Prabowo Subianto mengutip novel sejarah (?) Ghost Fleet yang meramalkan Indonesia bubar pada 2030 ketika menghadiri bedah buku ‘Nasionalisme Sosialisme dan Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Soemitro Djojohadikusumo’ pada 18 September 2017 di Auditorium Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Depok.
Lalu, seperti biasa, media sosial jadi ramai dan berisik. Ada yang mencela mantan Danjen Kopassus itu, ada pula yang membelanya. Begitulah, netizen hanya butuh pemicu dan percikan api akan muncul dengan sendirinya. Tak peduli apakah itu pidato lama atau baru (baru bocor ke publik). Di Indonesia menggoreng isu sama enaknya dengan menggoreng ikan!
Mantan calon presiden itu kemudian membela argumentasi yang dipinjamnya dari dua ahli strategi Amerika Serikat, penulis karya fiksi itu, bahwa ramalan itu tak boleh dipandang angin lalu saja. Kalau tidak berhati-hati, Indonesia akan mengikuti jejak Yugoslavia atau Uni Soviet.
Muncul pertanyaan kemudian, apakah sebuah novel bisa menjadi pegangan dalam melihat sebuah realitas, terutama untuk mempercayai ramalan runtuhnya sebuah negara?
Sebuah novel tetaplah sebuah novel. Ia sebuah karya fiksi dan ditulis semata-mata berdasarkan khayalan penulis. Memang banyak hadir novel bertemakan sejarah: ada yang berisi rekaman suatu peristiwa, ada juga yang mengisahkan kehidupan seorang tokoh berpengaruh. Namun, cerita di dalamnya dibumbui dengan unsur fiksi. Memang secara sekilas kita seperti membaca buku sejarah atau biografi, tapi itu benar-benar karya fiksi.
Beberapa contoh novel berlatar sejarah, misalnya, Cut Nyak Dhien oleh M.H Skelely Lulof; Perempuan Keumala oleh Endang Moerdopo; Napoleon dari Tanah Rencong karya Akmal Nasery Basral; Saksi karya Seno Gumira Adjidarma; Trilogi Imperium, Conspirata, dan Dictator (novel tentang kisah hidup ahli retorika Romawi Cicero) ditulis oleh Robert Harris, atau Genghis Khan ditulis oleh Sam Djang.
Membaca novel-novel tersebut sungguh laksana kita membaca buku sejarah, lantaran data, nama tempat dan tokoh dalam novel tersebut mengandalkan fakta dan dokumen sejarah. Nama-nama tokoh, tempat dan setting kejadian bukan hasil reka penulis, melainkan benar-benar ada dan pernah terjadi.
Nah, tak ayal kehadiran novel berlatar belakang sejarah ini memancing perdebatan lama tentang nilai sejarah yang menempel pada sastra. Hal ini mengundang pertanyaan, mungkinkah novel sejarah dapat menjadi rujukan?
Dan, seperti biasanya muncul dua pendapat yang saling berlawanan: satu membela dan satu lagi mencela. Satu pihak menganggap bahwa bisa saja sastra dijadikan sebagai dokumen atau sumber sejarah. Satu pihak lagi berpendapat bahwa sastra tidak dapat dijadikan sumber sejarah.
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam, misalnya, berpendapat sastra tidak dapat dijadikan sumber sejarah. Alasannya, kata dia, zaman sekarang sebagian orang tidak lagi memandang sastra sebagai kajian estetika secara otonom. Sejarah dan sastra dalam penilaiannya sama-sama imajinatif.
Asvi menjelaskan, sejarah dibangun dan disusun atas berbagai teks yang masing-masing menyusun versi tentang kenyataan. Hubungan antara karya sastra dan “sejarah”, menurut hematnya, adalah kaitan intertekstual di antara berbagai teks (fiksi maupun faktual) yang diproduksi pada zaman yang sama atau berbeda.
Begawan ilmu sejarah, Kuntowijoyo, menganggap sejarah dan sastra berbeda dalam hal: cara kerja, kebenaran, hasil keseluruhan, dan kesimpulan. Menurutnya, sastra adalah pekerjaan imajinasi di mana kebenaran berada di tangan pengarang alias bersifat subjektif. “Sastra bisa berakhir dengan pertanyaan, sedang sejarah harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya,” kata dia.
Pun demikian, tak sedikit pihak yang memandang sah saja jika sastra dijadikan sebagai rujukan sejarah. Pegiat sastra, Misbahus Surur, dalam sebuah kolomnya di Jawa Pos menulis, bahwa karya sastra bisa menjadi rujukan sejarah. Syaratnya, kata dia, sastra harus bisa membuktikan dirinya sebagai ilmu yang bukan hanya bicara persoalan kreativitas dan rentetan imajinasi, tetapi dapat pula berfungsi sebagai dokumen sejarah.
Terlepas dari perdebatan tersebut, kita menangkap adanya kerancuan dalam hal penggunaan istilah novel sejarah. Seperti sudah dipaparkan di atas, novel dan sejarah merupakan dua hal yang berbeda. Novel adalah sebuah karya fiksi, sementara sejarah adalah peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau.
Istilah novel sejarah dapat membuka peluang terjadinya kesalahpahaman seperti dalam kasus Prabowo. Kita sangat takut ketika orang-orang akan menganggap novel sebagai buku sejarah, padahal novel hanyalah sebuah karya fiksi sekalipun ditulis dengan bersandar pada fakta sejarah.
Ini pula yang ingin dihindari oleh Azhari Aiyub, penulis novel Kura-kura Berjanggut. Ia tak mau novelnya dibaca sebagai novel sejarah!
Source:
– Asvi Warman Adam, Sastra Sejarah: Imajinasi yang Terus Bertanya, Kompas, Sabtu, 22 Desember 2007
– Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, LKIS Yogyakarta, 1995
– Misbahus Surur, Mengais Realitas dalam Novel Sejarah, Harian Jawa Pos, 30 Maret 2008
1 thought on “Novel Sejarah dan Rancunya Sebuah Istilah”