Ho Chi Minh City

Taufik Al Mubarak

Once Upon a Time in Ho Chi Minh City (2)

Kali ini aku kembali menulis tentang Ho Chi Minh City sebagai kelanjutan dari tulisan sebelumnya, One Upon a Time in Ho Chi Minh City. Kalian bisa membacanya di sini. Terus terang aku suka dengan kota yang dulunya bernama Saigon ini, suka dengan grafiti di tembok-tembok kota yang menggambarkan betapa patriotiknya masyarakat yang tinggal di sini.

Dan kalau nantinya harga SBD kembali naik, aku akan berkunjung lagi ke Ho Chi Minh, kota yang sedikit bising tapi asik. Warganya sangat ramah dan senang membantu. Sekali kita sudah dekat dengan mereka, maka kita akan dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka. Di kala perang, soal kekeluargaan ini sangat kental sekali. Mereka, tua-muda, laki-perempuan, saling bantu-membantu mengusir Amerika dari tanah mereka. Di kalangan pejuang, mereka kerap memanggil para pejuang lain sebagai ‘my family’. Kata-kata ini bakal lebih sering kalian dengar dari para guide seandainya berkesempatan berkunjung ke Cu Chi Tunnel, kawasan wisata yang berupa terowongan yang dulunya digunakan oleh gerilawan Vietkong.

Mental sebagai warga pemenang perang ini aku lihat sendiri ketika berbelanja di Ben Thanh Market, sebuah pasar tradisional yang banyak menjual souvenir untuk pelancong. Pasar ini letaknya sangat strategis karena berada di Distrik 1 dan di tengah kota. Bagi kita yang nantinya memilih berjalan kaki di Ho Chi Minh City akan lebih sering melewati pasar ini.

Di pasar mana pun, kita sebagai pembeli boleh menawar harga. Namun, di Ben Thanh Market, kita hanya boleh menawar dua kali. Jangan pernah merasa ‘pembeli adalah raja’ di pasar ini. Seorang temanku sempat terlibat tawar-menawar harga di salah satu gerai di dalam pasar ini. Si penjual menyodorkan kalkulator yang di layarnya sudah tertera berapa harga untuk satu jenis barang, dan temanku kemudian menghapus angka yang tertera itu lalu mengetik angka lain. Sang penjual tersenyum dan kembali menulis harga yang dapat mereka kasih. Sekali lagi temanku mengetik harga yang diinginkannya. Penjual itu menggeleng, mengambil kalkulator dari temanku dan barang yang dipegangnya. “Go there,” kata penjual menunjuk pintu keluar yang bertulisan exit.

Kejadian begitu sempat beberapa kali aku saksikan di sana, dan kadang-kala menimpa pembeli bule. Kita bisa merasakan betapa tidak berharganya kita sebagai pembeli ketika diusir dengan cara demikian. Tampak sekali mereka tidak membutuhkan pembeli, karena merasa kalau kita tidak jadi membeli barang itu bakal ada pembeli lain yang akan membelinya. Namun, ada gerai yang sudah memasang harga yang pas dan kita tidak boleh menawar lagi.

Kejadian itu sama sekali tidak membuatku jera untuk kembali berkunjung ke sana. Sebagai kota yang ramai dikunjungi turis, wajar saja mereka bertindak demikian. Aku sendiri punya pengalaman lain yang membuatku percaya bahwa penduduk Ho Chi Minh itu ramah-ramah. Keramahan ini tak hanya aku lihat dari pengelola hostel tempat kami menginap, tetapi saat aku tersesat di kota ini.

Ya, aku pernah sekali tersesat di kota ini, sendirian. Ceritanya, seusai salat Ashar di Masjid Ar-Rahim, sebuah masjid yang dibangun atas donasi dari Malaysia dan Indonesia, teman-temanku memilih beristirahat di masjid ini. Setelah berkeliling seharian kami semua sudah lelah. Ketika hendak pulang, kami memilih salat Ashar di masjid itu. Seusai salat, mereka mencoba rebahan, dan akhirnya tertidur. Aku sendiri tidak bisa tidur. Aku pamit mau beristirahat di hostel dan juga mandi, juga sekalian untuk mengisi daya Hp.

Sebelum pulang aku download peta offline biar tak tersesat di jalan. Sialnya baterai Hp hanya tersisa kurang dari 10 persen. Aku sempat cemas juga. Dengan langkah santai, seolah-olah sudah hafal semua jalan di Ho Chi Minh City, aku pulang ke hostel. Petunjuk di peta, untuk sampai ke hostel hanya butuh waktu 15 menit jalan kaki. Setelah berjalan lama, aku merasa makin jauh dengan hostel. Bahkan, sempat satu kali aku balik lagi ke tempat semua. Di sepanjang jalan, aku beberapa kali bertanya pada orang yang aku jumpai, dan semua mereka menunjuk jalan mana yang harus aku lalui. Sial, aku semakin tersesat.


