Reza. Dialah harapan terakhirku tentang kewarasan yang masih tersisa di antara mereka berempat. Tapi apa hendak kukata, ternyata dia yang paling gila malam ini. Sebagai harapan terakhirku atas tersisanya kewarasan di antara mereka berempat, ternyata si Reza malam merangkum tulisan 3 orang sebelumnya yang menuliskan aktivitas orang yang pertama tiba. Orang ‘yang kemudian’ menuliskan orang ‘yang sebelumnya’.

Wabah dungu macam apa yang merasuki mereka berempat malam ini? Akhirnya, di situasi segila ini, tak elok kalau aku menjadi satu-satunya orang yang waras di sini. Seorang waras di antara 4 orang gila akan tergusur di negara negara demokrasi. Maka, kuputuskanlah saja untuk menjadi yang paling gila di antara mereka dengan merangkum seluruh kegilaan ini. Kutulis saja bahwa si Diyus sedang menulis tentang kiat menulis, Fadh yang datang sesudahnya menulis bahwa si Diyus sedang menulis tentang kiat menulis, Alam yang datang sesudah Fadh menulis bahwa si Fadh tengah menuliskan tentang si Diyus yang sedang menulis tentang kiat menulis, juga si Reza yang menuliskan tentang aktivitas si Alam yang sedang menuliskan aktivitas si Fadh yang menuliskan aktivitas si Diyus menulis tentang kiat menulis.

Mana mau aku kalah gila dengan mereka. Sebagai orang yang paling akhir tiba, kuputuskan merangkum kesintingan mereka dan mencuri gelar jawara gila malam ini menjadi milikku. Kuharap saat tulisan ini terposting di steemit nanti, ada orang yang lebih gila lagi dari kami, yang bersedia membaca tulisan ini hingga tuntas. Agar kegilaan macam ini tak berhenti pada kami berlima.

Sumber Foto: 1, 2


Leave a Comment