Ho Chi Minh City

Taufik Al Mubarak

Once Upon a Time in Ho Chi Minh City

Tanggal 22 Januari 2018. Kami (Aku, Riadi dan Nabil) tiba di Ho Chi Minh City pada pukul 21.00 setelah menempuh 6 jam perjalanan darat dari Phnom Penh, Kamboja. Menuju kota yang dulunya bernama Sai Gon itu, kami menggunakan moda transportasi berupa bus, yang bentuknya sangat mirip dengan Robur yang melayani rute Kota-Darussalam, saat aku masih menjadi mahasiswa di Darussalam.

Di kota di mana Amerika kalah perang ini, hal pertama yang kami lakukan adalah mencari kartu Internet. Alasannya bukan untuk browsing, tapi dengan adanya koneksi internet memudahkan kami mencari lokasi hotel tempat kami menginap. Sebenarnya, selama dalam perjalanan, @riadi sudah menandai lokasi hotel yang sudah kami booking sejak masih di Phnom Penh. Kami memanfaatkan koneksi internet dari kartu MetFone yang kami beli sewaktu di Siem Reap, dan koneksinya baru terputus ketika kami memasuki perbatasan Vietnam.


Setiba di Ho Chi Minh, kami turun pas di Pham Ngu Lao Street, yang dikenal sebagai kawasan turis. Dari tempat pemberhentian bus, kami hanya perlu berjalan kaki sejauh 50 meter ke jalan yang ramai dilalui turis. Di kawasan ini kami menjumpai banyak agen travel dan toko yang melayani pembelian tiket, simcard serta penukaran uang. Vietnam berbeda dengan Kamboja, karena di sini dollar bukan mata uang yang bisa digunakan sebagai alat pembayaran.

Seusai mendapatkan kartu internet, mulailah kami mencari posisi hotel tempat kami menginap. Letaknya tidak jauh dari lokasi kami membeli simcard. Hanya perlu berjalan kaki melewati beberapa gang sempit yang di kiri-kanan berjejer tempat message, kami tiba di hotel. Sebelum tiba di hotel yang dituju, perjalanan kami beberapa kali terhenti karena ditarik-tarik oleh wanita berbaju menor dengan rok di atas lutut, di mana aroma parfum dari tubuh mereka begitu menyiksa.

Malam pertama di Ho Chi Minh City, kami menginap di Legend Hotel Saigon. Ini lebih mirip rumah yang sudah disulap jadi tempat penginapan. Di hotel ini kami memesan kamar, di dalamnya terdapat satu ranjang kecil dan satu lagi ranjang untuk dua orang. Harga kamar per malam di hotel ini sekitar 30 dolar. Sengaja kami memesan kamar agar bisa beristirahat dengan tenang. Rencananya, kami akan berada di Ho Chi Minh City selama tiga hari.

Namun, hanya satu malam saja kami menginap di hotel ini. Hal itu bukan karena harganya yang sedikit mahal untuk backpaker melainkan ingin mencari suasana berbeda. Pagi hari ketika keluar mencari sarapan, kami langsung check-out dan mencari penginapan lain. Kami mengandalkan review dari TripAdvisor saat mencari tempat menginap. Ketemu. Central Saigon Hostel. Pengelola hostel ini cukup ramah. Di sini, kami menginap selama dua malam.

Imigrasi Vietnam
Bagi orang yang sering bermasalah ketika di imigrasi, masalah ini tentu saja perlu mendapat perhatian khusus. Saya sendiri kerap kali mendapati banyak masalah saat di imigrasi, baik itu karena kendala bahasa maupun soal kelengkapan dokumen. Aku ingat pengalaman sewaktu berada di imigrasi Singapura tahun 2009 silam. Gara-gara menggunakan paspor baru, aku cukup lama menjalani pemeriksaan dokumen, bahkan hampir ketinggalan kereta.

Lalu, bagaimana kami melewati pemeriksaan di Imigrasi Vietnam? Baru kali ini aku mengalami pemeriksaan yang lancar jaya, dan itu terjadi di imigrasi negara komunis pula. Proses kami keluar dari Kamboja, cukup mudah. Kami tidak ditanyakan macam-macam. Kertas pemeriksaan yang ditempel di paspor saat kami masuk Kamboja di Bandara di Siem Reap dicabut, dan tidak ditanyakan apa-apa. Malah, petugas di imigrasi tampak cuek, tidak begitu memperhatikan kami.

Hal yang sama juga terjadi ketika kami tiba di Imigrasi Vietnam. Kami memasuki bagian paspor control tanpa memegang paspor. Kok bisa? Ya, karena kernet bus yang kami tumpangi sudah lebih dulu mengambil paspor kami semua. Dia yang menyerahkan semua paspor kami pada petugas pemeriksaan. Dan, kami disuruh mengikuti dia saat melewati imigrasi. Paspor kami diperiksa satu persatu, sementara kami menunggu giliran dipanggil untuk mengambil paspor. Benar saja, kami tidak ditanyakan apa-apa. Aku sempat heran, kenapa prosesnya begitu mudah dan lancar. Jawabannya aku dapatkan sewaktu keluar dari pintu keluar imigrasi.

Tak hanya pemeriksaan paspor yang lancar. Proses scanning barang bawaan kami di sana juga lancar saja, tidak seketat di KLIA, Malaysia. Di meja dekat pintu keluar, tak jauh dari bagian pemeriksaan barang, seorang petugas duduk di sana. Dia asik bermain Hp. Ketika aku hendak keluar, dia minta paspor. Setelah dilihat sebentar, saya dipersilahkan keluar. Kenapa begitu lancar?

Aku yang masih berada di pintu sempat melihat kernet bus yang berpakaian rapi memasukkan sesuatu ke dalam laci petugas yang sedang duduk di meja itu. Aku sempat melirik sebentar. Namun, karena petugas berpakaian militer tampak sedikit sangar, aku memilih bermain aman: cepat-cepat keluar dari situ. Sebelumnya sempat juga kulihat di bagian pemeriksaan paspor dan sewaktu keluar dari imigrasi Kamboja. Rupanya pungli masih menjadi mainan banyak orang, dan anehnya hal itu aku temukan di Ho Chi Minh City, salah satu kota terbesar di negara komunis Vietnam. [bersambung]


3 thoughts on “Once Upon a Time in Ho Chi Minh City”

Leave a Comment