Pernah sekali aku bertanya pada seorang petugas Satpam sembali menunjukkan alamat yang aku tuju di Google Maps, dan dia menuntun jalan mana yang perlu aku lewati berdasarkan peta offline ini. Meskipun begitu, aku belum juga sampai di tujuan. Hingga, aku bertanya pada seorang pria yang kutaksir berumur 45 tahun, yang siap-siap menghidupkan sepeda motornya. Saat itu dia bersama seorang anak kecil. Aku beranikan diri bertanya padanya, dan mengatakan bahwa baterai Hp-ku mau drop. Dia mencari alamat yang ingin aku tuju melalui handphone miliknya, dan segera memberitahuku jalan mana yang harus aku ambil.

Aku mengikuti petunjuk darinya bahwa alamat yang aku tuju tidak jauh lagi. Setelah mengucapkan terima kasih, aku pun berjalan menyusuri blok demi blok. Dan, hostel yang aku tuju tidak ketemu juga. Sesaat setelah aku pergi, si orang Vietnam itu memperhatikan. Dan, dia mengikuti dari belakang. Lalu, dia menawarkan diri untuk mengantarku ke hostel tempat aku menginap. Ketika itu aku sempat was-was juga, bagaimana kalau sekiranya aku diculik. Atas dasar apa? Uang yang aku bawa tidak banyak dan aku sama sekali tidak terlihat sebagai pelancong kaya.

Rupanya dia benar-benar membantu. Aku senang juga karena tidak perlu lagi was-was baterai Hp tidak cukup. Karena si kawan itu mencari alamat hostel aku menginap menggunakan Hp miliknya. Entah salah ketika mengetik nama hostel di pencarian Google Maps, sehingga kami salah jalan, dan masuk ke sebuah komplek yang sama sekali tidak mirip lokasi hostel berada. Aku katakan padanya nama hostelnya, dan sekali lagi dia mencarinya. Alhasil, aku diantarnya tiba di hostel yang kutuju. “Your hostel is here,” katanya menunjuk pada papan nama hostel. Aku ucapkan terima kasih padanya. Ingin rasanya aku ajak selfie sama dia, tapi baterai Hp-ku sedang drop.

Kota Sepeda Motor
Di Phnom Penh, kita lebih banyak melihat tuk-tuk (alat transportasi becak mesin) dan mobil mewah Lexus lalu lalang di jalan. Namun, begitu tiba di Ho Chi Minh City, kita bakal melihat banyak sepeda motor. Ya, Ho Chi Minh dikenal sebagai kota sepeda motor. Di jalan-jalan di kota Ho Chi Minh, para pengendara sepeda motor adalah raja.

Aku sempat melihat bagaimana berkuasanya mereka di jalan raya seusai kemenangan tim U-23 Vietnam melawan Qatar dalam drama adu penalti 4-3. Jalanan penuh dengan para pengendara sepeda motor yang membawa bendera nasional Vietnam. Di setiap persimpangan jalan atau di lampu merah kita menemui mereka. Namun, mereka tidak menerobos lampu merah sesuka hati, dan sama sekali tak merasa berkuasa karena surplus jumlah. Di Ho Chi Minh City, masyarakatnya sangat taat pada rambu lalu lintas.

Seorang tour guide di sana memberi tahu kami, bahwa jumlah penduduk Ho Chi Minh kini berjumlah sebesar 14 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, setengahnya memiliki sepeda motor di rumah. Artinya, ada sekitar 7 juta sepeda motor di Ho Chi Minh. Jangan heran jika di jalan-jalan kita lebih banyak melihat pengendara bersepeda motor dibanding mobil. Karenanya, para pejalan kaki harus berhati-hati ketika memotong jalan. Sedikit lengah, bisa-bisa kita menjadi korban tabrakan.

Para pengendara di sana taat pada rambu-rambu lalu lintas. Mereka tidak mencoba-coba menerobos lampu merah. Namun, begitu lampu hijau menyala, mereka tampak seperti baru saja dikejar hantu. Di setiap traffic lightm aku melihat sepeda motor tampak lebih banyak dibanding mobil. Antrean sepeda motor bahkan bisa cukup panjang, namun mereka akan berhenti ketika lampu merah kembali menyala.

Aku sempat menghitung berapa lama lampu menyala, dan itu tidak lebih dari 30 detik. Jumlah 30 detik itu aku lihat di beberapa traffic light, dan sepertinya 30 detik adalah angka standar di setiap lampu merah. Bandingkan dengan di tempat kita, ada yang mencapai 160 detik! Dan, sialnya, di tempat kita tetap macet. Dan orang masih nyaman mengemudi atau pengendara memacu motornya dengan kencang sekali pun lampu sudah kembali merah!


Leave a Comment