Pasar

Diyus

Jalan becek di gang-gang sempit. Orang-Orang yang berlalu-lalang beradu bahu untuk mencapai los-los atau gelaran lapak tempat mereka akan menemukan barang yang akan dibeli. Kadang untuk mencapainya tiap orang mesti terjebak kemacetan di pelataran parkir. Sebab, kerap kali ketika seseorang akan masuk, orang lain sedang akan keluar.

Meski suasananya kerap menyebalkan kala hati sedang tergesa dan hana mangat asoe, kepentingan untuk memenuhi kebutuhan memaksa kita untuk tetap berkunjung ke situ. Mencari sepotong lengkuas, seperempat kilo bawang putih, 100 gram bawang merah, 3 ikat bayam, cabe, minyak goreng bahkan sekedar secupak lada.

Lalulintas dan lalu-lalang para pedagang berpadu menjadi orkestrasi harian yang luput oleh pantau akal. Kerap kali aku abai tentang cerita yang melatari tiap orang. Seolah mereka cuma pemeran figuran dalam pagelaran lakon hidupku. Kuli panggul yang gajinya entah berapa, pedagang di lapak beralas terpal biru yang wajahnya penuh harap. Juga optimisme dalam percakapan mereka tentang berapa banyak barang yang akan laku dari lapaknya hari ini.

Tumpukan wortel menghadirkan nuansa orange, tomat dengan merah dan hijaunya. Juga sawi yang menghijaukan pandangan. Semuanya menjadi potret kerja keras tiap orang. Tak terkecuali warna kentang yang menghadirkan nuansa lusuh dan murung. Setiap benda di sana punya cerita, tak seperti aku yang kerap kehabisan cerita ketika berhadapan dengan keyboard laptop.

SONY DSC

Becak barang yang sampai besok masih memikul khittah untuk beroda tiga tengah mengangkut karung. Beberapa bagiannya yang robek menyembulkan cabe hijau dari karung putih berkapasitas 100 kilogram. Rodanya telah mengangkang kehilangan presisi catwalk saat mengangkut pesanan. Aroma amis dari los pedagang ikan membelai sel epitel silindris di rongga hidungku. Ah… ini bagian dari kerja panjang nelayan yang mempertaruhkan nyawa di meja judi samudra.

Belum lagi suaranya. Hingar. Berebut masuk ke dalam liang rungu menyentuh kohlea. Saking bisingnya, telingaku kadang berdenging oleh lengking sempritan tukang parkir. Perempuan-Perempuan perkasa yang bersimpuh. Juga lelaki digdaya yang tengah memanggul. Puitisme macam apa yang kurang di sini. Di mana lagi bisa kau temukan tempat suara, rasa, aroma, suhu dan vista berpadu di satu titik? Kapan engkau sungguh menyadari harmoni tengah berpadu-cumbu dengan distorsi?

Garis wajah yang kutemukan juga kerap serupa. Berhias gesa yang menggegas langkah, menimbulkan tatap tak sabar. Terbaca dari gerak tubuh yang condong ke depan saat melangkah. Terkadang mewujud menjadi ketukan tak sabar tapak kaki seperti drummer yang tengah menjaga ritme sebuah band.

Peluh mereka yang bening kerap tertindih debu dan karbon dari asap knalpot kendaraan. Seperti bening lain yang mudah ternoda. Buliran yang semestinya menjadi stempel paling sah dan tak terpungkiri bagi tiap rupiah yang mereka kais di tempat setiap hasil kerja keras dari penjuru negri ini berawal.

Ayunan cangkul dan keringat para petani memang tak hadir melengkapi. Tidak dalam wujud pertunjukan yang langsung. Namun, tanpa kenyataan peluh para petani, beserta ayunan cangkul dan tiap gumpal lumpur yang melekati di tangan dan kaki mereka, pelabuhan komoditas ini akan alpa dari kehadiran sayur-mayur dan bumbu rempah. Seperti ketidakhadiran air laut dan keringat nelayan sebagai sutradara ikan dan garam.

Belum lagi keragaman pakaian. Lusuh dan gemilang berpadu. Terutama para ibu yang kerap mengenakan sandang salah tempat. Mereka berkunjung kemari seperti akan pergi ke pesta kawinan. Lengkap dengan pupur riasan di wajah. Juga gincu yang membuat bibir tampah ranum merekah. Pemandangan yang berpadu kontras dengan sandal jepit pedagang yang telah terlalu pipih untuk bisa melindungi tuannya dari sebongkah batu sekalipun.

Mungkin ini satu di antara tak terhitung jumlah keajaiban harian yang kerap terabai olehku dalam memahami diri. Seperti ketidakhadiranmu yang selalu melingkup pikiran. Juga sajak-sajak yang makin menggelegak saat kita berjauhan seperti sekarang. Bahwa tanpa hadirmu, aku dapat mencecap nikmat rindu yang telah kukecualikan dari monopoli Dilan. Kasih, lumatlah aku sepenuh gemas saat sua bertaut. Berjanjilah!

PS: Tulisan ini kubuat untuk belajar mengembangkan 1 kata sebagai tema dan judul tanpa menyebutkannya dalam isi.

Sumber Gambar:

  1. Gambar1
  2. Gambar2
  3. Gambar3
  4. Gambar4
  5. Gambar5

Leave a Comment