Boy Nashruddin Agus

Protes dari Aceh Terkait Remisi untuk Pembunuh Jurnalis

ACEHPUNGO.COM – “That na teuh!! Awak poh jurnaleh katem peulheuh. Alahai P’ Jokowi…” Inilah salah satu poster yang diusung para jurnalis Aceh ketika menggelar unjuk rasa di halaman depan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Jumat, 25 Januari 2019 siang. Aksi ini digagas Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh dan dilakukan bersama para jurnalis lintas organisasi di kota tersebut.

Tak hanya itu, para jurnalis di Aceh juga mengusung beberapa poster lain berbahasa Aceh, seperti, “Hana le ka digulong! Tukang poh jurnalis katem peulheuh” kemudian “Neukiraju…Hukum ka lam sitoken bulut. Awak poh jurnalis dijok remisi!”

Semua poster berbahasa Aceh ini meramaikan aksi diam yang dilakukan para jurnalis dalam rangka menyikapi rencana pemberian remisi kepada Susrama, terpidana pembunuh Prabangsa, seorang jurnalis di Bali. Pemberian remisi tersebut tertuang dalam Keppres No. 29 tahun 2018 tentang Pemberian Remisi Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Sementara tertanggal 7 Desember 2018. Susrama merupakan satu dari 115 terpidana yang mendapatkan keringan hukuman tersebut.

Susrama diadili karena kasus pembunuhan terhadap Prabangsa, 9 tahun lalu. Pembunuhan itu terkait dengan berita-berita dugaan korupsi dan penyelewengan yang melibatkannya oleh Prabangsa di harian Radar Bali, dua bulan sebelumnya.

Hasil penyelidikan polisi, pemeriksaan saksi dan barang bukti di persidangan menunjukkan bahwa Susrama adalah otak di balik pembunuhan itu. Ia diketahui memerintahkan anak buahnya menjemput Prabangsa di rumah orangtuanya di Taman Bali, Bangli, pada 11 Februari 2009 itu.

“Prabangsa lantas dibawa ke halaman belakang rumah Susrama di Banjar Petak, Bebalang, Bangli. Di sanalah ia memerintahkan anak buahnya memukuli dan akhirnya menghabisi Prabangsa.

Dalam keadaan bernyawa Prabangsa dibawa ke Pantai Goa Lawah, tepatnya di Dusun Blatung, Desa Pesinggahan, Kabupaten Klungkung. Prabangsa lantas dibawa naik perahu dan dibuang ke laut.

Mayatnya ditemukan mengapung oleh awak kapal yang lewat di Teluk Bungsil, Bali, lima hari kemudian,” ungkap Koorlap aksi, Juli Amin.

Berdasarkan data AJI, kasus Prabangsa adalah satu dari sekian banyak kasus pembunuhan jurnalis di Indonesia. Kasus Prabangsa sendiri merupakan satu dari sedikit kasus yang sudah diusut. Sementara, 8 kasus lainnya belum tersentuh hukum.

“Delapan kasus itu antara lain Fuad M Syarifuddin (Udin), wartawan Harian Bernas Yogya (1996), pembunuhan Herliyanto, wartawan lepas harian Radar Surabaya (2006), kematian Ardiansyah Matrais, wartawan Tabloid Jubi dan Merauke TV (2010), dan kasus pembunuhan Alfrets Mirulewan, wartawan Tabloid Mingguan Pelangi di Pulau Kisar, Maluku Barat Daya (2010),” kata Juli.

Berbeda dengan lainnya, kasus Prabangsa ini berhasil diproses hukum dan pelakunya divonis penjara. Dalam sidang Pengadilan Negeri Denpasar 15 Februari 2010, hakim menghukum Susarama dengan divonis penjara seumur hidup. Sebanyak delapan orang lainnya yang ikut terlibat, juga dihukum dari 5 tahun sampai 20 tahun.

Para tersangka sempat melakukan upaya banding, tetapi tidak membuahkan hasil. Pengadilan Tinggi Bali menolak upaya ke sembilan terdakwa, April 2010.

Keputusan ini diperkuat dengan hakim Mahkamah Agung pada 24 September 2010.

“Kini Presiden Joko Widodo, melalui Keppres No. 29 tahun 2018, memberi keringanan hukuman kepada Susrama,” ujar Juli.

Hal inilah yang membuat AJI Banda Aceh dan seluruh wartawan di Indonesia mengecam kebijakan Presiden Joko Widodo tersebut. Apalagi, fakta persidangan jelas menyatakan bahwa pembunuhan ini terkait berita dan pembunuhannya dilakukan secara terencana. “Susrama sudah dihukum ringan karena jaksa sebenarnya menuntutnya dengan hukuman mati, tapi hakim mengganjarnya dengan hukuman seumur hidup,” kata Juli lagi.

Juli mengatakan kebijakan presiden yang mengurangi hukuman itu melukai rasa keadilan tidak hanya keluarga korban, tapi jurnalis di Indonesia. “Kami meminta Presiden Joko Widodo mencabut keputusan presiden pemberian remisi terhadap Susrama. Kami menilai kebijakan semacam ini tidak arif dan memberikan pesan yang kurang bersahabat bagi pers Indonesia. AJI menilai, tak diadilinya pelaku kekerasan terhadap jurnalis, termasuk juga memberikan keringanan hukuman bagi para pelakunya, akan menyuburkan iklim impunitas dan membuat para pelaku kekerasan tidak jera, dan itu dapat memicu kekerasan terus berlanjut.

Selain itu, AJI Banda Aceh juga meminta Presiden RI menginstruksikan kepolisian untuk mengusut tuntas kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis yang selama ini belum terungkap, “seperti kasus Udin.”[]