Diyus

Pawang Hujan dan PKA

Apakah pawang hujan terlibat dalam pelaksanaan PKA? Bisa ya… bisa tidak…

Sebagai hal kontroversial, ia tentu bakal menjadi aib jika bertempat di Nanggroe yang tengah mempromosikan Syari’at Islam Versi Aceh. Kusebut demikian karena ada yang komplain dengan Syari’at Islam di Aceh dan membanding-bandingkannya dengan Syari’at Islam yang menurutnya lebih hakiki.

“Di Aceh itu bedaknya saja Syari’at, tingkahnya di belakang kebanyakan mengundang laknat!” demikianlah ungkap seorang lelaki yang tak ‘kan kusebut namanya itu. Bukan karena ia melarang, ia malah menyuruhku menuliskan namanya dan pakai silsilah 7 turunan segala.

Aku menolaknya. Ia marah. Biar saja. Aku tak peduli dengan marahnya, seperti banyak hal tak penting lain  yang tak kupeduli. Apa susahnya menambah ketakpedulian pada sebiji hal tak penting lagi?! Sebetulnya aku punya alasan rasional menolaknya, sengaja tak kujelaskan secara rasional karena ia juga sudah bersikap represif dan asertif soal peneraan namanya dalam tulisanku. Alasan paling rasional adalah, ini bukan karya jurnalistik. Aku tak mentahbiskan tulisan ini sebagai karya jurnalistik. Mengapa pula ada kemestian bagiku untuk menuliskan namanya sebagai rujukan?!

Alasan kedua adalah untuk menjamin keselamatan nyawanya. Masih banyak orang yang terlalu sensitif jika ada yang bicara gamblang dan benar soal Syari’at Islam. Sisi asyik Syari’at Islam Versi Aceh bakal tergerus ketika sisi benar dan ke-kaffah-an Syari’at Islam terungkap. Itu sebab, saat mengungkap sisi lucu dari Syari’at Islam di Aceh, aku menyebutnya Syari’at Islam Versi Aceh. Biar jelas. Kalaupun ada yang marah, itu cuma orang Islam yang ada di Aceh saja. Sekurang-kurangnya begitu.

Kawan satu itu juga pernah bilang, “Di Aceh, orang lebih suka Syari’at Islam secara ka pah ketimbang Syari’at Islam secara kaffah,” sungutnya di sebuah sore temaram.

Alasan penolakanku yang ketiga adalah situasinya yang sedang hendak menjadi calon anggota legislatif dalam ajang pemilu mendatang. Ini orang maunya gratisan saja. Padahal kalau dia pikir, berapa oranglah yang baca tulisanku di steemit?! Kenapa tak ia pesan sebuah tulisan dari para ghostwriter yang punya kemampuan menulis lebih mumpuni dari aku. Maka atas sebab itu, kuurungkan menulis namanya. Bahaya juga kalau para steemian Aceh menyebarkan namanya di dunia-maya-lain hingga dunia nyata. Nyawanya pasti bakal terancam. Juga reputasi yang telah ia susun sejak dahulu kala.

Maka, kuabaikan ucapannya soal Bedak Syari’at di Aceh. Meski dalam hati aku masih berpikir, pernyataannya bisa benar dan bisa salah. Pernyataan kawan yang satu itu memang cukup kupakai sebagai pembuka tulisanku ini saja. Imajinya cukup nakal dan kusuka. Namun sayang seribu kali sayang, ia terlalu dini masuk ke ranah politik praktis. Padahal, jika ia bersabar periode ini, potensi kemenangannya di periode selanjutnya akan meningkat. Ia punya sederet program membangun pemikiran dan penghidupan sekaligus.

Jadi, suatu kali ia pernah bilang, “Orang yang paling bahaya adalah orang kaya yang bodoh dan orang pintar yang terbeli, keduanya berpotensi menjadi budak!” Jenis keterbudakan yang paling berbahaya mengingat mereka tak sadar dan mencanduinya. Perbudakan tanpa rasa sakit, bahkan yang lebih berbahaya lagi, jenis perbudakan yang menyediakan segala perangkat penyedia kenikmatan sesuai dengan minat dan bakat tiap orang. Demikianlah cang-panah-nya suatu kali.

pawang hujanNah… hal itulah yang membuatku menghormatinya. Ia adalah orang yang telah tersadarkan sepenuhnya. Mengapa ia berani mengorbankan reputasi itu demi jabatan anggota dewan. Ini soal ritme semata, soal timing saja. Aku khawatir, ia akan lebur dan larut pada sistem baru yang akan ia masuki. Ia akan terpilih, aku percaya hal itu. Di Dapilnya, kandidat lain mesti menyebar fitnah untuk bisa menang menyaingi suaranya. Itu semua akibat saham sosial yang ia tanam sejak kanak-kanak. Bukan dari trah atau harta, melainkan dari reputasi, sesuatu yang mesti dibangun dalam rentang waktu bertahun-tahun, tapi bisa runtuh dalam hitungan detik.

Memang benar itu adalah haknya, aku cuma menggunakan hak sebagai kawan untuk memberi saran. Sebuah saran yang tak melarangnya untuk menggunakan hak politiknya. Kemuliaan politik sedang ditunggangi oleh keliaran hasrat. Jika ia menunda hingga periode 2024, ia akan menjadi episentrum, bukan saja di Aceh, tapi nasional.

Ah…tinggalkanlah saja kawan itu. Kita bahas kembali soal PKA dan keterlibatan pawang hujan.

Bersambung…

Image Source:

  1. Image1
  2. Image2
  3. Image3

Leave a Comment